CARITAU JAKARTA – Perseteruan antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus berujung di Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Bawaslu pada Senin (7/8/2023) melaporkan KPU ke DKPP terkait pembatasan untuk mengakses Sistem Informasi Pencalonan (Silon) bagi bakal calon anggota legislatif (Bacaleg) DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten Kota oleh KPU.
Pada laporannya, Bawaslu menilai para pimpinan KPU telah melanggar etik karena tak kunjung memberikan akses penuh membuka Silon yang dipakai sebagai syarat mendaftar menjadi bakal acaleg (Bacaleg) di Pemilu 2024.
Baca Juga: Tunggu Putusan DKPP Soal Akses Silon, Bawaslu Berharap Dapat Melakukan Pengawasan Maksimal
Sekjen Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Kaka Suminta angkat bicara. Ia menilai ada dua problem yang memunculkan keriuhan antara Bawaslu dan KPU terkait akses Silon. Problem pertama yakni terkait sistem Silon yang tidak ramah terhadap ruang partisipasi publik dan ruang pengawasan.
"Jadi itu menjadi sistem yang tertutup. Saya pikir yang menjadi problem, apa yang telah terjadi di pendaftaran caleg itu, baik dari partisipasi publik maupun pengawasan," kata Kaka kepada caritau.com, Rabu (9/8/2023)
Menurut Kaka, seharusnya Silon yang dimiliki KPU dapat diakses secara terbuka dan tidak dibatasi waktu dalam mengaksesnya. Hal itu lantaran KPU selaku penyelenggara Pemilu saat menjalankan tugas seperti dimandatkan Undang-Undang, harus terbuka melaksanakan seluruh rangkaian tahapan kepada publik dan lembaga lainnya.
"Jadi publik itu tidak bisa melihat, apakah seluruh prosedur yang tertulis sebagaimana peraturan perundang-undangan. Juga apakah PKPU dilaksanakan dengan benar. Publik hampir tidak bisa publik melihat prosedur itu," tutur Kaka.
"Akhirnya kita curiga, ada apa dengan KPU? Ya ada dua hal kemungkinan yang jadi masalah. Pertama karena terkait kebijakan sistem. Apa yang dinginkan oleh KPU?" lanjut Kaka.
Problem kedua, lanjut Kaka, sikap KPU yang tak ramah terhadap bentuk pengawasan terkait sistem Silon kepada Bawaslu, menunjukan tidak ada itikad baik dari KPU dalam menjalankan tugas untuk menyelenggarakan Pemilu 2024.
"Kemudian dari sisi pengawasan, tidak ada ruang untuk pengawasan terkait dengan sistem. Lalu kemudian, sudah sistemnya tidak memberikan ruang kebijakan, KPU sendiri nampaknya juga sudah tidak ada itikad baik untuk memberikan ruang partisipasi publik," tambahnya.
"Misalnya ketika partai politik hanya menyetor nama berdasarkan abjad, ini kan menarik ya. Apakah benar demikian? Atau seperti apa? Lalu apakah jumlahnya sudah benar? Misalnya soal keterwakilan perempuan, apakah sudah terpenuhi? Dan berbagai informasi lain yang publik perlu tahu," sambung Kaka.
Kaka mengatakan, kebijakan KPU yang membatasi Bawaslu dalam mengakses Silon merupakan bentuk representasi sikap yang tak mengedepankan prinsip kepemiluan, khususnya azas keterbukaan.
Silon seharusnya memang juga bisa diakses oleh publik, karena masyarakat juga perlu mengetahui proses penyaringan sosok bacaleg oleh parpol yang akan maju di Pemilu 2024.
Kaka mempertanyakan pernyataan KPU perihal tak bisa memberikan sepenuhnya akses Silon kepada Bawaslu dengan alasan menjalankan perintah Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. Hal itu ditenggarai merupakan argumentasi politis dan hanya untuk berlindung dari desakan publik agar dapat membuka akses silon.
"Ini kan pencalonan ya, artinya bahwa nanti siapapun calonya perlu diketahui publik. Tapi KPU berdalih dari UU Perlindungan data pribadi. Nah sebetulnya kalau sudah resmi mencalonkan diri sebagai calon legislatif, maka itu harusnya menjadi informasi untuk publik. Seperti namanya, alamatnya, partainya dan lain lain," terang Kaka.
