CARITAU JAKARTA - Juru Bicara Tim Sosialisasi KUHP baru atau KUHP Nasional, Albert Aries, menanggapi ihwal kabar yang beredar mengenai ketentuan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun yang disebut-sebut dipersiapkan untuk Ferdy Sambo selaku terpidana mati terkait kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J).
Dalam keterangannya, pria yang akrab disapa Albert itu membantah bahwa KUHP baru atau Nasional itu diduga dipersiapkan untuk Ferdy Sambo atas vonis hukuman matinya. Albert juga menegaskan bahwa kabar tersebut tidak benar dan tidak memiliki dasar yang jelas.
Albert menegaskan, bahwa ketentuan pidana mati dengan masa percobaan selama 10 tahun tersebut, bahkan sudah diperkenalkan di dalam Draft KUHP versi tahun 2015 lalu yang berarti jauh sebelum kasus Sambo ini bergulir.
Albert menerangkan, bahwa ketentuan aturan itu mengacu pada pertimbangan hukum (ratio decidendi) Putusan MK No. 2-3/PUU-V/2007 hal.430, yaitu mengenai pidana mati bukan lagi merupakan pidana pokok, melainkan pidana yang bersifat khusus dan alternatif.
Sehingga, lanjut Albert, putusan mengenai vonis hukuman mati terhadap terpidana selama masa penahanannya dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 tahun. Selain itu, jika nanti terpidana tersebut berkelakuan baik maka vonis tersebut dapat berubah menjadi pidana penjara seumur hidup atau 20 tahun penjara.
"Mengkait-kaitkan kasus Sambo dengan ketentuan Pidana Mati dalam KUHP baru merupakan asumsi yang keliru, apalagi kasus tersebut juga belum berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde), tegas Albert.
Adapun terkait isu lain yang juga turut disoroti publik, yakni soal pengurangan hukuman bagi terpidana mati melalui masa percobaan 10 tahun yang termaktub didalam KUHP nasional atau KUHP baru, menurut Albert tidak mudah begitu saja didapat bagi seorang terpidana mati.
Albert menjelaskan bahwa ketentuan mengenai perubahan pidana mati menjadi seumur hidup diberikan, setelah mendapatkan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 100 ayat 4) dan juga setelah melewati serangkaian assesment yang dinilai secara objektif dari Kemenkumham dan lembaga terkait selama masa percobaan 10 tahun itu berlangsung.
"Isu lainnya yang perlu diluruskan adalah terkait 'kelakuan baik' dari terpidana mati yang katanya bergantung pada “surat sakti” Kalapas. Dengan berlakunya KUHP Nasional Januari 2026 nanti, jangan dimaknai akan membuat pelaksanaan Pidana Mati menjadi hapus," tegas Albert.
Albert menuturkan, bahwa ketentuan mengenai aturan hukuman mati yang termaktub dalam KUHP baru atau KUHP nasional itu merupakan jalan tengah yang diambil dari dua kelompok yang setuju akan hukuman mati dan kelompok yang tidak setuju dengan pelaksanaan hukuman mati.
"Paradigma baru dari pidana mati dalam KUHP nasional sebagai 'jalan tengah' (Indonesian Way) bagi kelompok yang pro (retentionist) dan kontra (abolitionist) terhadap pidana mati," tutur Albert.
Albert menambahkan, bagi seluruh terpidana mati yang perkaranya berkekuatan hukum tetap, namun belum dieksekusi saat berlakunya KUHP Nasional nanti, maka berlaku Pasal 3 ayat (1) KUHP Nasional (lex favor reo).
Dalam pasal itu, kata Albert telah menyatakan dalam hal terjadinya perubahan soal peraturan perundang-undangan sesudah perbuatan itu terjadi, maka nanti akan diberlakukan peraturan yang baru dengan pengecualian peraturan lama menguntungkan bagi pelaku.
"Pemerintah nanti akan menyiapkan ketentuan 'transisi' untuk menghitung 'masa tunggu' yang sudah dijalani terpidana mati, dan juga untuk assessment untuk menilai adanya perubahan sikap dan perbuatan terpuji dari terpidana mati secara objektif, sebagai jaminan kepastian hukum yang berkeadilan dan perlindungan Hak Asasi Manusia," tandas Albert.
Diketahui sebelumnya, Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) dalam keputusan telah resmi menjatuhkan vonis mati terhadap Ferdy Sambo selaku terdakwa dalam kasus pembunuhan berencana kepada Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat (Brigadir J).
Dalam keputusan tersebut, Majelis Hakim yang dipimpin Hakim Wahyu Imam Santoso juga telah menyebutkan bahwa dalam vonisnya tidak ada hal-hal yang dapat meringankan perbuatan yang dilakukan Ferdy Sambo dalam perkara tewasnya Brigadir J di komplek Polri, Duren Tiga, Jakarta Selatan (Jaksel).
Hal tersebut disampaikan Hakim Wahyu dalam agenda pembacaan putusan terhadap Ferdy Sambo di ruang sidang utama Prof Oemar Seno Adji, PN Jaksel, Senin (13/02/2023).
"Mengadili, menyatakan Terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan tindakan yang menyebabkan sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Menjatuhkan terdakwa dengan pidana mati,” kata Hakim Ketua Wahyu.
Dalam keteranganya, Hakim Wahyu menyatakan, bahwa dalam kasus pembunuhan berencana ini, disimpulkan tidak ada hal yang dapat meringankan perbuatan Sambo dalam perkara tersebut.
“Tidak ada hal meringankan dalam perkara ini,” kata Hakim Wahyu. (GIB)/(IRN)
Baca Juga: Majelis Hakim Vonis Putri Candrawathi 20 Tahun Penjara
ferdy sambo vonis sidang vonis pengadilan negeri jakarta selatan brigadir j pembuhunan berencana bharada e richard eliezer kuhp
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...