CARITAU JAKARTA – Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memvonis hukuman mati Eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo atas perkara pembunuhan berencana Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J, serta terlibat aktif dalam perintangan penyidikan atau Obstraction of Justice (OOJ).
Sementara Istrinya, Putri Candrawathi, divonis 20 tahun penjara karena keterlibatannya dalam pembunuhan tersebut. Keduanya dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan turut serta melakukan pembunuhan berencana pada Yosua.
Baca Juga: Awas! Peringatan Kamaruddin: Ferdy Sambo Bakal Bongkar Habis jika Divonis Mati
“Menyatakan, terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum, melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana, dan tanpa hak melakukan perbuatan yang menyebabkan sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya, yang dilakukan secara bersama-sama.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa (Ferdy Sambo-red) tersebut dengan pidana mati,” kata Hakim Ketua Wahyu Iman Sentosa yang didampingi dua hakim anggota, yaitu Alimin Ribut Sujono dan Morgan Simanjuntak.
Sontak, riuh pengunjung terdengar hebat di Ruang Sidang Utama Oemar Seno Adji, maupun di sekitar Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang dihadiri ratusan masyarakat, keluarga korban maupun terdakwa, jurnalis dan dijaga ketat aparat keamanan.
Bagaimana tidak, selama pembacaan pertimbangan oleh majelis hakim yang memakan waktu berjam-jam, pengunjung dibuat harap cemas dengan keputusan apa yang diberikan oleh majelis hakim.
Ada kekhawatiran publik hukum yang diterima oleh Ferdy Sambo ini bakal ringan, mengingat dia memiliki pengaruh cukup kuat; Eks Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, serta merupakan polisi berpangkat Jenderal Bintang Dua.
Namun, semua kekhawatiran tersebut seketika lenyap begitu saja tatkala Hakim Wahyu Iman Santosa membacakan vonis mati untuk Ferdy Sambo.
Sementara keluarga Brigadir J yang notabene korban dalam kasus pembunuhan berencana ini memperlihatkan ekspresi lega.
“Terima kasih, ini sesuai dengan harapan kami. Puji Tuhan, tetesan darah anakku, darah anakku yang bergelimang. Tuhan nyata, Tuhan menyatakan keajaibannya,” ujar Rosti Simanjuntak, Ibu Nofriansyah.
Adapun Kuasa Hukum Keluarga Brigadir J, Kamaruddin Simanjuntak mengemukakan setidaknya ada sejumlah perbuatan Ferdy Sambo yang membuat Majelis Hakim menjatuhkan hukuman mati.
"Bahwa terdapat belasan perbuatan Ferdy Sambo yang saya catat dari pertimbangan-pertimbangan Majelis Hakim," sebut Kamaruddin.
Untuk itu, Kamaruddin menganggap vonis ini telah pantas diberikan kepada Sambo, serta membuat seluruh rakyat Indonesia telah memperoleh keyakinan dan kepastian hukum.
"Kemenangan bagi seluruh rakyat Indonesia, karena masyarakat Indonesia baik di dalam maupun di luar negeri telah memperoleh keyakinan dan kepastian hukum," ucap dia.
Di lain sisi, Keluarga Besar Ferdy Sambo sangat terkejut dengan keputusan majelis hakim yang memvonis mati Ferdy Sambo. Pasalnya, pihak keluarga menduga Sambo hanya dijatuhi hukuman 20 tahun atau seumur hidup.
"Kami berharap pada persidangan banding dan kasasi, hukuman tersebut bisa terkoreksi. Mudah-mudahan bisa terkoreksi karena hukuman mati itu tidak hanya berimbas kepada tersangka, tapi juga pada anaknya," kata Keluarga Ferdy Sambo yang enggan menyebutkan namanya tersebut di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).
Lebih Berat dari Tuntutan Jaksa
Putusan vonis sidang Ferdy Sambo di PN Jaksel dibacakan langsung oleh Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso. Ferdy sambo terbukti dan diyakini bersalah dan dijerat sejumlah pasal, di antaranya Pasal 340 Subsider Pasal 338 Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Hakim juga menilai Ferdy Sambo terbukti melanggar Pasal 49 Pasal 33 UU/19/2026 tentang perubahan atas UU/11/2008 tentang ITE jo.
Majelis hakim menyangkal sejumlah keterangan seperti adanya pelecehan seksual, hingga membantah dugaan Ferdy Sambo tak terlibat langsung dalam penembakan. Hakim juga memberi hukuman lebih berat dibanding vonis sebelumnya lantaran sejumlah alasan. Ferdy Sambo juga disebut melakukan pembunuhan secara berencana.
