CARITAU JAKARTA – Al Chaidar, pengamat terorisme yang juga dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Malikussaleh Lhokseumawe Provinsi Aceh, menyebut anggota Negara Islam Indonesia (NII) di wilayah Sumatera Barat merupakan turunan NII palsu.
“Jika melihat ciri-cirinya di lapangan, mereka adalah NII faksi palsu atau NII faksi binaan kelompok-kelompok intelijen, yaitu turunan faksi KW-9, faksi Khamid, faksi Zakaria dan faksi Sensen Koemara,” kata Al Chaidar kepada Caritau.com pada Senin (8/5/2022) malam.
Baca Juga: Pendidikan Ponpes Al-Zaytun
Sebenarnya wajar jika Al Chaidar berani menyebut keberadaan NII palsu karena dia saat masih kuliah di Fisip Universitas Indonesia pernah aktif di NII mengikuti gerakan KW-9 pimpinan Abu Toto Abdussalam sejak 1991-1996 dan kemudian keluar dari keanggotaan karena menurutnya kelompok itu melakukan penyimpangan luar biasa sejak 1993.
Namun menurut Al Chaidar, NII tidak pernah menjadi teroris walaupun NII memang menjadi sumber perekrutan anggota dari semua kelompok teroris. Bagaimana bisa seperti itu? Berikut wawancara lengkapnya:
Soal cabut baiat saya kira menarik sekali karena sebenarnya negara Republik Indonesia tidak mengenal adanya baiat bagi warga negara, jemaah atau umat. Sementara bagi NII, baiat memang proses naturalisasi seseorang untuk menjadi warga negaranya. Jadi kalau mencabut baiat dari NII, artinya harus membuat baiat baru misalnya menyatakan setia kepada NKRI.
Menurut saya proses cabut baiat NII ini adalah proses yang dipaksakan oleh aparat kepada mereka-mereka yang diduga sudah dianggap menyeberang dari RI kepada NII. Jadi merupakan masalah loyalitas, masalah nasionalisme karena seseorang yang berpihak kepada negara lain dianggap telah berkhianat.
Tapi sebenarnya NII bukanlah negara yang lain karena kesinambungan dari negara Republik Indonesia. NII adalah negara sambungan dari Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 karena negara yang diproklamirkan 17 Agustus 1945 dianggap sudah tidak ada dan dianggap sebagai negara yang sudah berakhir setelah menandatangani Perjanjian Renville. (Belanda mengakui wilayah RI hanyalah Jawa Tengah, Yogyakarta dan Sumatera, sehingga TNI harus ditarik mundur dari daerah-daerah kantong di wilayah pendudukan Belanda yakni Jawa Barat dan Jawa Timur.)
Jenderal Soedirman dan Amir Sjafrudin Prawiranegara menyuruh Kartosoewirjo untuk bertahan di Jawa Barat dan tidak ikut hijrah ke Yogyakarta. Amanah dari Jenderal Soedirman inilah yang kemudian dijadikan dasar oleh Kartosoewirjo untuk tetap bertahan di Jawa Barat dengan Laskar Hizbullah dan Laskar Sabilillah untuk kemudian mendirikan NII.
NII yang ada di Sumbar itu banyak faksinya. Jika melihat ciri-cirinya di lapangan, mereka adalah NII faksi palsu atau faksi binaan kelompok-kelompok intelijen, yaitu turunan faksi KW-9, faksi Khamid, faksi Zakaria dan faksi Sensen Koemara.
Nah faksi-faksi ini sebenarnya sudah berkembang dan memang sengaja dikembangkan oleh kelompok intelijen. Faksi-faksi ini juga sudah sangat mapan dan memiliki pesantren besar. Setiap umatnya hampir setiap hari mengumpulkan infak secara terpaksa. Setiap hari mereka bisa mengumpulkan infak sampai Rp 4 miliar. Jadi jumlah mereka memang sudah cukup banyak di Indonesia, termasuk di Sumatera Barat.
Keberadaan mereka ini tentu punya implikasi keuangan besar, implikas finansial yang sangat besar, makanya terus menerus dikelola dan dibina oleh kelompok intelijen. Padahal seharusnya kelompok inteljen tidak boleh lagi bermain-main dengan NII-NII palsu ini.
Radikalisme memang akar dan terorisme buahnya karena merupakan evolusi kecenderungan sikap keagamaan. Setiap orang dilahirkan beragam, bahkan banyak dari kita yang menjadi multikultural dan kemudian jika diturunkan lagi menjadi konservatif.
Nah di bawah konservatif inilah mulai terbentuk sikap-sikap keagamaan yang negatif, yakni pertama intoleran, kedua fundamentalis, ketiga radikal dan setelah itu baru teroris.
Jadi penanganan radikalisme dan terorisme saya lihat salah kaprah. Tapi karena sudah diundang-undangkan menjadi UU Nomor 5 Tahun 2018 (Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme), maka mereka berpegang kepada UU tersebut.
Terorisme dan radikalisme itu ada beberapa jenis. Misal ada terorisme tamkin yang berbeda dengan terorisme tanzim. Terorisme tamkin contohnya Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang sifatnya organik dan teritorial bahkan separatis. Nah mereka ini harus ditangani murni oleh aparat negara yang memiliki kemampuan tempur yaitu tentara.
Sementara polisi hanya boleh menangani radikalisme dan terorisme yang sifatnya tanzim atau dinamis atau biasa disebut pergerakan, contohnya Jamaah Islamiyah (JI) dan Jemaah Ansharut Daulah (JAD).
