CARITAU JAKARTA - Pemerintah Provinsi DKI Jakarta berencana menerapkan kebijakan jalan berbayar elektronik atau electronic road pricing (ERP). Berkaitan dengan tarif, Dishub DKI Jakarta telah mengusulkan besarannya berkisar antara Rp5.000 sampai Rp19.900 untuk sekali melintas.
Rencana Pemprov DKI tersebut mendapat tanggapan Fraksi PSI DPRD DKI Jakarta, William Aditya Sarana. William meminta Pemprov DKI melakukan kajian mendalam terkait rencana penerapan kebijakan jalan berbayar secara elektronik di wilayah DKI Jakarta.
Baca Juga: DPRD DKI Minta Kanwil BPN Beri Kejelasan Status Pengajuan PTSL Warga
Anggora Komisi A itu memahami, penerapan ERP atau jalan berbayar merupakan salah satu upaya untuk mengatasi kemacetan di Jakarta. Namun, menurutnya, Pemrov DKI perlu menimbang sejumlah faktor, salah satunya terkait kondisi ekonomi masyarakat.
"Pertama kita harus melihat bahwa kebijakan ERP ini tidak hanya persoalan kemacetan, tetapi juga persoalan ekonomi. Jadi kalau kita lihat ERP ini kan pasti akan potensi menghambat mobilitas, karena ada tarif yang dikenakan kepada pengendara yang lewat di jalan tersebut," kata William, Jumat (13/1/2023).
William menjelaskan, titik-titik ERP ini dipasang di jalan-jalan yang lokasinya adalah tempat ekonomi yang sangat aktif. Sehingga jika ada potensi terhambatnya mobilitas, dan potensi menurunnya aktivitas ekonomi.
"Nah, ini harus dilakukan kajian dengan sangat baik oleh Pemprov DKI Jakarta. Apakah ERP ini bisa menghambat mobilitas yang berdampak pada penurunan aktifitas ekonomi," terangnya.
William meminta Pemrov DKI belajar dari kasus Covid-19 ketika Jakarta menerapkan PSBB. Saat itu, PSBB berdampak terhadap terhambatnya mobilitas. "Dampak yang tidak diinginkan pun terjadi, yakni perlambatan ekonomi," tegasnya.
Selain faktor ekonomi, William juga menyoroti kondisi transportasi umum di Jakarta. Menurutnya, sebelum menerapkan kebijakan berbayar, Pemrov DKI perlu memfasilitasi transportasi umum yang jauh lebih baik untuk masyarakat.
"Di Singapura, penerapan ERP dilakukan setelah mereka memiliki transportasi umum yang sangat memadai. Kalau di Singapura, kita jalan kaki 5 menit hingga 10 menit sudah ada halte bus atau stasiun MRT," tuturnya.
William menambahkan, jangkauan transportasi umum di Jakarta juga harus memudahkan warga untuk menjalani moblitas setiap hari.
"Menurut saya, dua hal ini harus dikaji dulu dan disiapkan dengan matang sehingga penerapan ERP tidak menjadi beban bagi masyarakat," tandasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Strategis Kepolisian Indonesia atau Lemkapi, Edi Hasibuan menilai kebijakan jalan berbayar di Jakarta atau electronic road pricing (ERP) malah akan memberatkan masyarakat dan meminta rencana itu dibatalkan.
"Kami melihat jika ini diterapkan, lagi-lagi masyarakat yang harus menanggung beban," kata Edi.
Akademisi Universitas Bhayangkara Jakarta itu mengatakan, jika kebijakan tersebut diterapkan, maka tidak hanya masyarakat pemilik kendaraan yang diberatkan, tapi masyarakat yang tidak mempunyai kendaraan juga ikut diberatkan.
Salah satu contohnya adalah penumpang taksi daring yang juga harus menanggung biaya tambahan ketika harus melewati jalur tersebut. "Kebijakan jalan berbayar pada 25 ruas jalan di Ibu Kota itu semakin memberatkan rakyat dan hanya memindahkan kemacetan ke jalan yang tidak berbayar," ujarnya. (DID)
Baca Juga: Legislator di Kebon Sirih Kompak Tolak Gubernur Jakarta Dipilih Presiden
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...