"Dari tanggal 7 Juli tidak ada bukti pendukung yang mengarah pada kejadian yang valid adanya pelecehan seksual atau kekerasan seksual atau yang lebih dari itu," sebut hakim.
Hakim menyebut, sangat kecil kemungkinan korban atau Brigadir J melakukan kekerasan seksual atau pelecehan seksual terhadap terdakwa Putri Candrawathi.
Hakim pun turut menyinggung relasi kuasa sebagaimana diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Di mana pada situasi ini, posisi Putri yang notabene Istri Eks Jenderal Bintang Dua Polisi lebih tinggi dibandingkan Brigadir J.
"Pelecehan seksual dan kekerasan seksual biasaya dikaitkan dengan relasi kuasa, ketika pelaku memiliki kekuasan yang lebih daripada korban," jelas Hakim.
Selain itu, Hakim juga menyoroti tidak adanya bukti medis maupun fisik Putri telah mengalami pelecehan seksual.
"PC punya background dokter gigi yang biasanya menerapkan standar preventif kesehatan dasar tinggi ternyata tidak melakukan pemeriksaan kesehatan DNA bahkan visum rekam medis berkaitan pelecehan seksual atau lebih dari itu.
"Kemudian, tidak ada fakta yang mendukung Putri Candrawathi mengalami gangguan stres pasca trauma atau post traumatic disorder akibat pelecehan seksual maupun perkosaan," tandas dia.
Untuk itu, hakim menyimpulkan bahwa Putri tidak terbukti mengalami pelecehan dan kekerasan seksual.
"Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan di atas majelis hakim tidak memperoleh keyakinan yang cukup bahwa korban Nofriansyah Yosua Hutabarat telah melakukan pecehan seksual, atau perkosaan atau perbuatan lebih dari itu kepada Putri Candrawathi sehingga untuk alasan tersebut patut dikesampingkan," tegas dia.
Lalu, majelis hakim juga menyakini bahwa Ferdy Sambo turut menembak korban Brigadir J.
"Majelis Hakim memperoleh keyakinan yang cukup bahwa terdakwa telah melakukan penembakan terhadap Brigadir J dengan menggunakan senjata api jenis Glock, yang pada waktu itu dilakukan terdakwa dengan menggunakan sarung tangan," kata dia.
Adapun Wahyu menerangkan, majelis hakim memperoleh keyakinan tersebut berdasarkan keterangan Ferdy Sambo yang menjelaskan momen sebelum Sambo menciptakan skenario tembak-menembak.
Majelis hakim juga mengambil kesaksian mantan ajudan Sambo, Adzan Romer, yang menyebutkan bahwa dia melihat Sambo menjatuhkan senjata jenis HS yang kemudian dimasukkannya ke dalam saku kanan celana pakaian dinas lapangan (PDL) Sambo dan mengenakan sarung tangan hitam.
Keterangan ini juga diperkuat oleh kesaksian Eks Kasubnit 1 Reskrimum Polres Metro Jakarta Selatan Rifaizal Samual.
Dia menyebut Sambo membawa senjata api di dalam holster yang ada di pinggang sebelah kanan Sambo pada saat olah tempat kejadian perkara (TKP), serta kesaksian Richard Eliezer atau Bharada E.
Wahyu menerangkan, senjata Glock-17 milik Richard hanya menyisakan 12 butir peluru dari total kapasitas 17 peluru. Padahal, menurut Richard, senjata itu tak diisi penuh. Dengan jumlah tujuh tembakan masuk, hakim menduga terdapat 2-3 tembakan yang bukan berasal dari senjata Richard.
Sedangkan berdasarkan keterangan saksi ahli, dari pemeriksaan balistik, ada 3-4 selongsong peluru yang berasal dari senjata jenis Glock yang tidak bertuan atau tidak diketahui dari mana asalnya.
Sesuai dengan barang bukti yang disita dari rumah pribadi di Jalan Saguling, tutur hakim, Sambo memiliki persediaan sarung tangan warna hitam di rumahnya.
"Maka dapat disimpulkan, adanya dua atau tiga perkenaan tembakan yang bukan merupakan perbuatan saksi Richard," ujar Wahyu.
Berdasarkan sejumlah pertimbangan di atas, hakim memvonis hukuman mati kepada Ferdy Sambo. Vonis tersebut jauh lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) yang menuntutnya hukuman seumur hidup.
