CARITAU JAKARTA - Presidium Gerakan Kembali ke UUD 1945 Asli (G-45) menilai, maraknya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), juga munculnya praktik Dinasti Politik yang saat ini diakibatkan oleh amandemen UUD 1945 yang melahirkan UUD yang dikenal dengan nama UUD 2002.
"Kami tidak setuju jika ada yang mengatakan bahwa Indonesia sedang tidak baik-baik saja, karena menurut kami Indonesia sedang sangat tidak baik-baik saja, bahkan sangat buruk," kata Presidium G-45, Din Syamsuddin, dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (6/12/2023).
Dirinya menyebut kalau kondisi ini disebabkan oleh lahirnya UUD 2002 sebagai jasil amandemen UUD 1945 pada 1999-2002, karena undang-undang ini membawa dampak yang sangat buruk, karena UUD 2002 ini merusak kehidupan kebangsaan dan kenegaraan dengan membuka peluang munculnya KKN, Politik Dinasti, dan lain-lain.
"Selama UUD 2002 diberlakukan, terjadi proses pemburukan dan pembusukan oleh rezim yang berkuasa, yang berpedoman pada UUD palsu itu. Karenanya, kita harus kembali ke UUD 1945 asli," tegasnya.
Dalam siaran tertulis yang disusun Sekretaris Presidium G-45, dijelaskan secara detil dampak penerapan UUD 2002.
Menurut Presidium G-45, sejak masa Reformasi, diubahnya UUD 1945 Asli dan diberlakukannya UUD 2002 membuka jalan bagi liberalisasi politik dan ekonomi, sehingga praktek KKN bukannya hilang malah semakin subur dan merajalela.
"Praktek KKN menyebar ke daerah dan bahkan di sekitar pusat kekuasaan," katanya.
Presidium G-45 menyebut, sejak masa Reformasi terjadi kasus korupsi besar yg merugikan negara triliyunan rupiah, seperti Kasus Bank Cantury dan Kasus Hambalang. Di rezim pemerintahan yang saat ini berkuasa, yakni Rezim rezim Presiden Jokowi l, praktek korupsi merajalela hingga ke daerah-daerah dengan terlibat dan terjeratnya sejumlah gubernur, dan bupati/walikota.
Yang paling akhir dan menghebohkan adalah dugaan korupsi BTS di Kemenkominfo. dugaan korupsi di Kementan yang melibatkan mantan Mentan Syahrul Yasin Limpo, kasus pemerasan yang melibatkan Ketua KPK Firli Bahuri, dan dugaan intervensi kasus e-KTP oleh Jokowi.
"Korupsi di Indonesia telah menjadi State Captured Corruption, yakni dilakukan oleh negara itu sendiri. Hal ini dimungkinkan karena ketatanegaraan Indonesia yang berubah membuka peluang bagi munculnya oligarki politik dan oligarki ekonomi yang terlibat dalam persekongkolan jahat. Keadaan demikian membuat politik Indonesia menjadi politik berbiaya tinggi (high cost politics), yang menyebabkan seorang pejabat legislatif maupun eksekutif tampil karena sponsorship yang pada akhirnya dia harus "membalas budi" dengan memberi konsesi tertentu," lanjut Presidium G-45.
Presidium ini juga menyebut, ruh liberalisasi pada UUD 2002 juga memberikan jalan bagi lahirnya kleptokrasi dan politik dinasti yang mengkhianati cita cita reformasi.
"Dengan kekuasaan yang terpusat dan rekruitmen politik yang dipengaruhi eksekutif, serta didukung oleh produk hukum/perundang- undangan yang dikendalikan oleh eksekutif, kalangan eksekutif dapat menguasai aset negara. Maka, tidak mengherankan jika ada pejabat yang ikut berbisnis dan menguasai aset negara (kaum kleptokrat). Hal itu semua disebabkan tidak efektifnya pengawasan dari lembaga perwakilan, dan tiadanya pertanggung jawaban Presiden kepada rakyat melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat," imbuh Presidium G-45.
Sistem politik dan ketatanegaraan Indonesia produk UUD 2002, jelas Presidium, rentan dan telah memunculkan kekuasaan politik yang cenderung mengakumulasi kekuasaan dan melanggengkan kekuasaan, baik untuk berkuasa lagi maupun mewariskan kekuasaan kepada kroni atau famili.
Sistem itu juga cenderung menciptakan kediktatoran konstitusional (constitutional dictatorship), yakni dengan merekayasa hukum bagi kepentingan dirinya dan kroninya.
Hal demikian disebabkan oleh adanya legitimasi semu, dan budaya politik memiting lawan (muzzling approach), seperti penyanderaan terhadap elit politik sehingga partai politik tidak berdaya dalam mengambil keputusan politik strategis. Hal ini ditambah dengan tiadanya pertanggung jawaban Presiden kepada lembaga tertinggi negara/MPR, maka seorang Presiden bertindak semena-mena dan menyalahgunakan jabatan. Akhimya kedaulatan rakyat runtuh dan demokrasi tercabik-cabik.
"Saatnya dilakukan penyelamatan Indonesia dengan kembali ke UUD 1945 Asli yang menjamin kedaulatan berada di tangan rakyat, yaitu melalui MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga tidak memberi peluang terjadinya pembajakan negara (state capture) dan kepemimpinannya oleh oliagrki dan atau oleh keserakahan, egoisme dan nepotisme.
"Kepemimpinan MPR sebagai lembaga tertinggi negara itu dengan keanggotaan yang meliputi juga Utusan Golongan dan Utusan Daerah meniscayakan lahimya demokrasi berdasarkan musyawarah mufakat dan hikmat kebijaksanaan sebagaimana amanat Pancasila. Dengan semua kewenangan otoritatif yang dimiliki MPR sebagai lembaga tertinggi negara, maka KKN tidak akan berkembang liar dan tidak tertangani. Karena setiap pelanggaran etik dan hukum yang mengancam Indonesia bisa diatasi dan dikoreksi dengan mudah," tutup presidium.
Ada enam pimpinan presidium yang hadir dalam konferensi ini, di antaranya Din Syamsuddin, Pontjo Soetowo, Letjan (Purn) TNI Soeharto dan Sayuti Asyathri. Selain itu, hadir pula Sekretaris Presidium G-45 Hatta Taliwang dan Bendahara Presidium G-45 Dr. Tifauzia Tyassuma. (DID)
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...