CARITAU JAKARTA – Serangan Putin atau Rusia ke Ukraina tidak perlu dikhawatirkan bakal meletus menjadi Perang Dunia III, seperti ditakutkan banyak orang.
Begitu analisis Hendrajit, pengkaji geopolitik yang juga Direktur Global Future Institute kepada Caritau.com, Jumat (25/2/2022).
Baca Juga: Ukraina Kecam Paus Fransiskus Soal Pernyataan 'Bendera Putih'
Menurut Hendrajit, Ukraina sejak 2014 --setelah kejatuhan Presiden Viktor Yanukovich oleh koalisi partai—memang dipimpin oleh presiden yang kebijakannya lebih frontal berseberangan dengan kebijakan Putin dalam hal politik dan ekonomi, serta lebih condong pada kepentingan AS dan sekutunya, termasuk presiden saat ini Volodymyr Zelensky.
“Serangan ini sebenarnya kecerdikan dan strategi diplomasi Putin yang nanti pasti menghadapi desakan dunia untuk menghentikan serangan dan masuk ke meja perundingan,” kata Hendrajit.
Menurutnya, strategi diplomasi Putin ini pada prinsipnya: kalaupun harus berunding, Rusia berada dalam posisi di atas angin dalam perundingan.
Putin menyadari kondisi obyektif, yakni tidak solidnya NATO antara kelompok anglosaxon Inggris–AS dengan Jerman dan Perancis.
Hal itu terbukti bagaimana AS dan NATO tak segera bergerak membela Ukraina begitu Rusia mulai menyerang.
Kondisi ini membuat Zelensky kecewa. Ia menyebut Ukrainan seperti ditinggal sendiri dalam peperangan melawan Rusia karena tak ada satupun bantuan militer dari pihak yang mereka anggap sekutu (Amerika Serikat dkk di NATO).
“Kami ditinggalkan sendirian untuk membela negara kami,” kata Zelensky dalam pidato video kepada bangsanya, pada tengah malam saat invasi telah berlangsung.
“Siapa yang siap bertarung bersama kami? Saya tidak melihat siapa pun. Siapa yang siap memberi Ukraina jaminan keanggotaan NATO? Semua orang takut,” katanya geram sembari mengabarkan bahwa sudah 137 warga Ukraina, baik personel militer maupun warga sipil telah tewas sejak awal serangan pada Kamis (24/2/2022) pagi.
Sering Meninggalkan Sekutunya
Kekecewaan Presiden Ukraina yang merasa ditinggalkan, kata Hendrajit, sangat wajar. Hal ini sebetulnya menggambarkan watak asli AS. Hendrajit mencontohkan kondisi yang sama, yaitu Ketika Afghanistan dikuasai oleh Taliban, di mana AS juga tak melakukan apapun.
“Jadi Amerika ini makin kuat reputasinya sebagai negara yang tidak segan-segan meninggalkan sekutunya atau proxy-nya di saat malah sedang dibutuhkan, demi menjaga keamanannya sendiri,” tutur Hendrajit.
Tindakan AS ini, kata Hendrajit, menggambarkan bahwa mereka juga sudah berhitung untung ruginya memberikan bantuan militer kepada Ukraina.
“Washington juga sudah berhitung. Mereka tahu Putin melakukan invasi karena punya hitungan yang jelas, sehingga AS tak ingin terpancing. Padahal mereka sebelumnya mau memancing Rusia,” kata Hendrajit.
Perhitungan matang Putin sehingga berani melakukan invasi meski telah mendapat ultimatum dari internasional, kata Hendrajit, didasarkan pada beberapa hal. Pertama adanya perpecahan di kubu Eropa Barat dalam hal ini anggota NATO, di mana Jerman dan Prancis tidak sepenuhnya mendukung AS dan Inggris. Kedua, kepentingan ekonomi, terutama Jerman yang sangat bergantung pada pasokan gas dari Rusia.
“Keluarnya Inggris dari Uni Eropa membuat Jerman dan Prancis jadi leading sector dan dua negara ini pada dasarnya welcome dengan Rusia. Jadi kalaupun ada sanksi ekonomi atau embargo yang diberikan, itu hanya setengah hati, tidak seperti AS dan Inggris serta sekutu solidnya lain yang pasti memaksakan embargo untuk memberi hukuman ke Rusia,” ujar Hendrajit.
Posisi Ukraina yang kini ditinggalkan oleh ‘sekutu’nya juga dinilai sebagai kesalahan negara itu sendiri. Politisi PDIP, Budiman Sudjatmiko menilai, Ukraina seharusnya tidak perlu berteriak-teriak ingin masuk NATO sehingga membuat Rusia meradang.
"Ya wis lah… Ukraina jangan teriak-teriak mau masuk NATO, membuat pangkalan militer AS dan menghidupkan lagi program nuklirnya," kata Budiman Sudjatmiko lewat akun Twitter nya @budimandjatmiko, pada Jumat (25/2/2022).
Founder Gerakan Inovator 4.0 itu mengatakan, seharusnya Ukraina jangan mau dikompori untuk mencabuti kuku ‘beruang’, merujuk pada julukan Rusia yaitu negara beruang merah.
Budiman mengatakan bahwa Ukraina harus cerdas dalam bergeopolitik, seraya meminta Rusia untuk mundur dari Kyiv dan berdamai.
"Makanya jangan mau dikompori untuk nyabutin kuku beruang. Cerdaslah bergeopolitik. Rusia mundurlah dari Ukraina. Damai…, damai," ujarnya.
Kiev Bak Kota Hantu
Memasuki hari ketiga invasi Rusia, kondisi Kiev Ibu Kota ukraina, kini bak kota hantu, sepi ditinggal penduduknya yang memilih mengungsi ke kota lain yang jauh dari Ibu Kota.
Jalan-jalan lengang, tak tampak kendaraan bermotor lalu Lalang. Begitu juga bangunan tempat tinggal, rumah-rumah dan gedung apartemen lengang tak berpenghuni.
Kiev memang sudah jadi kota mati. Hanya pasukan militer yang masih berada di kota tersebut. Sementara tentara Rusia dan Ukraina kini sudah semakin mendekat untuk memulai perang kota dan bertarung sengit memperebutkan Ibu Kota Kiev.
Pada Sabtu (26/2/2022) pagi, tentara Ukraina mengumumkan berhasil memukul mundur serangan Rusia di Kiev.
Ibu kota Ukraina ternayata benar-benar diserang, hanya beberapa jam setelah Presiden Volodymyr Zelensky memperingatkan bahwa Rusia akan berusaha merebut Kiev sebelum fajar.
Salah satu target utama tentara Rusia adalah menangkap Presiden Zelensky, meski Sang Presiden menolak diungsikan dan menegaskan akan tetap berada di ibu kota sampai titik darah penghabisan.
"Perhatian khusus pada Kiev, kita tidak boleh kehilangan ibu kota," tegasnya.
"Saya beralih ke para pembela kami, pria dan wanita, di semua lini, malam ini musuh akan menggunakan semua kekuatan yang dimilikinya untuk menghancurkan pertahanan kita dengan cara yang berbahaya, kasar dan tidak manusiawi," pungkasnya galau. (DIM)
Baca Juga: Gedung Putih Kecam Pernyataan Donald Trum Soal NATO
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024