Di kesempatan berbeda, Kejaksaan Agung (Kejagung) turut mengapresiasi langkah Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan yang memvonis hukuman mati kepada Terdakwa Ferdy Sambo, meski hukuman yang diberikan lebih berat dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU).
"Jadi kejaksaan mengapresiasi putusan yg dikeluarkan oleh majelis yg telah mengambil alih seluruh pertimbangan hukum, fakta hukum yang tercantum dalam surat tuntutan.
"Ya kalau kita beli 5 dikasih 10 gitu, kita kan senang," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung RI I Ketut Sumedana saat dihubungi, Senin, (13/2/2023).
Selanjutnya, pihak Kejagung bakal menunggu dan meninjau upaya-upaya berikutnya yang dilakukan terdakwa.
"Kita lihat perkembangannya," papar dia.
Putri Divonis 20 Tahun Penjara
Putri Candrawathi atau PC telah menjalani proses sidang pembacaan vonis di PN Jaksen, Senin (13/2) kemarin. Dia hadir mengenakan baju berwarna putih, celana hitam dan masker putih.
Putri mengikuti sidang pembacaan vonis tepat setelah suaminya dijatuhkan hukuman mati oleh Majelis Hakim PN Jaksel. Saat hakim akan membacakan amar putusan, Putri sempat diminta untuk berdiri dari kursinya.
Perempuan berusia 49 tahun itu terlihat menarik nafas saat hakim menyatakan dirinya turut serta melakukan pembunuhan berencana.
Sejak memasuki ruangan sidang dan mengikuti jalannya persidangan, wajah Putri tampak sedih. Ia juga beberapa kali terlihat seperti menahan tangis usai divonis hukuman 20 tahun penjara.
Hakim juga menyatakan, jika pembunuhan Yosua terjadi akibat cerita yang disampaikan Putri kepada Sambo. Ia pun dinyatakan bersalah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Hakim menyatakan tidak ada alasan pemaaf bagi Putri Candrawathi.
"Menjatuhkan pidana penjara terhadpa Putri Candrawathi selama 20 tahun," kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2).
Vonis terhadap Putri juga lebih tinggi dari Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut Putri Candrawathi hukuman delapan tahun penjara dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir J.
Tak Ada Hal yang Meringankan Hukuman
Majelis Hakim juga memaparkan, pasangan terdakwa pembunuhan berencana Brigadir Yosua itu sama-sama tidak ada hal yang dapat meringankan hukuman mereka.
Sedangkan untuk pemberatan hukuman, Hakim Wahyu pun meninggalkan sejumlah catatan untuk mereka berdua. Seperti halnya, hakim menegaskan Ferdy Sambo adalah perilakunya tidak dapat dibenarkan. Sebab, korban merupakan ajudan yang telah mengabdi selama tiga tahun.
"Perbuatan terdakwa telah mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga korban, menyebabkan kegaduhan di masyarakat dan sangat tidak pantas karena terdakwa masih menduduki jabatan sebagai aparat penegak hukum, yaitu menjabat sebagai Kadiv Propam," jelas Hakim.
Kemudian, terdakwa telah mencoreng serta juga memberikan citra negatif bagi institusi Polri baik di mata Indonesia ataupun dunia International.
"Perbuatan terdakwa juga menyebabkan anggota Polri lainnya terlibat," ujar Hakim Wahyu.
Hakim Wahyu menambahkan, perlakuan dan perbuatan Ferdy Sambo di persidangan tidak kooperatif dalam memberikan keterangan serta mengelak untuk mengakui perbuatanya.
"Terakhir, terdakwa berbelit-beli dan tidak mengakui perbuatannya," tandas Hakim Wahyu.
Sementara untuk hukuman Putri Candrawathi, Hakim Wahyu menjelaskan ada empat hal memberatkan Putri Candrawathi sehingga dituntut delapan tahun penjara oleh penuntut umum. Pertama, perbuatan Putri mengakibatkan hilangnya nyawa dan duka yang mendalam bagi keluarga Brigadir J.
Kedua, Putri berbelit-belit dan tidak mengakui perbuatannya saat memberikan keterangan di persidangan. Ketiga, Putri tidak menyesali perbuatannya.
Selain itu, Hakim Wahyu juga menyebutkan bahwa tak seharusnya Putri Candrawathi ikut dalam perencanaan pembunuhan itu. Terlebih, kata Hakim, dia adalah seorang bendahara umum di kepengutusan Bhayangkari.
