CARITAU JAKARTA – Wacana penundaan Pemilu masif digaungkan sejumlah tokoh politik nasional dan berawal dari gagasan sejumlah pimpinan partai koalisi pemerintah yang mendorong Pemilu ditunda dengan sejumlah alasan.
Belum lama ini, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto mengklaim wacana penundaan Pemilu merupakan aspirasi masyarakat yang tidak boleh ditolak.
Baca Juga: Jelang Penetapan Hasil Pemilu 2024, Dua Menteri Jokowi Hadir di KPU RI
Airlangga mengungkapkan, usulan penundaan Pemilu itu merupakan aspirasi dari masyarakat, maka partai yang digawanginya (Golkar) tidak ingin menolak usulan yang diklaim dirinya sebagai bagian dari aspirasi masyarakat.
"Kita harus mengerti yang namanya aspirasi. Aspirasi tidak boleh ditolak apalagi aspirasi itu dari masyarakat. suara Golkar suara rakyat. Nah itu demikian," ujar Airlangga, di Nasdem Tower, Jakarta Pusat, Kamis (10/3/2022).
Pernyataan tersebut dilontarkan Airlangga usai melakukan pertemuan dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, di gedung Nasdem Tower, Jakarta Pusat, pihaknya mengaku akan menyerap aspirasi tersebut.
Selain Airlangga, gagasan itu juga dilontarkan oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketua umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar.
Tak jauh berbeda dengan alasan Airlangga Hartato, kedua pimpinan partai yang berlogo matahari dan berlogo bintang itu juga mengklaim alasannya mendorong penundaan Pemilu adalah atas dorongan dari masyarakat terkait kepuasan terhadap pemerintahan Jokowi dan dukungan dari aspirasi masyarakat di media sosial.
Merespon wacana penundaan Pemilu 2024, Presiden Joko Widodo menyatakan akan tetap tegak berpegang teguh kepada konstitusi.
Presiden Jokowi menyampaikan, UUD 1945 dengan tegas membatasi masa jabatan presiden dua periode dan Jokowi mengaku akan taat kepada aturan tersebut.
"Saya adalah presiden yang dipilih melalui sistem demokrasi, kita bukan hanya taat dan tunduk, tetapi juga patuh pada konstitusi," kata Jokowi, dilansir dari Kompas.com (5/3/2022).
Namun, Jokowi juga menuturkan, wacana penundaan Pemilu tidak bisa dilarang karena hal itu merupakan bagian dari demokrasi, meski menekankan bahwa pelaksanaan atas wacana tersebut harus tunduk pada aturan yang tertuang dalam konstitusi.
"Siapapun boleh-boleh saja mengusulkan wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden, menteri atau partai politik, karena ini kan demokrasi. Bebas saja berpendapat, tetapi kalau sudah pelaksanaan semuanya harus tunduk dan taat pada konstitusi," ujar Jokowi.
Menghina Akal Sehat
Gagasan penundaan Pemilu yang diusulkan oleh sejumlah pimpinan partai koalisi pemerintah nampaknya menuai tanggapan keras baik dari masyarakat, para pakar dan sejumlah tokoh partai politik, baik dari internal koalisi pemerintah maupun oposisi partai pemerintah.
Terbaru, Ketua Majelis Syuro Partai Ummat Amien Rais merespon isu yang digagas oleh trio pimpinan partai koalisi pemerintah dengan memberi peringatan keras kepada Presiden Jokowi terkait wacana penundaan Pemilu 2024 yang berbuntut pada perpanjangan masa jabatan presiden.
Amien mengatakan, jika Jokowi ingin menambah masa jabatanya selama satu periode lagi, maka berpotensi membuat gejolak yang bisa membuat Jokowi lengser sebelum berakhirnya masa jabatannya.
Pimpinan partai berlogo bintang emas itu mengungkapkan alasan itu berdasarkan pengalaman-pengalaman Presiden-Presiden terdahulu seperti Soekarno dan Soeharto yang sukses dilengserkan meskipun kedua sosok itu sangat hebat pada masanya.
Sedangkan Jokowi, menurut Amien tidak lebih hebat jika dibandingkan oleh kedua sosok presiden terdahulu itu yang pernah menjabat sebagai Presiden pertama dan Presiden kedua Indonesia.
"Pak Jokowi ini lebih lemah dari Bung Karno dan Pak Harto, jadi ini jangan ada rencana untuk menambah satu periode lagi," ucap Amien.
Amien mengingatkan, Soekarno dan Soeharto tetap jatuh dari kekuasaan walau keduanya memiliki kekuasaan panjang hingga sumber daya yang besar.
"Saya ingatkan Pak Jokowi, Bung Karno kurang apa? Tapi pada ujungnya, karena pernah membiarkan dipilih jadi presiden seumur hidup, akhirnya tragedi yang beliau alami. Lihat Pak Harto kurang apa, Jenderal bintang lima, pangkat besar menyaingi Jenderal Sudirman. Kemudian menguasai seluruh birokrasi, memegang TNI, ABRI waktu itu, di dalamnya ada polisi," kata Amien dalam sebuah sebuah diskusi virtual Dewan Perwakilan Daerah (DPD) bertajuk ‘Mencari Solusi Permasalahan Negara dan Bangsa Indonesia' yang digelar Senin (14/3/2022).
