CARITAU JAKARTA – Kebahagiaan masih terangkum jelas dalam wajah Kartini. Bagaimana tidak, ia baru saja dianugerahi seorang buah hati di Bulan September yang ternyata jadi bulan kelabu untuknya.
Konon, sejak menikah dan menjadi istri dari K.R.M Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat - yang juga menjadi Bupati Rembang kala itu - perempuan yang dikenal dengan karya mengkilapnya yang berjudul "Habis Gelap Terbitlah Terang" itu mulai sibuk.
Baca Juga: Mengenal UU TPKS dan Permasalahannya di Hari Kartini
Namun, setelah dirinya mengandung anak pertamanya. Kondisi kesehatan Kartini sangat rentan. Adapun fisiknya kerap menurun hingga menderita sakit, lantas membuat aktivitasnya mulai terhambat.
Tiada yang menyangka sebelumnya, sebab pada 7 September 1903, semua tampak semringah. Nyonya Aberden, Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda sekaligus sahabat Kartini menceritakan bahwa Kartini sempat mengirimi surat kepada dirinya.
Surat tersebut membeberkan kondisi kehamilan, serta menjelaskan tak lama lagi akan lahir buah hati yang dinanti-nantikan oleh keluarga besar Kartini.
Tak berselang lama, atau tepatnya pada 13 September, Kartini melahirkan dengan selamat dan lancar. Hari-harinya sebagai ibu mulai merekah, seakan rencana ke depannya tampak seperti tanpa hambatan.
Kartini Tutup Usia
Saat itu, Kartini mengeluh perutnya sakit. Ia merasa persalinannya sudah semakin dekat. Sitisoemandari Soeroto dalam Kartini, sebuah Biografi (1979) menjabarkan hari di mana Kartini melangsungkan persalinan.
Bouman, seorang dokter sipil di Rembang yang biasa merawat Kartini, hari itu memutuskan ke luar kota. Sehari sebelumnya, ia lebih dulu memastikan kondisi Kartini. Tak ada tanda-tanda bahwa Kartini bakal melahirkan, sehingga Bouman meneguhkan diri pergi ke luar kota.
Namun, Kartini ternyata merasakan waktu untuk persalinan semakin mendekat. Selanjutnya, Djojoadiningrat terpaksa memanggil dokter lain, Ravesteijn dari Pati, 35 Kilometer dari Rembang. Ravesteijn datang di keesokan paginya.
Dari pagi hingga sore hari, persalinan Kartini tidak kunjung berhasil sehingga Ravesteijn melakukan tindakan kontroversial, menggunakan alat bantu yang tidak jelas kegunaannya. Hingga sekitar pukul 21.30, Kartini berhasil melahirkan dengan selamat. Anak Kartini tersebut diberi nama Raden Mas Soesalit.
Djojoadiningrat menggambarkan kondisi Kartini saat itu baik-baik saja. "Kecuali ketegangan perut, tidak ada apa-apa dengan Raden Ayu," ujarnya. Malam itu juga, tanpa ada rasa cemas, Ravesteijn kembali ke Pati.
Di hari keempat. Ravesteijn datang kembali untuk memeriksa kondisi Kartini. Kata dia, Kartini baik-baik saja. Ravesteijn malah meminta Kartini untuk mengonsumsi obat.
Sekitar 30 menit setelah Ravesteijn pergi, Kartini mengeluh sakit perut, sehingga Bupati menyuruh orang memanggil dokter kembali. Sayangnya, ketika dokter tiba, kondisi Kartini sudah parah.
Hingga pada akhirnya, pada tanggal 17 September 1903, Kartini sang pejuang emansipasi wanita, menghembuskan nafas terakhirnya di umur 25 tahun. Kematian perempuan kelahiran Jepara 21 April 1879, sontak menggemparkan publik.
Dalam berbagai literatur, Kartini wafat dalam pangkuan suaminya. Dalam buku Soeroto berjudul Kartini: Sebuah Biografi, sang suami sempat mengirimkan surat kepada Nyonya Abendanon yang berbunyi.
“Dengan halus dan tenang ia menghembuskan nafasnya yang terakhir dalam pelukan saya. Lima menit sebelum hilangnya (meninggal), pikirannya masih utuh, dan sampai saat terakhir ia tetap sadar. Dalam segala gagasan dan usahanya, ia adalah Lambang Cinta, dan pandangannya dalam hidup demikian luasnya. Jenazahnya saya tanam keesokan harinya di halaman pesanggrahan kami di Bulu, 13 pal dari kota” ujar Djojohadiningrat (hlm: 178).
Djojohadiningrat mendekap Kartini pada 17 September 1904 di kamar utama Kadipaten berukuran 5 x 6 meter. Perempuan yang baru dinikahi 10 bulan tersebut perlahan menutup mata, dan tak pernah bangun lagi.
