CARITAU JAKARTA – Musik reggae berkembang di Jamaika pada akhir era 60-an. Di Jamaika, musik reggae merepresentasikan kondisi strata sosial masyarakat di sana. Kata reggae berasal dari pengucapan dalam logat Afrika ragged, yang berarti kaku layaknya hentakan badan penari dengan iringan musik ska dan rocksteady.
Musik reggae muncul dari perpaduan musik mento, calypso, ska dan rocksteady yang sejak awal 1990an telah berhasil menarik simpatik para penggemarnya.
Bagi sebagian orang, musik reggae acap kali dikaitkan atau disalahartikan sebagai musik yang identik dengan kesenangan, romantisme, pantai ataupun pohon kelapa. Sebaliknya, berdasarkan sejarah, musik reggae merupakan musik pembebasan atau musik perlawanan yang lahir dari kondisi realitas masyarakat Jamaika yang tertindas akibat penjajahan kolonialisme.
Reggae sendiri dikenal oleh masyarakat Jamaika bukan hanya sekadar alunan nada musik, melainkan bagian dari sebuah budaya cara pandang, sikap dan pesan yang bermakna dalam membangkitkan semangat perlawanan, semangat pembebasan masyarakat Jamaika dalam melawan penjajahan kolonialisme Britania Raya yang sekarang dikenal Inggris.
Musik reggae dapat dikenal oleh dunia International dan memiliki jutaan penggemar tidak lepas dari peran musisi besar yang berasal dari Jamaika bernama Bob Marley. melalui lantunan lagu yang berisi pesan-pesan kritik sosial terhadap konstelasi politik Jamaika dan Afrika, Bob Marley mampu mengantarkan musik reggae hingga dikenal ke seantero dunia.
Lantunan Kemenangan dari Penjajahan Kolonialisme Inggris
Berbicara tentang alunan musik reggae tidak dapat dipisahkan dengan kondisi realitas masyarakat Jamaika yang saat itu sedang dalam penjajahan Inggris. Kondisi kemiskinan, kelaparan, perampasan tanah, kerja paksa dan lain sebagainya membangkitkan semangat para pemuda-pemudi di Jamaika untuk merebut kedaulatan negaranya.
Menurut ‘The World Factbook’ dari CIA, Jamaika telah dijajah Inggris sejak tahun 1655 hingga tahun 1962. Pada Agustus 1962, rakyat Jamaika putus dari belenggu kolonialisme Inggris hingga menginginkan pembebasan untuk terlepas dari bayang-bayang penjajahan inggris.
Bagaikan genderang nada kemenangan dalam sebuah konteks revolusi, reggae dilafalkan oleh rakyat Jamaika sebagai alunan nada pengiring kehidupan sehari-hari yang merepresentasikan perayaan kemenangan atas kemerdekaan yang mereka raih dari kerajaan Inggris.
Pasca kemerdekaan, kondisi realitas kehidupan rakyat Jamaika pun belum berangsur membaik. Namun, Jamaika belum bisa bangkit secara ekonomi. Akibatnya pengangguran,kemiskinan dan kelaparan semakin meningkat.
Tentu saja Kondisi tersebut telah menimbulkan permasalahan baru bagi pemerintah Jamaika. Tingkat kejahatan pun semakin meningkat hingga berkembang menjadi norma kebiasaan bagi anak muda miskin di Jamaika yang harus bertahan hidup.
Bangkitnya Rastafari/Rastafarianisme
Di tengah situasi mencekam pasca kemerdekaan karena hancurnya perekonomian Jamaika, memaksa sebagian orang untuk bertindak kejahatan, sekelompok pemuda yang berasal dari sebuah pedesaan di Jamaika mendeklarasikan dirinya sebagai pergerakan yang disebut 'Order'/ Ordo atau sebuah pergerakan bangsa kulit hitam yang tidak menginginkan kekuasaan ataupun perpolitikan. Mereka pun tidak menginginkan kehidupan di kota yang saat itu identik dengan kekerasan dan kriminalitas.
Dilansir dari catatan perjalanan duta reggae Indonesia Ras Muhamad ke Ethiopia yang telah dibukukan berjudul ‘Negeri Pelangi’ yang terbit pada tahun 2013, pergerakan Ordo memisahkan diri dari hiruk pikuk kota dan lebih memilih hidup di pedesaan. Agraria adalah salah satu sumber kehidupan dan mereka memakan apa yang ditumbuhkan dan meminum dengan apa yang disediakan oleh alam.
