CARITAU JAKARTA - Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengkritik adanya pelanggaran hak-hak asasi manusia, termasuk hak-hak sipil dan politik yang dilakukan aparat keamanan terhadap protes damai warga Nagari Air Bangis di Padang.
Diketahui, sekitar 1.000 warga Nagari Air Bangis melakukan aksi damai menolak rencana pembangunan proyek strategis nasional di wilayah mereka di depan Kantor Gubernur Sumatera Barat, Padang. Mereka beralasan, proyek itu mengancam mata pencaharian dan hak-hak mereka atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Aksi tersebut berjalan selama enam hari, sebelum dibubarkan secara paksa pada Sabtu (5/8/2023) lalu.
Baca Juga: Haris Azhar Sebut Rencana Prabowo Lanjutkan Jokowi Soal HAM di Papua Tak Berikan Solusi
Tidak hanya itu, pihak kepolisian mengamankan 18 orang, yang terdiri dari tokoh masyarakat, mahasiswa, dan advokat ataupun pendamping masyarakat.
“Mereka datang dan tinggal berhari-hari untuk melaksanakan hak-hak konstitusional mereka dan mempertahankan ruang hidup mereka. Respons negara, baik polisi dan Gubernur, justru berlebihan dan terkesan memaksakan Proyek Strategis Nasional,” kata dia lewat keterangan tertulisnya.
“Ada pengabaian terang-terangan terhadap hak dan kebebasan sipil. Kekhawatiran warga Nagari Air Bangis tentang dampak proyek itu terhadap keberlangsungan hidup mereka sah dan harus didengar oleh negara, bukan malah direpresi. Tanpa persetujuan mereka, proyek itu tidak boleh dipaksakan,” lanjut Usman.
Bahkan, sejumlah jurnalis yang meliput di Masjid Raya Sumbar pada Sabtu 5 Agustus 2023 juga mengalami kekerasan, intimidasi dan penghalangan kerja oleh personel kepolisian.
“Ini adalah serangan terhadap kebebasan pers dan menghalang-halangi hak masyarakat luas untuk mengakses informasi yang akurat. Maka tindakan represif atas warga dan jurnalis ini harus diusut melalui penyelidikan yang menyeluruh dan independen,” ujarnya.
“Negara juga harus mengevaluasi rencana proyek strategis nasional ini, karena studi sebelumnya dari organisasi-organisasi sipil seperti dari LBH Padang dan Walhi, menunjukkan proyek tersebut jelas berdampak negatif terhadap lingkungan hidup, seperti hak atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, dan juga berpotensi menimbulkan konflik baru di Sumatera Barat, seperti mengancam hak atas tanah, ruang kelola rakyat dan kebudayaan masyarakat serta penghidupan yang layak,” ujar Usman.
Dia mendesak agar tindakan seperti itu tidak terulang lagi ke depannya. Terlebih, apa yang disampaikan warga Air Bangis tersebut berkaitan erat dengan nasibnya yang terancam.
“Jangan sampai negara mengulangi kesalahan proyek-proyek strategis nasional sebelumnya, yang mematikan lahan penghidupan masyarakat dan merusak lingkungan. Salah satu kesalahan itu pernah menimpa warga Desa Wadas terkait proyek Bendungan Bener dan pertambangan di Desa Wadas, Jawa Tengah," terang dia.
Aksi damai dihadapi dengan represi
Pada 31 Juli 2023 sekitar 1.000 warga Nagari Air Bangis dan mahasiswa menggelar unjuk rasa di Kantor Gubernur Sumbar menolak usulan proyek strategis nasional (PSN) kilang minyak dan petrokimia oleh Pemprov Sumbar ke pemerintah pusat dengan luas konsesi 30.000 hektar, karena menyerobot lahan yang dikelola warga.
Massa juga menuntut agar lahan yang mereka kelola secara turun-temurun dikeluarkan dari status hutan produksi. Mereka menuntut pula agar anggota Brimob yang menjaga lahan program hutan tanaman rakyat (HTR) yang dikelola koperasi serba usaha di kawasan itu ditarik. Lokasi HTR juga dipandang tumpang tindih dengan lahan masyarakat.
