CARITAU JAKARTA - Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin agar turun tangan mengusut transaksi janggal di Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang mencapai hingga Rp300 triliun.
Ia bahkan mengatakan, Presiden Jokowi wajib mengganti Jaksa Agung jika tidak mampu mengungkap kasus yang menggegerkan itu, karena menurut dia, pernyataan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana bahwa transaksi itu bukan korupsi, mengandung banyak kejanggalan.
Baca Juga: Temui Jaksa Agung, AHY Perkuat Kerja Sama untuk Tuntaskan Isu Pertanahan
PPATK sendiri, kata dia mengatakan bahwa transaksi itu merupakan laporan untuk ditindaklanjuti penyidik di Kemenkeu sebagai tindak pidana asal tindak pidana pencucian uang (TPPU) sebagaimana diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2010.
"Pencucian uang ini kan apapun namanya itu dana ilegal, karena di situ ada dikorupsi atau dana ilegal lain, yaitu dari perjudian ilegal, dari narkoba dan sebagainya. Jadi, itu seharusnya (dilihat) lebih luas,” katanya kepada wartawan di Jakarta, Jumat (17/3/2023).
Ia menambahkan, terkait transaksi janggal Rp300 triliun di Kemenkeu, awalnya terindikasi sebagai tindak pidana pencucian uang yang diduga dilakukan oleh pegawai Kemenkeu di Ditjen Pajak (DJP) dan Ditjen Bea Cukai, tetapi Kepala PPATK Ivan Yustiavandana kemudian mengatakan bahwa transaksi itu bukan hasil korupsi, dan tindak pidana pencucian uang dalam transaksi itu pun bukan dilakukan oleh pegawai Kemenkeu.
"Kalau memang bukan dilakukan oleh pegawai Kementerian Keuangan, lalu untuk apa (uang Rp300 triliun itu) ditemukan di Kementerian Keuangan dan dilaporkan ke penyidik Kementerian Keuangan untuk diselidiki sebagai tindak pidana asal?" tanyanya.
Anthony mengingatkan bahwa jika benar transaksi itu bukan dilakukan oleh pegawai Kemenkeu, maka artinya transaksi itu dilakukan oleh orang-orang di luar Kemenkeu, dan menurut dia, Kemenkeu tidak bisa menyidik orang-orang di luar kementeriannya. Kecuali jika Kemenkeu sudah tahu identitas wajib pajak (WP) yang melakukan transaksi dan identitas WP itu harus dibuka, serta diungkap kenapa dia bisa mendapatkan uang Rp300 triliun.
“Nah ini yang harus dibongkar saya rasa,” tegasnya.
Anthony juga mengingatkan bahkan Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan bahwa laporan dari PPATK itu terkait dengan 964 pegawai kementeriannya yang dia sebut sebagai aparat dan ASN.
“Kalau Kepala PPATK kemudian mengatakan bahwa transaksi itu bukan dilakukan oleh pegawai Kementerian Keuangan, lalu (yang bertransaksi itu) siapa?” tanya Anthony lagi.
Atas kejanggalan-kejanggalan itu, Anthony meminta Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mempertanggungjawabkan pernyataannya karena menurutnya, bagaimana PPATK bisa tahu pelaku transaksi itu bukan pegawai Kemenkeu, sementara di sisi lain PPATK menyebut bahwa transaksi itu merupakan tindak pidana pajak dan bea cukai.
“Nah ini yang harus diluruskan. (Apalagi) karena PPATK punya nama-nama orang yang melakukan transaksi itu dan mengatakan ini Indikasi pencucian uang,” katanya.
Anthony juga mengingatkan bahwa pasal 69 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU menyatakan bahwa dalam TPPU tidak perlu dibuktikan tindak pidana asal, dan bisa langsung dituntut, sehingga juga menjadi pertanyaan mengapa PPATK menyerahkan laporan transaksi itu kepada Kemenkeu jika bukan pegawai Kemenkeu yang melakukan transaksi itu?
“Ini kalau terbukti Kepala PPATK Ivan Yustiavandana melakukan kebohongan publik, maka ini akibatnya bisa fatal,” katanya.
Ketika ditanya mungkinkah ada intervensi terhadap PPATK, sehingga pimpinannya memberikan pernyataan seperti itu?
“Sangat mungkin, karena setelah (pernyataan Kepala PPATK) itu gestur (Menkopolhukam) Mahfud (MD) juga seperti tidak happy, seperti tertekan,” katanya. Ia menduga ada kekuatan sangat besar di balik pernyataan Kepala PPATK itu.
“Saya tidak tahu kekuatan besar itu siapa, tapi yang jelas adalah PPATK ini bermain api karena PPATK sebagai lembaga independen bertanggung jawab langsung kepada presiden. Kalau dia sampai terbukti menghalangi pemberantasan pencucian uang, maka dia menyeret Presiden sebagai pihak yang bisa dicurigai menghalangi pemberantasan korupsi dan menghalangi pemberantasan tindak pidana pencucian uang,” terangnya.
Karena hal tersebut, ia pun meminta Jaksa Agung ST Burhanuddin turun tangan menangani kasus ini untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat. “Jika tidak bisa mengusut kasus ini, Jokowi wajib mengganti Jaksa Agung,” tegasnya.
Seperti diketahui, adanya transaksi mencurigakan sebesar Rp300 triliun tersebut diungkap Mahfud di Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, pada 8 Maret 2023.
“Saya sudah dapat laporan terbaru tadi pagi, malah ada pergerakan mencurigakan senilai Rp300 triliun di lingkungan Kementerian Keuangan yang sebagian besar ada di Direktorat Jenderal Pajak dan Bea Cukai,” katanya.
Namun, pada Selasa (14/3/2023), Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan bahwa transaksi itu bukan hasil penyalahgunaan atau korupsi pegawai Kemenkeu. Ivan mengatakan, uang tersebut merupakan laporan atas temuan kasus yang disampaikan PPATK kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani. Hal ini terkait peran Kemenkeu sebagai salah satu penyidik tindak pidana asal tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 2010.
“Sehingga, setiap kasus yang berkaitan dengan kepabeanan, bea cukai dan perpajakan, kami sampaikan hasil analisis atau pemeriksaan ke Kemenkeu,” katanya. (DID)
Baca Juga: Resmi Jadi Tersangka, Bareskrim Kembali Periksa Panji Gumilang Soal TPPU Pekan Depan
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...