Awalnya masyarakat menilai pergerakan Ordo merupakan gerakan yang tak wajar dan kadang acap kali dianggap sebagai orang-orang yang gila. Sedangkan bagi sebagian rakyat yang tinggal satu desa dengan Ordo menganggap mereka harus dijauhi dan ditakuti karena dianggap membawa rasa takut. Warga desa setempat acapkali menyebut mereka sebagai 'black heart man' yang identik dengan rambut gimbal atau dreadlocks.
Penggunaan cannabis (ganja) disinyalir menjadi budaya atau kebiasaan kaum pergerakan Ordo dalam menjalani rutinitas kehidupan sehari-harinya di pedesaan. Bagi Ordo, menghisap ganja adalah ritual sakral sebagai salah satu alat meditasi untuk berkomunikasi dengan Jah (tuhan) untuk membuka indra ketujuh manusia.
Pergerakan Ordo sendiri disinyalir sebagai simbol kebangkitan sang Rastaman atau ajaran Rastafari yang pada abad akhir 18 hingga awal abad ke 19 diperkenalkan oleh Marcus Garvey seorang tokoh pahlawan nasional Jamaika.
Marcus Garvey sendiri adalah salah satu tokoh pahlawan nasional Jamaika yang dikagumi oleh musisi reggae legendaris Jamaika Bob Marley. Saking terinspirasinya, Bob Marley mengilhami ajaran-ajaran Marcus Garvey yang mendorong persatuan bangsa Afrika atau kulit hitam yang menjunjung tinggi tanah Afrika sebagai tanah harapan bagi bangsa Afrika yang dahulu hidup dalam kemiskinan di bawah penjajahan kolonialisme Inggris.
Masih menurut buku ‘Negeri Pelangi’, salah satu ajaran Marcus Garvey adalah Ethiopia dijanjikan sebagai tanah suci di Afrika, yang disebutkan sebagai suatu tempat yang akan muncul seorang bangsawan yang dimahkotai raja Afrika dan akan menjadi juru selamat bagi kaum kulit hitam sedunia.
Entah sebuah kebetulan ramalan atau sebuah takdir tuhan, menjelang sepuluh tahun dari ucapan Marcus Garvey sang pahlawan nasional Jamaika, sosok yang dinanti-nanti pun muncul, sosok itu bernama Ras Tafari Makonnen lahir 23 Juli 1892 berasal dari Kota Harar, Ethiopia yang kini ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya kota suci keempat umat muslim dunia.
Sejarah Kota Harar di Ethiopia sendiri dahulu kala merupakan tempat hijrah pertama umat muslim pada zaman Rasulullah, kemudian sang Negus (gelar raja di raja Afrika) yang bernama Al-Asham kala itu menjadi mualaf saat menerima surat dari Rasulullah.
Kemudian, penobatan terhadap Ras Tafari Makonnen digelar pada 2 November 1930 di Addis Ababa, Ibu Kota Ethiopia. acara tersebut dihadiri oleh perwakilan 72 negara menyaksikan langsung upacara peresmian mahkota dan sekaligus meyaksikan perubahan nama Ras Tafari Makonnen menjadi Negus (raja Diraja Afrika) Haile Selasie.
Haile Selasie sendiri dipercaya oleh rakyat Jamaika dan bangsa Afrika pada umumnya sebagai tokoh pusat pergerakan Rastafari. Hal itu dapat dilihat pada saat beliau memimpin bangsa kulit hitam (Pan-Afrikanisme) yang memberikan kesejahteraan dan kedamaian bagi bangsa kulit hitam dan rakyat Afrika.
Shashemene Tanah Suci Simbol Perlawanan Perbudakan dan Kolonialisme
Tepat pada 2 November 1930, Negus Ras Tafari Makonnen telah berhasil menduduki takhta tertinggi Kerajaan Ethiopia sebagai Kaisar Haile Selasie. Kerajaan Ethiopia sendiri disinyalir sebagai Kerajaan tertua di Afrika bahkan tertua di seluruh dunia yang dibangun oleh King Solomon/ Nabi Sulaeman saat menikahi Ratu Sheba (Makeda/Bilqis).