"Tidak ada alasan pembenar dan pemaaf dari perbuatan terdakwa," papar Hakim Wahyu.
Tuai Berbagai Respon
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam), Mahfud MD turut mengomentari vonis mati yang dijatuhkan Majelis Hakim kepada terdakwa Ferdy Sambo.
Adapun Majelis Hakim telah menyimpulkan bahwa Ferdy Sambo melakukan pembunuhan berencana kepada Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J.
"Peristiwanya memang pembunuhan berencana yang kejam. Pembuktian oleh jaksa penuntut umum memang nyaris sempurna. Para pembelanya lebih banyak mendramatisasi fakta," kata Mahfud lewat Instagram pribadinya, Senin (13/2/2023).
Dia pun juga memuji langkah Majelis Hakim yang telah menjatuhkan hukuman mati kepada Ferdy Sambo. Menurutnya, Hakim telah menjalankan amanahnya dengan baik sehingga putusannya selaras dengan keinginan publik.
"Hakimnya bagus, independen, dan tanpa beban. Makanya vonisnya sesuai dengan rasa keadilan publik. Sambo dijatuhi hukuman mati," pungkas dia.
Sementara Pakar Hukum Pidana Azmi Syahputra yang juga Dosen Fakultas Hukum Universitas Trisaksi menyebut putusan Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso menunjukkan kualitasnya dalam mempertimbangkan fakta dan bukti. Dia juga menilai majelis hakim bisa menjaga kewibaan peradilan selaku tiang utama penegakkan hukum.
Vonis mati yang diterima Ferdy Sambo disebut sebagai wujud harapan keadilan yang telah dinantikan masyarakat hingga keluarga. Ke depannya putusan-putusan yang adil dan tidak memihan ini bisa jadi tonggak penegakkan hukum yang berkeadilan.
"Putusan hakim juga bisa dijadikan sebagai peringatan bagi aparat atau pejabat negara agar tidak menyalahgunakan jabatan dan sarana yang diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, bisa saja aparat yang melakukan hal itu akan dikenakan sanksi berat," terang dia saat dihubungi.
Berbeda dengan pernyataan di atas, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan hukuman mati bukanlah ganjaran yang seharusnya diterima oleh Ferdy Sambo.
Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro menjelaskan hak hidup termasuk ke dalam hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non-derogable rights), tetapi hukum Indonesia masih menerapkan pidana hukuman mati.
Atnike berujar hukuman mati masih diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru. Meski bukan lagi menjadi hukuman pidana pokok, dia berharap hukuman mati dihapus.
"Hukuman mati bukan lagi menjadi hukuman pidana pokok, dan berharap agar penerapan hukuman mati ke depan dapat dihapuskan," jelas Atnike.
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan perbuatan Ferdy Sambo memang tergolong kejahatan yang serius dan sulit ditoleransi. Meski Sambo perlu dihukum berat, ia tetap berhak untuk hidup.
“Amnesty tidak anti penghukuman, kami sepakat bahwa segala bentuk kejahatan di bawah hukum internasional yang dilakukan aparat negara harus dihukum yang berat tetapi tetap harus adil, tanpa harus menjatuhkan hukuman mati. Ini hukuman yang ketinggalan zaman.
“Kami menghormati putusan hakim yang telah berusaha untuk memenuhi rasa keadilan korban dan juga khalayak umum. Namun hakim bisa lebih adil, tanpa harus memvonis mati Sambo.
Menurutnya, hukuman mati bukan jalan pintas untuk membenahi akuntabilitas kepolisian sebagai penegak hukum. Sebab, kasus ini bukanlah kasus pembunuhan di luar hukum pertama yang melibatkan polisi.
"Kasus ini seharusnya menjadi pengingat bagi pihak Kepolisian untuk segera melakukan pembenahan serius secara internal," tutup dia. (Rahma Dhoni)
Baca Juga: Sebut Berempati pada Keluarga Yoshua, Kajagung Klaim Tuntutan Sambo Cs Sudah Tepat
vonis mati untuk sang jendral ferdy sambo putri candrawathi pembunuhan berencana brigadir j pn jaksel
Bawaslu RI Gelar Media Gathering untuk Evaluasi Pe...
RDF Rorotan Segera Beroperasi di Jakarta, Olah 2.5...
DPRD DKI Jakarta Dukung PAM Jaya Tingkatkan Layana...
Karutan Makassar Perketat Pengawasan Penyalahgunaa...
Sekda Marullah Beri Penghargaan Siddhakarya Bagi 1...