CARITAU JAKARTA - Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia (UMI), Dr Fahri Bachmid menyebutkan putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat yang memerintahkan KPU RI mengulang tahapan Pemilu dari awal itu ultra vires sehingga tidak bisa dieksekusi.
"Konsekuensi yuridisnya dari status putusan yang demikian ini adalah bersifat 'null and void' atau bersifat 'van rechtswege nietig/null end void', sehingga tidak dapat dieksekusi," ungkapnya kepada wartawan.
Ia menjelaskan, hal ini menjadi penting untuk melindungi kesisteman kerangka hukum Pemilu berdasarkan desain konstitusional Pemilu yang berlaku saat ini.
Di mana berdasarkan bangunan hukum penyelesaian sengketa Pemilu sesuai UU No. 7/2017 tentang Pemilu, telah mengatur dan membagi frame penegakan hukum menjadi 2 jenis yaitu Pelanggaran dan Sengketa.
Pelanggaran di dalam UU Pemilu terbagi menjadi tiga jenis yaitu Pelanggaran Administratif, Pelanggaran Kode Etik dan Pelanggaran Pidana. Sedangkan untuk Sengketa terbagi menjadi dua yaitu Sengketa Proses dan Sengketa Hasil.
"Secara teknis sesungguhnya UU Pemilu telah mengkonstruksikan saluran hukum penyelesaian jika terdapat permasalahan berupa 'dispute' baik pelanggaran maupun sengketa, secara spesifik UU Pemilu memberikan otoritas yang berbeda-beda sesuai dengan kompetensinya dalam penyelenggaraan pemilihan umum kepada Bawaslu, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Negeri (PN), Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) serta Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP)," Fachri menguraikan.
Bahkan ia berpendapat, bahwa penyelesaian Sengketa Proses Pemilu merupakan kewenangan dari Bawaslu dan PTUN sebagaimana diatur dalam ketentuan norma Pasal 467 ayat (1) yang mengatur (1) Bawaslu, Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu Kabupaten/Kota menerima permohonan penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU Keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.
Selanjutnya ketentuan Pasal 470 ayat (1) UU Pemilu mengatur (l) Sengketa proses Pemilu melalui pengadilan tata usaha negara meliputi sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara Pemilu antara calon anggota DPR, DPD, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, atau partai politik calon Peserta Pemilu, atau bakal Pasangan Calon dengan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota sebagai akibat dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan KPU Provinsi, dan keputusan KPU Kabupaten/Kota.
Ketentuan ayat (2) mengatur: Sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sengketa yang timbul antara;
a. KPU dan Partai Politik calon Peserta Pemilu yang tidak lolos verifikasi sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 173.
"Dengan demikian, karakter dari perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ini sesungguhnya adalah masuk pada ranah perkara sengketa, yang tentunya merupakan yurisdiksi atau kompetensi absolut dari PTUN, bukan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, sehingga hemat saya, putusan ini dapat dikualifisir sebagai 'never existed' oleh karena hakim mengokupasi kewenangan kekuasaan lembaga peradilan lain," tegas Fahri.
Fahri Bachmid menilai, putusan pengadilan ini jika diterapkan, maka konsekuensinya sangat serius.
"Yaitu potensial menciptakan kekacauan ketatanegaraan," jelas Fachri.
Dia berujar bahwa kekuasaan pemerintahan, baik presiden maupun lembaga-lembaga negara lainnya seperti DPR, DPD, MPR, akan kehilangan legitimasinya.
Sebab, lanjut dia, Pemilu tidak dapat diselenggarakan sesuai agenda konstitusional, misalnya Presiden RI akan berakhir masa jabatannya pada 20 Oktober 2024.
"Dan tidak ada pelantikan presiden yang baru berdasarkan mandat rakyat melalui suatu pemilihan umum yang legitimate, sebab UUD 1945 tidak memberikan jalan keluar jika Pemilu tidak dapat dilaksanakan tepat waktu, atau tidak ada presiden yang terpilih sesuai agenda Pemilu yang telah ditetapkan. Ini akan menjadi suatu keadaan kebuntuan konstitusional. Ini sangat riskan, dan taruhannya terlalu mahal. Itu salah satu impact yang cukup serius jika mengikuti nalar dari putusan ini," bebernya.
Idealnya, kata dia, putusan perbuatan melawan hukum (PMH) dalam sengketa Perdata oleh Pengadilan Negeri tidak boleh berdimensi terhadap siklus serta agenda ketatanegaraan. Sebab sifat dari putusan perdata hanyalah mengikat para pihak dalam rezim sengketa dengan karakter 'contentiosa'.
"Artinya putusan PMH itu tidak bersifat 'ergo omnes' yang mengikat pada lembaga-lembaga negara sebagai organ konstitusional yang umunya melaksanakan kewenangan publik," bebernya.
"Apalagi berkaitan dengan pelaksanaan agenda ketatanegaraan terkait sirkulasi kepemimpinan nasional yang tentunya berlandaskan pada hukum publik," Fahri menandaskan. (KEK)
pn jakpus tunda pemilu pakar hukum tata negara umi kpu partai prima
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...