CARITAU KEPULAUAN SERIBU – Dua jam lamanya KM Bima melintasi perairan Teluk Jakarta. Kapal tersebut merupakan salah satu transportasi alternatif bagi masyarakat Kepulauan Seribu, ataupun wisatawan yang ingin berkunjung di berbagai pulau nan cantik di gugusan pulau yang terletak di barat laut Teluk Jakarta.
Bahtera pun berlabuh sejenak di salah satu destinasi unggulan, Pulau Pari. Puluhan penumpang yang mayoritas pelancong dari pelbagai kawasan Jabodetabek dan warga setempat, berbondong-bondong menginjakkan kakinya di sana.
Baca Juga: Basarnas Terus Cari Warga Taiwan di Perairan Kepulauan Seribu
KM Bima pun mendadak lengang lantaran hanya menyisakan lima penumpang. Dan sepuluh menit berselang, kapal bergegas meninggalkan Pulau Pari.
Satu jam perjalanan selanjutnya, kapal mulai mendekati Pulau Tidung, daratan yang luasnya hanya 1,07 kilometer persegi namun menjadi rumah buat lebih dari 5.000 jiwa.
Konon, peradaban di Pulau Tidung telah ada sejak ratusan tahun silam, dibuktikan dengan adanya peninggalan sejarah berupa makam Panglima Hitam Pulau Tidung yang merujuk kepada kisah pengawal kerajaan disegani dan terkenal di Kerajaan Melayu pada abad ke-17, diperkuat berbagai literatur yang menyebut peradaban di Tidung telah ada sejak tahun 1800-an.
KM Bima lantas bersandar di dermaga yang terletak di antara Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil. Dermaga berada di dekat jambatan yang membentang sepanjang 800 meter yang menghubungkan kedua pulau yang diberi nama Jembatan Cinta, salah satu ikon wisata Pulau Tidung yang kini tengah direnovasi.
"Penginapan murah bang. Mau snorkling? Terjangkau kok," sapa beberapa orang yang menawarkan paket wisata laiknya destinasi-destinasi unggulan yang tersebar di Nusantara tercinta.
Pemandangan dermaga Pulau Tidung tampak syahdu ditopang oleh berdirinya sebuah landmark bewarna jingga. Di bawah lambung beberapa perahu, tampak air jernih yang tak bakal ditemui di pantai Jakarta.
Iwan (47), salah satu pemandu wisata yang masih berdiri di bibir dermaga tiba-tiba menyeletuk mengabarkan kegundahannya.
"Jika musim hujan seperti saat ini, selain perairan yang susah untuk melaut, sampah yang tak tahu asal rimbanya itu kerap membanjiri tepi pantai kami," keluhnya.
Pulau Tidung terdiri dari dua pulau yang saling terhubung, yakni Pulau Tidung Besar dan Pulau Tidung Kecil. Pulau Tidung Besar dimanfaatkan untuk pemukiman penduduk termasuk berbagai fasilitas pariwisata, sementara Pulau Tidung Kecil merupakan kawasan konservasi alam.
Pulau Tidung yang menjadi destinasi wisata sejak tahun 2009, terletak di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, Kabupaten Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta. Pantainya yang eksotis begitu dikenal terutama bagi masyarakat Jabodetabek yang ingin mencari tempat untuk melepas penat meninggalkan keruwetan ibu kota.
Namun, pada musim hujan seperti di penghujung tahun 2022 ini, jumlah pengunjung merosot tajam. Selain faktor cuaca yang membuat wisatawan tidak mau berisiko pergi ke pulau, renovasi Jembatan Cinta telah membuat objek andalan tersebut ditutup. Penyebab lain, apalagi kalau bukan bertebarannya sampah laut di pesisir pantai yang merusak keelokkan Pulau Tidung.
"Ya begitulah, wisatawan selalu mengeluhkan kepada masyarakat di pulau tentang sampah yang berceceran di tepi pantai. Padahal sejatinya sampah itu bukan berasal dari kami," tutur Yusuf (25) salah seorang warga Pulau Tidung.
Jika dilihat seksama, sepanjang garis pantai selatan Pulau Tidung, memang dipenuhi sampah yang tampak berusaha merangsek ke daratan. Tentu keberadaannya menodai pemandangan bibir pantai yang eksotis. Bahkan di sekitaran dermaga dan Jembatan Cinta, ratusan kilogram tanaman enceng gondok singgah mencampuri beningnya air laut.