Kaka mengatakan, selain sistem Silon masih banyak masalah lain yang dinilai juga cukup massif yang muncul akibat sikap KPU yang masih mencoba menutup akses informasi, perihal kebijakan agenda tahapan penyelenggaraan Pemilu 2024.
Apabila polemik Silon tak kunjung dapat diselesaikan, maka bukan tidak mungkin ke depan masalah keterbukaan dalam sistem tahapan lain juga akan Kembali menimbulkan reaksi yang lebih besar. Jika tidak dicegah, maka akan menimbulkan mosi tidak percaya kepada KPU selaku lembaga penyelenggara Pemilu 2024.
"Nah itu yang kita tidak paham dari kebijakan KPU. Bukan hanya Silon, saya pikir dari sistem informasi yang lain seperti Sipol, Sidalih. Nah kita khawatirnya itu akan berlanjut di Sirekap, bentuk partisipasi publik dan pengawasanya akan seperti apa," jelas Kaka.
Kalau pemilu ini nanti sepi dari partispasi publik dan terjadi kekosongan pengawasan, maka nanti juga berdampak keadilan pemilunya akan terciderai," tandas Kaka.
Persoalan utama yang dilaporkan Bawaslu ke DKPP adalah mengenai akses Silon. Bawaslu menginginkan akses penuh ke Silon dengan dalih untuk melakukan pengawasan sebagai sesama penyelenggara pemilu.
Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja menegaskan, laporan terhadap KPU ke DKPP terkait Silon bukanlah sekadar formalitas. Menurut dia, aduan ini dilakukan karena memang ada masalah.
"Ini bukan formalitas, ini benar memang ada masalah. Kita nggak akan mungkin laporin masalah ini, kalau tidak selesai secara informal," kata Bagja di Dewan Pers, Jakarta Pusat, Rabu (9/8/2023).
"Kami sudah berhubungan dengan teman-teman KPU, berkomunikasi dengan Mas Hasyim. Kemudian sudah berkirim surat kan baik informal maupun formal telah dilakukan," imbuh dia.
Bagja menilai sebagai sesama penyelenggara pemilu, Bawaslu juga berhak mendapatkan akses penuh ke aplikasi Silon. Karena itu mereka berulang kali meminta dan bersurat ke KPU. Sebelumnya protes yang sama juga pernah dilakukan Bawaslu ke KPU terkait Sipol.
"Kita liat Silon, sama kayak Sipol, kita sudah protes Sipol. Dua atau tiga kali kami mengirim surat untuk kemudian Silon itu terbuka. Tapi hanya untuk 15 menit. Kami kan sama-sama penyelenggara. Jangan ada dusta di antara kita," kata Rahmat Bagja di kantor Bawaslu RI, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.
Rentang 15 menit yang dimaksud Bagja adalah limit waktu yang disediakan KPU kepada Bawaslu untuk mengakses Silon. Selain itu, masalah lain yang terjadi di lapangan, yakni KPU juga tidak memperbolehkan jajaran Bawaslu untuk mendokumentasikan data-data para calon legislatif yang mendaftar melalui Silon.
"Aksesnya 15 menit masuk, 15 menit keluar, sama kaya Parpol. Jadi pertanyaannya itu (kepada KPU), bagaimana kita awasi proses Silon? Anda boleh melihat tapi tidak boleh memfoto. Nah kalau ada Indikasi ijazah palsu, cuma lihat begitu doang. Nanti bagaimana alat bukti yang mau disampaikan," keluh Bagja bulan Juni silam.
Bagja menjelaskan, akibat tidak dibolehkan mendokumentasikan data yang terdapat di dalam Silon, tentu saja telah menyulitkan kerja Bawaslu dalam melakukan pengawasan melekat terkait rangkaian agenda kegiatan pendaftaran caleg di Pemilu 2024.
"Nah itu, akses itu yang hanya bisa kita lihat. Foto tidak boleh. Jadi gimana kita membawa itu? Apalagi ini kan termasuk dalam pidana. Lama-lama kita pidanain ini (KPU). Kenapa? Karena menghalangi penyelidikan," kesal Bagja.