Gubernur Sumbar hanya tampak sekali secara tak terduga datang ke Masjid Raya Sumbar untuk salat subuh pada Kamis 3 Agustus 2023. Sikap Gubernur Sumbar itu tidak cukup memuaskan warga Air Bangis yang merasa aspirasi mereka belum tersampaikan dengan melanjutkan aksi damai dan menginap di Masjid Raya Sumbar. Sedangkan pejabat Pemprov Sumbar mengklaim mediasi “sudah dilakukan”.
Pada Sabtu 5 Agustus warga yang bertahan di Masjid Raya Sumbar dipulangkan secara paksa oleh aparat sehingga berlangsung kericuhan. Sebanyak 18 orang ditangkap, yang terdiri dari enam orang masyarakat, empat mahasiswa, dan delapan aktivis atau pendamping hukum dari LBH Padang (7) dan PBHI (1). Pada Minggu 6 Agustus, sumber kredibel Amnesty International Indonesia menyebut bahwa mereka telah dilepaskan dari Polda Sumbar, namun warga “dipaksa” pulang ke kampung dan dikawal untuk pulang.
“Negara tidak boleh berdiam diri dan harus ada penyelidikan yang menyeluruh dan independen atas aksi represif berupa pemulangan paksa dan penangkapan tersebut. Negara juga tidak boleh meneruskan rencana Proyek Strategis Nasional itu selama belum ada penyelesaian dan konsultasi bermakna dengan masyarakat Nagari Air Bangis sebagai pihak yang terdampak atas proyek tersebut,” kata Usman Hamid.
Kekerasan dan intimidasi aparat atas jurnalis peliput
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang menyebut sedikitnya empat orang jurnalis menjadi korban. Jurnalis Tribunnews, Nandito Putra, dipiting oleh polisi berpakaian bebas saat sedang merekam kondisi sambil live streaming untuk medianya. Ia sebelumnya juga dilarang mengambil gambar dan ponselnya juga berupaya direnggut.
Dito baru dilepaskan setelah dua orang jurnalis menyampaikan protes kepada para polisi, karena rekan mereka diamankan. Namun saat upaya itu, petugas juga mengangkat kerah baju Fachri Hamzah Jurnalis Tempo dan melontarkan ancaman. Selain Fachri, Aidil Ichlas Ketua AJI Padang juga mendapatkan ancaman dari petugas yang sama saat berupaya melepaskan Nandito. Beberapa menit kemudian, sejumlah perwira dari Polresta Padang menengahi dan meminta maaf kepada Nandito, Fachri dan Aidil atas peristiwa tersebut.
Tidak hanya itu, intimidasi juga dialami oleh Dasril Jurnalis Padang TV. Saat itu, Dasril sedang mengambil gambar penangkapan salah satu pendamping dari LBH Padang. Tiba-tiba salah satu pihak kepolisian menghalangi kamera Dasril untuk merekam sambil dihardik.
Zulia Yandani (Lia), seorang jurnalis perempuan dari Classy FM juga mengalami kekerasan. Lia saat itu baru selesai sholat dan mendengar kericuhan di lantai I Masjid Raya Sumbar. Saat sedang merekam, dia tiba-tiba didatangi dua orang dan menanyai tanda pengenalnya. Walau sudah dijelaskan Lia bahwa dirinya wartawan, namun mereka tetap menariknya dan mengangkat kedua kakinya serta hendak dibawa ke mobil.
Tindakan yang dilakukan pihak kepolisian telah melanggar kebebasan pers. Padahal, Undang-undang Nomor 40 tahun 1999 tentang kebebasan pers telah tegas mengatur tentang kerja-kerja jurnalistik.
“Selain mengecam intimidasi dan kekerasan yang ditujukan terhadap para warga dan jurnalis yang bertugas di Masjid Raya Sumbar pada 5 Agustus lalu, kami juga mendukung tuntutan para jurnalis yang mendesak Kapolda Sumbar meminta maaf serta memproses anggotanya yang diduga melakukan intimidasi dan kekerasan kepada jurnalis sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Proyek itu juga harus dievaluasi serius,” lanjut Usman. (RMA)
Baca Juga: Amnesty Internasional Sebut Israel Gunakan Fosfor Putih di Jalur Gaza
Pertarungan Dukungan Eks Gubernur Foke dan Anies v...
Buka 35.000 Lowongan Pekerjaan, Pj Teguh Resmikan...
Pj Teguh Instruksikan Perangkat Daerah Bersinergi...
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...