NII tidak pernah menjadi teroris, walaupun NII memang menjadi sumber perekrutan dari semua kelompok teroris. Orang-orang NII direkrut karena dianggap lebih siap ketimbang merekrut orang-orang umum. Jadi banyak anggota JI ataupun JAD yang kemudian merekrut orang-orang NII karena sudah lebih siap untuk diajak menjadi sebuah kekuatan.
NII tidak pernah berafiliasi dengan Al Qaeda ataupun ISIS. Jadi NII itu sebenarnya sebuah kekuatan yang dulu hanya bergabung dengan kelompok-kelompok di Afghanistan. Mulai 1983 sampai 1989, orang-orang NII telah bergabung dengan kelompok-kelompok itu untuk sama-sama memerangi komunisme Uni Soviet.
Nah setelah Afghanistan pecah pertama kali pada 1989, banyak muncul faksi-faksi dan salah satunya Taliban. Setelah Taliban kuat, pada 1996 mereka berhasil menguasai Afghanistan dan bersamaan dengan itu orang-orang NII ikut bergabung dengan pemerintahan Taliban.
Lalu kemudian, sebagian dari orang-orang NII ini pulang ke Indonesia atau Malaysia. Orang- orang NII yang pulang ke Indonesia dan Malaysia ini tidak pernah melakukan tindakan terorisme.
Mereka yang melakukan tindakan terorisme adalah orang-orang NII yang justru sudah keluar dari NII dan kemudian membentuk Jamaah Islamiyah. Jadi mereka sudah meninggalkan NII untuk kemudian menjadi teroris. Jadi NII sendiri sebenarnya secara kesejarahan tidak pernah terlibat dengan gerakan terorisme.
Tentang aliran dana dari asing kepada NII sebenarnya tidak ada karena NII tidak pernah berafiliasi dengan ISIS maupun Al Qaeda. NII adalah gerakan asli dari Indonesia dan bukan gerakan transnasional, juga tidak pernah berafiliasi dengan Al Qaeda maupun ISIS. Anggota NII memang bisa bekerja sama dengan kelompok MILF (Front Pembebasan Islam Moro) ataupun Taliban, tapi mereka tidak pernah mendapatkan dana dari pihak-pihak luar tersebut.
NII memang sudah besar dari awal. Ada beberapa faksi-faksi NII yang cukup penting, ada 18 faksi yang aktif di seluruh indonesia termasuk yang ada di Sumatera Barat. Anggota NII yang asli jumlahnya tak sampai 2 juta orang.
Penangkapan terhadap orang-orang NII di awal Maret 2022 memang terindikasi terkait erat dengan 2024. Saya kira ini adalah bagian dari permainan di mana NII palsu memang terus menerus dilibatkan dalam proses politik di negeri ini.
Saat Pilpres lalu, NII palsu dipergunakan oleh kelompok-kelomopok inteljen untuk menyatakan dukungan kepada Prabowo. Pernyataan dukungan disampaikan melalui beberapa spanduk di Jakarta dan itu mengakibatkan terjadinya penurunan perolehan suara Prabowo. Nah ini merupakan fitnah politik yang saya kira dimainkan oleh kelompok intelijen.
Jadi saya merasa isu NII sekarang jadi bancakan. Artinya NII kini mengulang situasi dahulu, yakni dipakai untuk memenuhi hasrat atau target politik Orde Baru. Jadi apa yang terjadi di masa Orde Baru pada NII kini diulang kembali.
Pada masa awal Orde Baru, saat itu Pemilu seharusnya dilakukan pada tahun 1969, menjadi diundur pada 1971 dengan alasan keamanan karena ada ancaman NII atau pendirian negara Islam.
Hal yang sama beulang ketika Pemilu kembali ditunda menjadi tahun 1977, padahal jadwalnya 1976 atau setahun sebelumnya. Isu NII atau pendirian negara Islam juga dipakai hanya untuk memenangkan Golongan Karya dengan cara menggembosi Partai Persatuan Pembangunan.(GIBS)
Baca Juga:
GP Ansor Dharmasraya: Jangan Cepat Puas dengan Cabut Baiat NII
Ketua DPRD Dharmasraya: Mereka yang Sudah Cabut Baiat NII Jangan Dikucilkan
Pengakuan Perempuan Peserta Cabut Baiat NII: Tak Tahu di Mana Suami Saya Sekarang
Anggota Negara Islam Indonesia (NII) Terbesar di Sumbar dan Cabut Baiat 391 Warga Dharmasraya
Mantan Anggota NII: NII Tidak Mewakili Agama Manapun karena Mengajak Memberontak
Ketua LKAAM Dharmasraya: NII Mengincar Mereka yang Ekonominya Morat-Marit
NII Setelah Kartosoewirjo, KW-9 dan Ma’had Al Zaytun Simbol Puncak Kejayaan
Baca Juga: Tangannya Patah, Panji Gumilang Dikabarkan Berhalangan ke Bareskrim Polri
al chaidar pengamat terorisme dosen fisip universitas malikussaleh lhokseumawe provinsi aceh negara islam indonesia nii sumatera barat dharmasraya nii palsu. kw-ix
Cawagub 02 Fatmawati Dua Bulan Keliling 24 Kabupat...
Kampanye Akbar 02 Andalan Hati, Panglima Dozer: Su...
PMJAK Desak Bawaslu DKI Tindaklanjuti Soal Dana Ka...
Yuks Ramaikan Kampanye Akbar Andalan Hati di GOR S...
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...