"Saya di singgasana David (Raja/ Nabi Daud), di mana saya diberi kekuasaan dan keputusan dengan berkah anugerah sang maha esa, semoga melindungimu. Dengan takhta ini saya akan memimpin sesuai undang-undang dan hukum yang telah didirikan dan diwariskan oleh kakek moyang saya," kata Haile seperti dikutip dari buku ‘Negeri Pelangi’.
Bagi para penganut Rastafari, Afrika bukan sekadar tanah yang melahirkan bangsa kulit hitam (Pan Afrikanisme). Bagi pergerakan Rastafari, negeri Afrika adalah tanah suci yang dijanjikan untuk mengembalikan kedaulatan bagi bangsa kulit hitam diseluruh dunia dari sistem perbudakan kolonialisme seperti halnya Yerussalem bagi bangsa Yahudi.
Semasa kepemimpinanya, Haile Selasie secara terang-terangan mengkritik barat (kulit putih) yang menganggap kulit hitam sebagai ras atau suku yang ditakdirkan sebagai budak. Ia pun dengan lantang melawan sistem koloniaisme yang sudah berabad-abad telah menindas bangsa kulit hitam di seluruh dunia ataupun di wilayah Afrika.
Peneliti Rastafari, Desta Meghoo, dalam Decades Later, Rastafaris Still Struggling for Recognition, telah mencatat terkait pentingnya keberadaan Heile Selassie dalam kebangkitan gerakan nasionalisme kulit hitam (Pan Afrikanisme).
Kaisar Negus Halie Salasie tercatat sebagai satu-satunya pemimpin Afrika yang mengunjungi rakyat Afrika yang tersebar disejumlah negara akibat perbudakan dan kolonialisme agar dapat kembali ke tanah Afrika yang merupakan tanah asal muasal pemberian nenek moyang bangsanya.
Untuk menyediakan tempat kehidupan bangsa kulit hitam yang ingin kembali ke tanah Afrika, pada tahun 1948, Haile Salasie pun telah menyediakan tanah seluas 500 hektare yang lokasinya sekitar 250 Km dari Ibu Kota Ethiopia, Addis Ababa yang kini dikenal sebagai daerah Shashemene.
Seruan Haile Selasie yang meminta bangsa Afrika untuk kembali ke rumah atau tanah yang dijanjikan pun diyakini oleh kaum Rastafari senada dengan gagasan salah satu tokoh Rastafari yang juga menjadi pahlawan nasional Jamaika yakni Marcus Garvey.
Gagasan mengenai perpindahan (hijrah) bangsa kulit hitam ke tanah yang dijanjikan Tuhan atau tanah suci dan mulia bagi pergerakan Rastafari kini telah diabadikan oleh Bob Marley dengan musik reggae dengan lagu yang berjudul Exodus.
Lagu yang telah diciptakan langsung oleh sang legenda itu sendiri ditenggarai diambil dari gagasan pahlawan nasional Marcus Garvey dan Negus Haile Selasie mengenai tanah perjanjian yang suci dan mulia untuk menentang kolonialisme dan perbudakan.
Berikut sepenggal kutipan lagu Bob Marley Berjudul Exodus.
Exodus (hijrah) Movement of jah People...
We know where We're going, We Know Where We're from. We're Leaving Babylon. We're going to our Father's Land
"Hijrah, berpindahnya insan illahi. Kami tahu mau ke mana, karena kami sadar dari mana kami berasal. Kami tinggalkan Babylon (tempat yang telah menindas bangsa Afrika) menuju ke Tanah Ayahanda."
Sosok Negus Haile Selasie diyakini oleh kaum Rastafari (Rastaman) sebagai simbol kembalinya kejayaan bangsa Afrika yang dahulu sempat terpuruk akibat penjajahan koloniaisme dan sistem perbudakan yang kerap dilakuka oleh bangsa kulit putih di tanah Afrika.
Bahkan bagi sebagin kaum Rastafari /Rastaman Haile Selasie adalah yesus yang datang untuk kedua kalinya di muka Bumi dan sebagai penjelmaan Jah (tuhan). Selain itu sebagian Rastafari atau Rastaman juga ada pula yang percaya bahwa ia adalah seorang nabi yang mengakui bahwa jah (tuhan) ada di batin setiap orang. (GIBS)
Baca Juga: Sidang Kasus Narkotika Prajurit TNI AD
sejarah reggae dalam pergerakan rastafari simbol perlawanan perbudakan di tanah afrika bob marley ganja narkoba
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...