CARITAU JAKARTA – Boleh jadi kalau RA Kartini mendengar kabar baik mengenai pergerakan perempuan dari zaman ke zaman, ia akan tersenyum bahagia.
Pasalnya, gerakan perempuan dari berbagai elemen masyarakat tampaknya mulai membuahkan hasil yang menggembirakan.
Baca Juga: Parade Kebaya Memperingati Hari Kartini di Semarang
Baru-baru ini, DPR resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) menjadi UU TPKS.
Pengesahan tersebut dilakukan setelah Puan Maharani selaku ketua DPR meminta persetujuan setiap fraksi sebanyak dua kali.
Hampir 10 tahun lamanya perempuan Indonesia menunggu pengesahan RUU TPKS. Awalnya, UU ini diwarnai dengan berbagai macam penolakan dari berbagai pihak. Pasalnya, banyak pihak yang mengatakan bahwa UU TPKS melawan nilai-nilai agama, bernuansa liberal, dan bahkan disinyalir dapat merusak nilai-nilai perkawinan yang ada Indonesia.
Namun, di tahun 2022 perjuangan ‘Kartini’ zaman sekarang Indonesia dapat termanifestasi dalam UU TPKS.
Lantas, apa saja isi pokok UU ini? Mengapa sempat menimbulkan banyak penolakan dari berbagai pihak?
Untuk lebih jelasnya, simak penjelasan berikut.
Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) merupakan undang-undang yang mengatur segala hal tentang tindak pidana kekerasan seksual. Tujuan utama dari UU TPKS ini adalah untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Dalam UU TPKS ini, setidaknya ada 10 poin penting yang perlu dipahami. Berikut penjelasannya.
Menurut UU TPKS, seluruh perilaku pelecehan seksual termasuk dalam kekerasan seksual. Hal tersebut tertuang dalam pasal 4 ayat 2, yang menyebutkan bahwa setiap orang yang melakukan tindakan non fisik berupa isyarat, tulisan, dan/atau perkataan kepada orang lain yang berhubungan dengan bagian tubuh seseorang dan terkait dengan keinginan seksual, dipidana karena pelecehan seksual non fisik.
Pelaku yang secara sah terbukti melakukan pelanggarn akan dipidana penjara paling lama sembilan bulan dan/atau denda maksimal Rp 10 juta.
Isi UU TPKS pasal 4 ayat 1 menyebutkan bahwa ada sembilan tindak pidana kekerasan seksual, yakni:
Pelecehan seksual non fisik
Menurut UU TPKS pasal 6, setiap orang yang melakukan perbuatan memaksa orang lain menggunakan alat kontrasepsi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan bisa dipidana karena pemaksaan sterilisasi dengan hukuman paling lama 9 tahun penjara dan/atau denda Rp 200 juta.
Pemaksaan perkawinan kepada orang lain, termasuk pemaksaan perkawinan antara korban dan pelaku pemerkosaan masuk ke dalam tindak pidana. Pelaku tindak pidana ini terancam hukuman penjara maksimal 9 tahun dan/atau denda maksimal Rp 200 juta.
Pasal 11 UU TPKS menyebutkan bahwa pelaku tindak kekerasan seksual tidak hanya mendapat hukuman penjara dan denda, namun terancam mendapatkn pidana tambahan. Pidana tambahan tersebut ialah:
Pasal 13 UU TPKS menerangkan bahwa korporasi yang melakukan kekerasan seksual akan dikenakan denda sekitar Rp 200 juta - Rp 2 miliar.
Selain itu, korporasi yang melakukan TPKS juga terancam mendapatkan pidana tambahan berupa:
Pasal 20 UU TPKS menyebutkan bahwa keterangan saksi dan/atau korban TPKS dan satu alat bukti yang sah sudah dapat menentukan apakah seseorang menjadi terdakwa atau tidak.
Alat bukti yang dianggap sah ialah:
Adanya UU TPKS memang untuk memberikan jaminan perlindungan hukum dan pemulihan kepada korban kekerasan seksual. Korban berhak untuk mendapatkan restitusi dan layanan pemulihan.
Restitusi yang akan didapatkan korban ialah:
Korban TPKS juga berhak mendapatkan pendampingan. UPTD PPAD atau lembaga penyedia layanan wajib memberikan pendampingan dan layanan yang dibutuhkan korban serta membuat laporan kepolisian.
Penyelesaian tindak pidana kekerasan seksual tidak bisa menggunakan pendekatan restorative justice.
Restorative justice adalah penyelesaian perkara yang menitikberatkan kondisi terciptanya keadilan dan keseimbangan bagi pelaku dan korban.
Dihindarinya restorative justice adalah agar pelaku tidak bisa semena-mena menggantikan hukuman yang seharusnya dengan hal lain seperti uang dan materi lainnya.
Kasus kekesaran seksual di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Pernyataan tersebut merujuk pada laporan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), yang menyatakan bahwa pada tahun 2019, jumlah anak korban kekerasan seksual mencapai 6.454, yang kemudian meningkat menjadi 6.980 di tahun 2020.
Selanjutnya dari tahun 2020 hingga tahun 2021, terjadi peningkatan sebesar 25,7 persen, menjadi 8.730 korban kekerasan seksual.
Menurut Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) melaporkan kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang tercatat di lembaga layanan mencapai 2.363 kasus pada 2021.
Kasus kekerasan yang paling mendominasi ialah kasus pemerkosaan, dengan jumlah kasus mencapai 597 kasus atau setara dengan 25% dari total kasus. Di urutan kedua kasus terbanyak ialah kasus Marital Rape dengan jumlah kasus sebanyak 591 kasus.
Selanjutnya kasus incest atau hubungan seksual dengan orang-orang yang memiliki hubungan darah atau saudara dekat mencapai 443 kasus. Sedangkan kasus pelecehan seksual sebanyak 374 kasus. Kasus persetubuhan di angka 164 kasus dan kasus ranah siber sebanyak 108 kasus.
Kasus pencabulan tercatat sebanyak 63 kasus. Selain itu, kasus perbudakan seksual sebanyak 17 kasus. Sedangkan kasus eksploitasi dan percobaan perkosaan masing-masing 14 dan 2 kasus. (FAS)
Baca Juga: Sandiaga: Selamat Hari Kartini untuk Perempuan-Perempuan Indonesia yang Hebat
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024