"Logika saja, jika itu sampah dari kami, sejak kapan Pulau Tidung ada ditumbuhi enceng gondok? Semua itu membuat masyarakat yakin, sampah tersebut merupakan kiriman dari daratan Jabodetabek sana," kata Muhammad Alim, warga Kepulauan Tidung yang menjadi pegiat Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan.
Selain itu, jenis sampah lainnya yang menjejali perairan di bagian selatan Pulau Tidung didominasi plastik. Saat musim hujan, turut bertebaran kayu-kayu besar, styrofoam bekas bungkus makanan, alas kaki dan lain-lain.
Istilah ‘sampah kiriman’ digunakan warga lantaran sampah yang menepi di Pantai sekitar Pulau Tidung mereka yakini kiriman dari wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya, khususnya dari sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta.
"Jika dikalkulasi, saat cuaca normal atau musim panas, kami (DLH) mengumpulkan sampah dari aktivitas warga (Pulau Tidung) kurang lebih satu ton per hari. Sedangkan di musim hujan, atau saat turun hujan di daratan Jabodetabek sana, volume sampah yang kami kumpulkan bisa mencapai sepuluh ton per harinya," tandas dia.
“Kami terkadang kewalahan memindahkan sampah dari laut ke daratan. Jika periode itu tiba (sampah kiriman datang-red), terkadang membutuhkan berhari-hari bagi petugas untuk membersihkan sampah di laut,” tandasnya.
Menurut Alim, masyarakat di Pulau Tidung sangat paham dengan situasi tersebut. Bahwa sampah adalah persoalan genting bagi wilayah mereka. Namun, lanjutnya, perlu dipahami bahwa masyarakat di Tidung sejatinya telah patuh untuk membuang sampah di tempatnya. Satu-satunya problematika yang belum terpecahkan tak lain membendung sampah kiriman.
Sampah-sampah tersebut diyakini berasal dari 13 muara sungai di sekitar Teluk Jakarta. Material residu tersebut berasal dari aliran sungai yang membentang di tengah ratusan ribu, bahkan jutaan pemukiman warga.
“Jika di musim penghujan, Pulau Tidung yang terletak di barat daya pesisir Jakarta akan menjadi daerah pertama mendapat gempuran sampah kiriman,” tandas Alim.
Penjelasan Alim diamini Hafsah, Lurah Pulau Tidung. Menurutnya, saat musim angin muson barat atau periode Oktober-April, sampah kiriman bakal terbawa arus dari daratan dan pesisir Jakarta.
“Sejak saya kecil masalah sampah laut Pulau Tidung belum terpecahkan, atau belum ada solusi dan penanganan yang serius dari berbagai pihak,” kata Bu Lurah Hafsah.
Jika merujuk data Badan Pusat Statistik (BPS), volume sampah yang terangkut di DKI Jakarta mencapai 7.233,82 ton/hari pada 2021. Jumlah itu turun dari tahun sebelumnya yang mencapai 7.587,49 ton/hari. Apabila melihat jenisnya, pada tahun2021, sampah paling banyak terangkut berupa sampah organik sebanyak 3.888,19 ton/hari, anorganik 3.305,20 ton/hari, sementara 40,44 ton/hari berupa sampah bahan beracun dan berbahaya.
Dwiyitno, peneliti Balai Besar Riset Pengolahan Produk dan Bioteknologi, dalam buku Strategi Optimasi Pengelolaan Sampah Plastik Laut di Wilayah Pesisir Teluk Jakarta (2021), menuliskan bahwa dari 7.000 ton sampah padat yang diproduksi oleh Kota Jakarta, di mana daya tampung Tempat Pembuangan Sampah (TPS) sekitar 82%, sebanyak 5% di antaranya atau 370 ton/hari akan terbuang ke sungai-sungai dan berpotensi terbawa sampai Teluk Jakarta.
Dwiyitno memperingatkan agar timbulan sampah yang dihasilkan kota dan kabupaten di sekitar Jakarta yang berpotensi mencemari Teluk Jakarta agar tidak diabaikan.
"Sampah kiriman dari daratan mendominasi akumulasi sampah laut di Teluk Jakarta dengan jumlah tidak kurang dari 80%. Sisanya berupa sampah yang berasal dari aktivitas di laut dan pantai," tulis Dwiyitno.
Sementara itu, Ilmuwan Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muhammad Reza Cordova dan Intan Suci Nurhati dalam jurnal berjudul Scientific Reports berjudul Major Sources and Monthly Variations in the Release of Land-derived marine debris from the Greater Jakarta Area, Indonesia (2019) turut menganalisis konsentrasi sampah makro pada sungai-sungai yang bermuara di Teluk Jakarta.