Amien Rais menilai, gagasan penundaan Pemilu dan penambahan masa jabatan presiden itu penuh resiko. Amien kemudian meminta pihak-pihak yang memainkan isu perpanjangan untuk segera menyudahi sandiwara penundaan Pemilu 2024 itu.
"Ini wanti-wanti saya jangan ada wacana untuk nambah satu periode lagi," tegas Amien.
Amien juga menganggap wacana penundaan Pemilu dan perpanjangan jabatan presiden tidak hanya bertolak belakang dengan UUD 1945, namun juga tak dapat diterima akal sehat.
“Saya tidak bisa paham. Ini mereka yang menghendaki Pak Jokowi supaya tunda Pemilu, apalagi tambah satu periode lagi itu merupakan menghina konstitusi dan menghina akal sehat manusia,” ungkap Amien.
Karena itu, ia meminta masyarakat menolak wacana tersebut untuk mencegah praktik kepemimpinan presiden yang tidak terbatas.
“Ini harus dihentikan. Kalau nekat saja, kalau kita diam, kita telah lakukan bunuh diri nasional. Karena begitu Pak Jokowi dikasih satu periode lagi, nanti akan seperti itu seterusnya,” tandas Amien.
Senada dengan Amien Rais, Anggota komisi XI DPR RI sekaigus Politisi Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP) Masinton Pasaribu mengungkapan isu penundaan pemilu seperti menghina akal sehat dalam konteks demokrasi Indonesia.
“Menurut saya itu (penundaan pemilu) kayak menghina akal sehat kita dalam konteks demokrasi,” kata Masinton dalam Diskusi Fraksi PKB MPR bertajuk ‘Penundaan Pemilu dalam Koridor Konstitusi' di Ruang Delegasi MPR, Gedung Nusantara V, Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (15/3/2022).
Masinton mengingatkan kepada Presiden Joko Widodo dan mewanti-wanti untuk tidak terjebak dengan manuver politik para menteri di Kabinet Indonesia Maju.
Masinton menilai, terkait gagasan penundaan Pemilu 2024, demokrasi dialog harus dikedepankan, jangan menggunakan demokrasi dengan model top down mengklaim atas nama keinginan rakyat.
"Ini bukan demokrasi dengan pola top down, bukan dengan pola keliling-keliling seperti halnya dulu ketika jaman Pak Harto yang hampir sama klaimnya dengan sekarang. Ini sama, jangan-jangan ini ada Harmoko yang kedua, ya kan," ujar Masinton.
Pernyataan tersebut dilontarkan Masinton usai ramainya kontroversi isu penundaan Pemilu yang turut disuarakan oleh Menteri Kordinator Bidang Investasi dan Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang mengklaim memiliki big data dukungan warga net yang diklaim mencapai 110 juta warga terkait penundaan Pemilu.
Meski tak meyebut lebih spesifik terkait nama menteri yang dimaksud olehnya, Masinton berharap tidak ada sosok yang menyerupai Ketua MPR RI Harmoko di era Presiden Soeharto.
Harmoko pada 1997 pernah menyampaikan laporan kepada Presiden Soeharto kala itu. Isi laporan yang disampaikan Harmoko mengeklaim bahwa rakyat masih menghendaki Soeharto untuk dipilih oleh MPR menjadi Presiden RI untuk periode ketujuhnya.
"Sejatinya demokrasi itu adalah dialog, bukan top down, bukan gaya ngatur-ngatur, bukan hanya omong kosong. Semoga saya singgung lagi, tidak terjebak dengan menteri ala Harmoko jilid dua," kata Masinton.
Masinton pun merasa curiga terkait adanya beberapa pihak yang berperan seperti Harmoko dulu dalam mengusulkan penundaan Pemilu dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Ia menyebut pihak tersebut membawa nama rakyat menghendaki Presiden Joko Widodo untuk maju periode ketiga.
"Jangan-jangan ada Harmoko kedua, big mouth juga dari omong kosong. Jangan-jangan ini ada Harmoko kedua ini, yang gak perlu saya sebut, diraba-raba aja kayaknya," tuturnya.
Oleh sebab itu, Masinton mengatakan, ruang dialog harus terus dibuka. Hal itu dilakukan agar usulan penundaan Pemilu atau perpanjangan masa jabatan presiden dapat terungkap dan dilihat apakah memang benar datang dari masyarakat atau hanya sebatas keinginian elite saja.
"Dengan tadi datang sebagai aspirasi rakyat secara luas atau hanya datang dari kemauan elite. Agar apa? Agar kita tidak selalu dalam keadaan darurat terus, situasi yang transisional terus. Nah ketika penundaan pemilu dari tahun 68 ke tahun 71, situasinya kan satu transisional dan kedua situasi khusus. Publik juga perlu tahu dan berharap," pungkasnya. (GIBS)
Baca Juga: KPU Sebut Jokowi Berhak Ikut Kampanye, tapi Harus Izin ke Presiden
Tanggap Darurat Penanganan Erupsi Gunung Ibu Diper...
Aksi Bela Palestina di Bandung
Kemnaker Jamin Pemotongan Upah Tapera Tak Langsung...
Heboh Iuran Tapera Harus Diikuti Semua Pekerja, In...
BI Sebut Pekerja Migran Indonesia Penyumbang Devis...