Kartini Wafat, Dibunuh atau Pre-eklampsia?
Desas-desus kematian Kartini muncul ke permukaan. Kematian mendadak itu tak cuma mengejutkan, tapi dengan segera memicu rumor bahwa Kartini mati diracun. Bouman bahkan sempat melakukan penyelidikan perihal kematian misterius itu. Dari seorang kawannya yang kenal Ravesteijn, ia mendapat informasi bahwa Ravesteijn adalah dokter yang tidak dapat dipercaya. "Kudanya saja tidak akan dipercayakan kepada dokter itu," ujarnya (Soeroto, 1979).
Senada dengan penjabaran di atas, Efatino Febriana dalam bukunya berjudul “Kartini Mati Dibunuh”, mencoba untuk menggali fakta-fakta yang beredar di sekitar kematian Kartini. Efatino, di akhir bukunya, menyimpulkan bahwa kematian Kartini sudah direncanakan.
Kesimpulan Efatino ini juga dikuatkan oleh Sitisoemandari dalam bukunya berjudul “Kartini, Sebuah Biografi”, yang menduga bahwa Kartini meninggal akibat permainan jahat dari Belanda. Belanda ingin membungkam pemikiran-pemikiran progresif dan revolusioner Kartini yang berwawasan kebangsaan.
Namun, salah satu kemenakan Kartini, Sutiyoso Condronegoro, mengakui santernya isu miring seputar kematian Kartini. Tapi keluarganya lebih suka menganggapnya sebagai hal lumrah akibat proses kelahiran yang berat, yang saat ini dikenal dengan istilah pre-eklampsia. "Desas-desus itu tidak bisa dibuktikan," ucapnya seperti dikutip Soeroto.
Seperti yang diketahui, Preklamasia adalah gangguan kehamilan yang ditandai oleh tekanan darah tinggi dan kandungan protein yang tinggi dalam urine-nya.
Hari-hari Setelah Kartini Wafat
Merujuk sejumlah referensi, Kartini sempat ingin melanjutkan studi terutama ke Eropa. Hal tersebut terungkap dalam surat-suratnya. Beberapa sahabat penanya mendukung dan berupaya mewujudkan keinginan Kartini tersebut.
Ketika akhirnya Kartini membatalkan keinginan yang hampir terwujud tersebut, terungkap adanya kekecewaan dari sahabat-sahabat penanya. Niat dan rencana untuk belajar ke Belanda tersebut akhirnya beralih ke Betawi saja setelah dinasihati oleh Nyonya Abendanon bahwa itulah yang terbaik bagi Kartini dan adiknya Rukmini.
Setelah Kartini wafat, Mr. J.H. Abendanon mengumpulkan dan membukukan surat-surat yang pernah dikirimkan R.A Kartini pada teman-temannya di Eropa. Abendanon saat itu menjabat sebagai Menteri Kebudayaan, Agama, dan Kerajinan Hindia Belanda.
Buku itu diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya". Buku kumpulan surat Kartini ini diterbitkan pada 1911. Buku ini dicetak sebanyak lima kali, dan pada cetakan terakhir terdapat tambahan surat Kartini.
Pada tahun 1922, Balai Pustaka menerbitkannya dalam bahasa Melayu dengan judul yang diterjemahkan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang: Boeah Pikiran, yang merupakan terjemahan oleh Empat Saudara. Kemudian tahun 1938, keluarlah Habis Gelap Terbitlah Terang versi Armijn Pane seorang sastrawan Pujangga Baru.
Armijn membagi buku menjadi lima bab pembahasan untuk menunjukkan perubahan cara berpikir Kartini sepanjang waktu korespondensinya. Versi ini sempat dicetak sebanyak sebelas kali. Surat-surat Kartini dalam bahasa Inggris juga pernah diterjemahkan oleh Agnes L. Symmers. Selain itu, surat-surat Kartini juga pernah diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa Jawa dan Sunda.
Kini, 118 tahun Kartini tiada, namanya selalu menggema sebagai pejuang Nusantara. Teristimewa, Kartini ialah salah satu dari sedikit pahlawan perempuan kala itu, dan tegas memperjuangkan hak-hak perempuan dan emansipasi wanita. (RMA)
Baca Juga: Ibu Negara Iriana: Peringatan Hari Kartini 2022 Kebangkitan Perempuan Pulihkan Ekonomi
ra kartini habis gelap terbitlah terang hari kematian kartini 17 september kartini tutup usia emansipasi wanita
Pertarungan Dukungan Eks Gubernur Foke dan Anies v...
Buka 35.000 Lowongan Pekerjaan, Pj Teguh Resmikan...
Pj Teguh Instruksikan Perangkat Daerah Bersinergi...
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...