Mereka mengakumulasikan bahwa sampah laut yang masuk Teluk Jakarta sebagian besar terbawa melalui 13 sungai utama yang mengalir melalui wilayah Jabodetabek hingga bermuara di Teluk Jakarta. Selain itu, aktivitas di laut, seperti kegiatan transportasi, penangkapan ikan, dan rekreasi juga berpotensi menyumbang akumulasi sampah di Teluk Jakarta.
Selama 13 bulan di tahun 2015–2016, Cordova dan Nurhati (2019), mengukur konsentrasi dan komposisi sampah di sembilan sungai, yakni di Tangerang (Sungai Dadap), Jakarta (Sungai Angke, Pluit, Ciliwung, Kali Item, Koja, Cilincing dan Marunda), serta Bekasi (Sungai Bekasi).
Hasilnya, terdapat dua sungai yang konsentrasi sampahnya sangat dominan, yaitu Sungai Dadap yang diperkirakan mengalirkan sampah ke Teluk Jakarta sebanyak 7,92+2,71 ton/hari dan Sungai Bekasi sebanyak 6,67+2,20 ton/hari. Sementara total sampah dari tujuh sungai lainnya diperkirakan 7,07+1,52 ton/hari.
Tingginya konsentrasi sampah yang melalui Sungai Dadap dan Sungai Bekasi ini disebabkan oleh tingginya debit air pada kedua sungai tersebut, masing-masing mencapai 11,10 m3/detik dan 20,9 m3/detik.
Identifikasi lebih lanjut yang dilakukan oleh Cordova dan Nurhati terhadap sampah yang melalui sungai-sungai di Jakarta tadi menunjukkan bahwa sampah plastik adalah yang paling dominan (37% berdasarkan berat) dan mayoritas merupakan styrofoam.
Jenis sampah selanjutnya berasal dari material kayu atau kertas, serta sampah dari pakaian.
Sementara berdasarkan beratnya, sampah plastik dari jenis sandal, sepatu, dan sarung tangan ditemukan paling dominan pada sungai di Tangerang, sedangkan di sungai Jakarta dari jenis alat tangkap ikan dan dari Bekasi berupa sedotan plastik.
Bahkan berdasarkan tinjauan lebih lanjut, Cordova dan Nurhati mencatat sampah plastik yang terdampar pada musim angin muson barat, yakni Oktober hingga Maret, lebih tinggi dibandingkan pada musim angin muson timur atau pada April hingga Oktober.
Rata-rata sampah plastik di musim angin muson barat mencapai 2.15 hingga 4.55 plastik/meter persegi dengan berat rata-rata 85.01 gram hingga 115.91 gram plastic/meter persegi. Sedangkan pada musim timur, sampah plastik ditemukan mencapai 1.20 hingga 2.46 plastik/meter persegi dengan berat rata-rata 74.30 gram hingga 90.15 gram plastic/ meter persegi.
Jika melihat data-data tersebut, bakal mengindikasikan bahwa perairan Teluk Jakarta layaknya tong sampah raksasa. Problem selanjutnya, berimbas kepada kehidupan di gugusan Kepulauan Seribu, yang seharusnya tidak berhak mereka terima.
Permasalahan sampah laut bukan hanya tentang terganggunya keindahan pantai dan laut, tapi juga menimbulkan bau tidak sedap atau pencemaran. Lebih dari itu, sampah laut telah merusak sebagian besar komponen dan keseimbangan ekosistem makhluk hidup.
Selaku Direktur Eksekutif Ecological Observation and Wetland Conservation (Ecoton), Prigi Arisandi menyebut pelbagai masalah sampah plastik masuk ke setiap perairan. Pasalnya, di balik sampah yang bergelimpangan di sungai dan laut, ada ancaman mikroplastik yang mengintai makhluk hidup di air.
Mikroplastik merupakan partikel mikro dan plastik yang terurai, berasal dari pencemaran plastik yang menggunung di berbagai sungai di Indonesia, di mana partikel mikroplastik ini juga mengontaminasi sungai-sungai.
Prigi menjelaskan bahaya dari mikroplastik terletak pada partikel kimiawinya yang mengandung ikatan terbuka (microbeads), sehingga mikroplastik dalam air akan mudah mengikat polusi-polusi dan logam berat yang biasanya terkandung di air sungai.
“Mikroplastik itu kemudian dimakan oleh ikan yang kemudian juga akan dikonsumsi oleh kita. Ecoton pernah melakukan penelitian terhadap feses masyarakat di Jawa Timur, dan di semua feses volunteer tersebut terdapat kandungan mikroplastik. Jadi secara harfiah, apa yang kita buang kembali ke meja makan kita,” paparnya.
