CARITAU JAKARTA - Pernyataan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana terkait adanya transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dapat menempatkan Presiden Jokowi pada posisi yang berbahaya.
Demikian diutarakan Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan. Sebagai lembaga independen yang bertanggung jawab kepada presiden, PRATK dinilai tak singkron dengan keterangan sebelumnya.
Diketahui Kepala PTATK Ivan Yustiavandana mengatakan bahwa transaksi janggal sebesar Rp300 triliun yang terjadi di lingkungan Kemenkeu bukan tindak pidana korupsi dan juga tidak dilakukan oleh pegawai kementerian tersebut.
Baca Juga: Belajar dari Resesi Jepang, Pemerintah Lebih Cermat Terbitkan Surat Utang
"Sempat menjadi harapan masyarakat dalam membongkar dugaan pencucian uang di lingkungan Kementerian Keuangan, ternyata PPATK hanya 'meong' juga," kata Anthony seperti dikutip dari siaran tertulisnya, Sabtu (18/3/2023).
Ia bahkan menyebut kalau ada indikasi PPATK ingin menutupi dan menghalangi pemberantasan tindak pidana pencucian uang.
Berikut alasan yang dikemukakan Anthony terkait indikasi dimaksud:
1. Pada 7 Maret 2023, PPATK memblokir setidaknya 40 rekening milik Rafael Alun Trisambodo dan pihak terafiliasi, termasuk konsultan pajak, dengan nilai transaksi mencapai Rp500 miliar, karena diduga terlibat tindak pidana pencucian uang secara profesional.
2. Pada 8 Maret 2023, Menko Polhukam (Politik, Hukum, dan Keamanan) Mahfud MD mengatakan ada 69 pegawai Kementerian Keuangan (diduga) terlibat pencucian uang. Kala itu Ivan membenarkan pernyataan Mahfud, dan mengatakan jumlah uang yang dimiliki oknum pegawai Kementerian Keuangan bernilai luar biasa, sangat signifikan.
3. Pada 8 Maret 2023, Mahfud juga mengatakan ada pergerakan uang mencapai Rp300 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan dengan melibatkan lebih dari 460 pegawai Kementerian Keuangan, dan pernyataan Mahfud itu dibenarkan Ivan dengan mengatakan bahwa pergerakan uang mencurigakan Rp 300 triliun di Kementerian Keuangan menggunakan nominee, termasuk jasa pencucian uang profesional. Aliran dana mengalir di dalam negeri dan ke luar negeri.
"Sampai sejauh itu, PPATK sangat yakin bahwa dugaan pencucian uang Rp300 triliun melibatkan 460 lebih pegawai kementerian keuangan tersebut," terang Anthony.
Selain itu, lanjut dia, setelah pertemuan dengan Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara, Mahfud masih menegaskan bahwa dugaan pencucian uang Rp300 triliun tersebut dilakukan oleh 460 lebih pegawai kementerian keuangan.
“Setelah bertemu dengan Mahfud, Sri Mulyani juga mengatakan bahwa laporan PPATK hanya terkait pegawai kementerian keuangan. Jumlahnya mencapai 964 orang. Artinya, dugaan pencucian uang di Kementerian Keuangan hanya terkait pegawai kementerian keuangan,” tegas Anthony.
Namun, kata dia, setelah pertemuan dengan pihak Kementerian Keuangan, Ivan mulai tidak konsisten dan diduga melakukan kebohongan publik, karena Ivan mengatakan bahwa laporan PPATK tidak terkait pegawai Kementerian Keuangan, dan tidak terkait dengan 964 pegawai kementerian itu.
“Hal ini bertentangan dengan pernyataan Mahfud dan Sri Mulyani,” kata Anthony.
Ia menyoroti pernyataan ini Ivan yang menyebut bahwa temuan transaksi Rp300 triliun itu merupakan laporan PPATK kepada Kementerian Keuangan sebagai pihak penyidik tindak pidana asal, tetapi, menurut Ivan, pelakunya bukan berasal dari Kementerian Keuangan.
“Bagaikan pepatah, Ivan sedang menggali kuburnya sendiri, karena objek dari tindak pidana asal adalah perbuatan dan pelaku. Kalau pelakunya bukan berasal dari Kementerian Keuangan, lalu berasal dari mana? Sedangkan objek dari tindak pidana pencucian uang adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana,” katanya.
Anthony menyimpulkan bahwa dengan apa yang dikatakannya itu, Ivan mengatakan bahwa ada harta kekayaan Rp300 triliun yang dimiliki oleh bukan pegawai kementerian keuangan, tetapi berasal dari tindak pidana pajak dan bea cukai.
"Pertanyaannya, bagaimana Ivan tahu bahwa harta kekayaan Rp300 triliun tersebut diperoleh dari tindak pidana pajak dan tindak pidana bea cukai? Padahal belum dilakukan penyidikan dan pembuktian?" katanya.
Anthoy menduga Ivan berupaya melakukan pembohongan publik untuk menghalangi pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Kementerian Keuangan dengan memanfaatkan ketidakpahaman publik mengenai 'tindak pidana asal', dan menurut dia, Jaksa Agung ST Burhanuddin sebetulnya sudah bisa melakukan penuntutan dan penangkapan kepada pemilik harta Rp300 triliun tersebut, karena menurut Pasal 69 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), penyidikan dan penuntutan tindak pidana jenis ini dapat dilakukan, tanpa perlu menunggu terlebih dahulu pembuktian 'tindak pidana asal'.
"Kepala PPATK bisa kena pidana apabila terbukti melakukan pembohongan publik untuk menghalangi pemberantasan pencucian uang.Yang lebih mengkhawatirkan, presiden bisa terseret. Karena PPATK sebagai lembaga independen bertanggung jawab langsung kepada presiden," tututnya.
Anthony meminta, untuk meluruskan hal ini, Jaksa Agung harus segera mengusut tuntas dugaan pencucian uang yang mencapai Rp300 triliun di Kementerian Keuangan, sesuai ketentuan pasal 69 UU TPPU.
"Ini jalan terakhir untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Kalau tidak, dikhawatirkan akumulasi kemarahan rakyat tidak terbendung," pungkasnya. (DID)
Baca Juga: Kemenkeu Resmi Berlakukan Insentif PPN Pembelian Rumah Maksimal Rp5 Miliar
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024