Menurut Bagja, sikap KPU yang membatasi pengawasan Bawaslu terhadap Silon telah merepotkan dan sekaligus sebagai bentuk manifestasi bahwa lembaga Bawaslu tidak dianggap sebagai penyelenggara Pemilu oleh KPU.
"Jangankan Silon, DPS misalnya, kita protes DPS tapi malah disuruh keluar. Apa-apaan ini sampai begini? Kalau misalnya terjadi lagi pengusiran terhadap teman-teman panwascam saat kegiatan rekapitulasi DPS, kami akan pidanakan," tegas Bagja.
Bagja menambahkan, pihaknya juga menantang KPU untuk terbuka terhadap akses silon tanpa dibatasi waktu kepada Bawaslu dalam melakukan pengecekan secara langsung soal adanya laporan masyarakat terkait keabsahan dokumen para Bacaleg yang mendaftar.
Sementara itu, KPU berpendapat bahwa akses Silon tidak bisa diberikan secara penuh. Tapi hanya bisa diberikan jika Bawaslu memiliki informasi awal dugaan pelanggaran terhadap dokumen persyaratan bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.
"Informasi apa yang ingin diperoleh Bawaslu kita buka. Sudah kami kirimkan surat, sekiranya Bawaslu ada informasi atau data yang perlu dikonfirmasi, kami persilakan menyampaikan supaya nanti kita tunjukkan," kata Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari kepada wartawan, Kamis (27/7)/2023).
Senada dengan Hasyim, Ketua Divisi Teknis KPU Idham Holik menegaskan, akses Silon akan selalu diberikan kepada Bawaslu setiap saat 24 jam/hari, selama Bawaslu menemukan adanya pelanggaran.
“Oleh karena itu, KPU akan membuka data dan dokumen pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota apabila Bawaslu menyampaikan nama masing-masing bakal calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota yang diduga terjadi pelanggaran Pemilu,” jelas Idham.
Hal tersebut, lanjut dia, telah diatur dalam Pasal 93 Peraturan KPU Nomor 10 Tahun 2023 dimana seluruh KPU di semua tingkat harus memberikan akses Silon kepada Bawaslu. Selanjutnya dalam pelaksanaan manajemen pencalonan anggota legislatif yang diajukan parpol peserta pemilu, KPU juga berpedoman pada Pasal 17 huruf g dan h UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.
Menanggapi laporan Bawaslu ke DKPP, Ketua KPU RI Hasyim Asyari telah menegaskan pihaknya siap mengikuti rangkaian proses peradilan hukum terkait dugaan pelanggaran etik yang dilaporkan Bawaslu ke DKPP.
Menurut Hasyim, laporan yang dilayangkan Bawaslu perihal akses Silon tersebut merupakan suatu hal yang wajar lantaran KPU selaku lembaga penyelenggara Pemilu harus siap apabila menjadi pihak teradu dalam proses peradilan kepemiluan.
Hasyim mengungkapkan, dalam peradilan Pemilu, pada dasarnya KPU dalam proses sengketa tahapan penyelenggaraan Pemilu pastinya akan menjadi teradu di DKPP dan menjadi terlapor di Bawaslu.
"Penting untuk dinyatakan mengingat posisi KPU yang selalu berada dalam posisi 'Ter' dalam semua proses peradilan pemilu, menandakan bahwa KPU itu dituntut dan wajib bekerja secara optimal," kata Hasyim kepada awak media Selasa (8/8/2023).
Menurut Hasyim, aduan Bawaslu ke DKPP telah menandakan bahwa kebijakan yang diterapkan KPU dalam proses tahapan penyelenggaraan Pemilu sejatinya harus dibuat dengan penuh kecermatan, kehati-hatian dan menghindari konflik kepentingan.
Karena itu, menurut Hasyim terkait kepungan soal peradilan pemilu itulah, KPU harus tetap bertahan dan juga berpedoman pada asas dan prinsip mengenai penyelenggaraan pemilu serta supremasi konstitusi dalam segala kondisi.(GIB)
Baca Juga: Bawaslu Desak KPU Buka Data Bacaleg Eks Napi Koruptor di DCS
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...