Penelitian lanjutan Ecoton, tambah Prigi, menemukan kandungan mikroplastik dalam tubuh ikan di empat sungai terbesar di Pulau Jawa. Pihaknya menemukan 20 partikel mikroplastik pada satu ikan yang diambil sebagai sampel di Sungai Bengawan Solo.
Kemudian terdapat 42 partikel per ikan sampel di Sungai Brantas dan 68 partikel per ikan sampel di Sungai Citarum. Lalu 167 partikel per ikan sampel di Kepulauan Seribu, yang merupakan muara Sungai Ciliwung.
Prigi pun menyarankan pemerintah agar berkomitmen penuh dalam pengendalian sampah plastik, tentunya sampah yang mencemari laut.
“Terkait sampah di Teluk Jakarta, pemerintah setempat bisa saja memasang jaring penahan sampah di setiap muara sungai yang ada. Karena itu sepertinya belum dijalankan,” jelas Prigi.
Selain itu, menurut laporan di Konferensi Laut PBB, New York pada 2017, limbah plastik yang ada di lautan dapat membunuh satu juta burung laut, 100 mamalia laut, ikan-ikan dalam jumlah yang banyak, dan biota lain setiap tahunnya di seluruh penjuru dunia. Dampak lainnya pada organisme laut, seperti terjeratnya plastik pada tubuh atau mulut hewan sehingga menyebabkan penyumbatan pada saluran pencernaannya.
Bahkan LIPI pun telah memperingatkan bahwa jika intensitas sampah di Indonesia masih belum terkontrol dan belum menunjukkan pengurangan, maka pada tahun 2050 bukan tidak mungkin, jumlah sampah di Indonesia menyaingi jumlah ikan di laut.
Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Laut, memberi target sampah laut mesti berkurang hingga 70% pada 2025 mendatang.
Pemerintah bahkan telah membentuk tim nasional penanganan sampah yang diketuai oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan dan Ketua Harian Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar.
Lantas bagaimana capaiannya setelah hampir empat tahun ini? Kemenko Marves menyebut bahwa selama kurun waktu tersebut sampah laut sudah berkurang 28,5%.
“Selama tiga tahun ini kita berhasil mengurangi sampah sebesar 28,5%. Walaupun masih jauh dari target pada 2025, yaitu 70%. Ini akan menjadi tantangan untuk kita semua, bagaimana mengejar percepatan di tahun 2025,” kata Rofi Alhanif, Asisten Deputi Pengelolaan Sampah dan Limbah, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan, pada webinar bertajuk Maritim Space: Optimalisasi Penanganan Sampah Laut di Indonesia yang digelar Juli 2022.
Sejatinya terkait pengelolaan sampah laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga tak putus melakukan edukasi kepada masyarakat dan nelayan mengenai cara penanganan dan pengelolaan sampah di laut sesuai dengan target pengurangan sampah laut tersebut.
Gerakan Nasional Bulan Cinta Laut (Gernas BCL) yang diinisiasi Menteri KKP Wahyu Sakti Trenggono yang digelar sepanjang Oktober 2022 dan puncaknya pada 27 Oktober 2022 di Bali, telah menjadi momentum bagi seluruh pihak untuk bersama-sama kembali menggiatkan dan merawat ekosistem laut agar tetap bersih dan biru bebas dari sampah.
Guna memotivasi nelayan agar ikut peduli dan aktif terlibat membersihkan laut dari sampah, pihak KKP membeli sampah yang berhasil dikumpulkan nelayan yang nilainya dikonversi dengan harga ikan terendah saat itu. Misal harga ikan terendah Rp 10 ribu/kilogram, maka per kilogram sampah bakal dihargai sama. Tujuan tentu saja mengganti pendapatan nelayan jika hari itu mereka melaut untuk memunguti sampah.
Menurut Menteri KKP, program Gerakan Nasional BCL sepanjang bulan Oktober 2022 telah berhasil mengangkut lebih dari 67 ton sampah dari laut dan wilayah pesisir di seluruh Indonesia melalui aksi bersih pantai dan laut.
"BCL akan terus dilaksanakan untuk mengurangi sampah plastik di laut. Ini juga menghadirkan ekonomi sirkular di wilayah pesisir, khususnya bagi para nelayan,” kata Menteri Wahyu Sakti Trenggono pada rangkaian kegiatan Ocean 20 G-20, November 2022.
