CARITAU MAKASSAR - Koalisi Lawan Reklamasi Pesisir menggelar Island Festival 'Merdeka dari Reklamasi' di Pulau Lae-lae, Kota Makassar, Sulsel.
Kegiatan ini dilakukan selama tiga hari, mulai dari 16-18 Agustus 2023. Dengan berbagai jenis kegiatan, yakni bersih pantai, parade laut, upacara bendera, parade budaya, live mural, parade layang-layang, pasar rakyat, tari pa’dupa dan kontemporer, teater, musikalisasi puisi, instalasi galeri, lomba dan live musik.
Baca Juga: Ugal-ugalan Rayakan HUT ke-78 RI, Ratusan Remaja di Makassar Digelandang ke Kantor Polisi
Festival tersebut digelar sebagai bentuk penolakan reklamasi Pulau Lae-lae dalam memperingati HUT ke-78 Republik Indonesia (RI).
Perwakilan Koalisi Lawan Reklamasi Pesisir, Taufik mengatakan, festival tersebut digelar sebagai momentum memperingati HUT ke-78 RI dan sebagai bentuk perlawanan masyarakat pulau Lae-lae.
Mengingat saat ini, akses ruang bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil kian menyempit, baik sebagai tempat tinggal, ruang hidup serta wilayah kelolah.
“Ini salah satu momen untuk masyarakat Lae-lae merefleksikan perjuangannya selama ini. Bahwa kemerdekaan yang diharapkan Pulau Lae-Lae adalah terbebas dari reklamasi dan berdaulat atas sumber daya alam. rencana reklamasi yang akan merusak dan menghilangkan wilayah tangkap nelayan harus dihentikan," ungkapnya.
Saat ini, Pulau Lae Lae menjadi incaran selanjutnya untuk direklamasi. Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Pemprov Sulsel) lewat pemberitahuan resminya menginformasikan akan melakukan reklamasi di sebelah barat Pulau Lae-Lae.
"Jika rencana reklamasi tidak dihentikan, maka akan ada 484 nelayan Pulau Lae-Lae yang berpotensi hilang sumber kehidupannya. Jika dirata-ratakan, satu nelayan memiliki 4 anggota keluarga, maka akan ada 1.936 orang mendapat dampak buruk dari pembangunan reklamasi ini. Jumlah tersebut belum termasuk keluarga pa’papalimbang, warun/kios, wiraswasta dan pelaku wisata," jelasnya.
Salah satu kebijakan daerah yang melegalisasi privatisasi laut dengan cara reklamasi adalah Peraturan Daerah Nomor 3 tahun 2022 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sulawesi Selatan.
"Kebijakan ini bukan hanya menghilangkan wilayah kelola nelayan dan perempuan, tapi menciptakan konflik sosial yang berkepanjangan antara warga, pemerintah dan perusahaan," ujarnya.
"Konflik sosial terjadi, disebabkan perbedaan kepentingan antara keinginan pemerintah, perusahaan swasta dan komunitas nelayan dan perempuan dalam pengelolaan dan pemanfaatan pesisir dan laut. Selain itu, kegiatan reklamasi ini berpotensi melanggar hak asasi nelayan atas laut," sambungnya.
Olehnya, masyarakat Pulau Lae-lae meminta dengan tegas kepada Pemprov Sulsel untuk segera menghentikan pembahasan dokumen Amdal reklamasi di Pulau Lae-Lae serta pemerintah pusat tak menerbitkan izin yang melegalkan reklamasi di Pulau Lae-Lae.
"Kami meminta kepada Pemprov Sulsel untuk menhentikan privatisasi laut. Warga lae-lae tidak butuh reklamasi, yang mereka butuhkan adalah pengakuan dari pemerintah atas wilayah kelola yang mereka yakini sebagai sumber penghidupan," tandasnya.
Diketahui, kegiatan tersebut sebagai respon warga terhadap kebijakan Pemprov Sulsel yang masih mengakomodir zona reklamasi dan memberikan peluang kepada perusahaan yang melakukan privatisasi laut.
Kegiatan ini juga membawa pesan sederhana, bahwa pemaksaan kebijakan tak boleh dilakukan, termasuk kebijakan reklamasi yang salama ini meminggirkan masyarakat pesisir dan pulau pulau kecil.
“Terima kasih telah mendukung kami selama ini dalam menolak reklamasi. Semoga reklamasi ini sudah tidak akan berlanjut lagi, mudah-mudahan kita tenang di Pulau Lae-Lae dan sejahtera," ungkap Warga Pulau Lae-lae, Dg Puji. (KEK)
Baca Juga: Lomba Panjat Pinang Anak, Cara Warga Makassar Peringati HUT ke-78 RI
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024