CARITAU JAKARTA - Pengamat politik Unair, Siti Aminah menyoroti strategi PDIP menduetkan Ganjar Pranowo dengan Mahfud Md. Menurutnya, jika pengusungan Mahfuf untuk meraup suara Nahdlatul Ulama (NU), kurang tepat.
Aminah mengatakan bahwa Mahfud bukan kekuatan pendongkrak suara NU, karena dia biasa-biasa saja seperti intelektual NU yang ada di kampus pada umumnya. Dia juga menegaskan bahwa pengalaman Mahfud di bidang hukum, politik, dan keamanan tidak menjamin visi-misi Ganjar sebagai presiden.
Baca Juga: Pengamat: Aturan Presiden Ikut Kampanye Bakal Timbulkan Persoalan
"Pengalaman Mahfud tidak menjamin visi-misi Ganjar. Karena Ganjar mengusung misi-visi PDI-P. Tentang ini perlu ada riset. Kalau dilihat dari cara PDIP merangkul NU di sini kurang pas. Menurut saya strategi PDIP kurang tepat," kata Aminah dikutip, Selasa (31/10/2023).
Aminah menjelaskan bahwa ada beberapa model yang bisa digunakan untuk menganalisis pengaruh dukungan tokoh NU terhadap elektabilitas Ganjar. Model pertama, adalah model preferensi pemilih, yang mengasumsikan bahwa pemilih memilih kandidat yang mereka nilai paling positif dan paling berpeluang menang.
Model kedua, adalah model ikut-ikutan, yang mengasumsikan bahwa pemilih ingin berada di pihak yang menang dalam kampanye pencalonan. Model ketiga, adalah model utilitas yang mengasumsikan bahwa pemilih mempertimbangkan elektabilitas dan penilaian mereka terhadap kandidat dalam menentukan pilihan.
Aminah menambahkan bahwa elektabilitas tidak ditentukan oleh komunikasi politik.
Dia mengatakan bahwa Ganjar dan Mahfud sudah ahli dalam membangun komunikasi politik dengan masyarakat yang menjadi bagian dari masa aktifnya. Mengingat masyarakat sudah terbelah-belah berdasar garis afiliasi partai politik, komunikasi politik tidak cukup untuk mempengaruhi simpatisan fanatik, ikut arus, atau cuek.
Aminah memandang elektabilitas kurang berguna dalam melobi suara masyarakat secara strategis dalam memilih capres. Pasalnya, masyarakat harus mengkaji lebih dalam visi dan misi masing-masing capres, bukan hanya berdasarkan survey yang dinamis.
Dalam hal ini, Aminah menjelaskan bahwa konotasi elektabilitas kurang tepat digunakan karena sering diterapkan dengan cara yang sangat licin, tidak konsisten, dan bias.
“Ada konflik kepentingan ketika para politisi mengklaim bahwa mereka lebih terpilih (elektabilitas tinggi dari survey-survey, red.) karena implikasinya adalah mereka lebih berhak mendapatkan suara kita dibandingkan lawan mereka,” ujarnya.
Lebih lanjut, Aminah mengungkapkan bahwa elektabilitas kerap kali disalahgunakan untuk memanipulasi atau mengacaukan pilihan calon pemilih, yang dimana menjadi senjata untuk menjatuhkan kandidat lain. Menurutnya, elektabilitas akan menimbulkan asumsi bahwa mereka lebih ‘layak dipilih’ daripada lawannya, yang dimana dapat dianalogikan bahwa mereka mengklaim dirinya lebih unggul daripada lainnya dalam hal kebaikan, kreativitas, atau memproduksi janji-janji politik dalam kampanye.
“Jadi, elektabilitas bukan tolok ukur yang relevan untuk mengatakan bahwa calon tertentu lebih unggul dan layak dipilih. Kata elektabilitas dari survey-survey yang tujuannya untuk menaikkan elektabilitas itu sering digunakan untuk menutupi prasangka halus dengan mengecilkan hati kandidat yang tampil berbeda dari kandidat yang lebih tradisional atau lebih dalam bidang yang lain,” pungkas Dosen Ilmu Politik FISIP tersebut. (DID)
Baca Juga: Contekan Jokowi Jadi Polemik, Timnas AMIN Dorong Tom Lembong Debat dengan Luhut
ganjar pranowo mahfud md ganjar - mahfud pilpres 2024 pemilu 2024
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...