Tak hanya itu, pemerintah jauh-jauh hari juga telah menggelorakan untuk mengurangi timbulan sampah yang bisa dilakukan lebih baik dari hulu ke hilir dengan mengampanyekan prinsip 3R, yaitu reduce, reuse dan recycle.
Seperti diketahui, reduce adalah mengurangi segala sesuatu yang mengakibatkan atau menimbulkan sampah. Reuse adalah memakai kembali sampah yang masih bisa digunakan atau bisa berfungsi, sementara recycle adalah mengolah kembali sampah atau daur ulang menjadi suatu produk atau barang yang dapat bermanfaat.
Masyarakat di Pulau Tidung, kata Alim pegiat DLH, sudah paham betul dengan prinsip 3R.
"Di sini, jarang dijumpai warga yang membuang sampah sembarangan, karena sudah diperingatkan. Di setiap sudut, bisa anda saksikan deretan tong sampah yang memudahkan warga untuk taat membuang sampah," terang dia.
Tak sampai di situ, Alim menerangkan di Pulau Tidung juga berupaya mereduksi sampah di laut dengan menerapkan konsep ekonomi sirkular, serta melakukan pencegahan sampah agar tidak berakhir begitu saja di tempat pembuangan akhir (TPA).
Warga mengolah sendiri limbah rumah tangga atau usahanya. Atau pedagang minuman yang menjajakan memakai gelas kaca dibandingkan gelas plastik.
Jikapun menggunakan plastik, penjual selalu mengumpulkan sampah untuk dijual ke bank sampah maupun petugas DLH di Kepulauan Tidung.
"Petugas DLH ataupun Bank Sampah di sini turut melanggengkan transaksi jual beli sampah. Tujuannya, agar warga peduli dengan lingkungan sekitar," papar dia.
Konsep ekonomi sirkular merupakan alternatif dari ekonomi linier tradisional, di mana pelaku ekonomi menjaga agar sumber daya dapat dipakai selama mungkin, menggali nilai maksimum dari penggunaan, kemudian memulihkan dan meregenerasi produk dan bahan pada setiap akhir umur layanan.
Alim juga menjelaskan bagaimana masyarakat, petugas ataupun sukarelawan menyikapi musim penghujan yang kerap menyebabkan Pulau Tidung kebanjiran sampah laut kiriman.
"Sebagai petugas, kami tentunya berupaya mengevakuasi sampah yang ada di sekitaran pantai, karena tampak mengganggu. Kami mengerahkan satu kapal milik pemerintah dan sejumlah alat dan fasilitas lainnya. Ketika kondisinya telah parah, banyak di antara masyarakat yang bahu membahu untuk membersihkan sampah, terutama di dermaga yang menjadi corong transportasi awal di Tidung," ungkapnya.
Dia menyebutkan, puluhan petugas, baik itu dari DLH Kepulauan Seribu dan petugas kebersihan di bawah pemerintah, bahu-membahu menuntaskan sampah hasil masyarakat, maupun kiriman.
Nantinya, sampah yang terkumpul bakal disalurkan ke Tempat Pembuangan Sementara (TPS) Pulau Tidung. Petugas bakal memilah, mana yang bisa didaur ulang atau tidak, tujuannya petugas berusaha menekan angka sampah, sebelum di antar ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Bantar Gerbang Jakarta.
"Tidak semua sampah yang terkumpul akan diantar ke TPA Bantar Gebang. Dari total sampah yang tercipta, kami bahkan bisa mengurangi sampai 30% dari total sampah setelah dipilah-pilah dan didaur ulang," terangnya.
Dia juga menginformasikan, bahwa pemerintah juga mengagendakan untuk membangun TPS-3R di Pulau Tidung pada 2023 mendatang.
Sontak ia mengaku antusias, serta berharap TPS-3R menjadi tonggak awal pengurangan sampah secara masif di Pulau Tidung.
"Saya juga berharap yang dari daratan Jakarta juga mencari solusi untuk mengurangi timbulan sampah di darat ke laut. Sebab, kami berhak untuk mendapatkan tempat yang bersih," terang dia.
Begitulah. Pulau Tidung dengan segala potensi keindahan alam pantai dan laut yang luar biasa harus terus diikhtiarkan agar tak terdegradasi oleh sampah laut. (Rahma Dhoni)
Baca Juga: Tak Mempan Pelarangan Ekspor, KKP Gandeng Vietnam Transfer Teknologi Budi Daya Lobster
pulau tidung kepulauan seribu sampah laut kementerian kelautan dan perikanan bulan cinta laut
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024