CARITAU JAKARTA - Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan yang dibuat dengan metode omnibus law sedang dalam tahap awal pembahasan di Badan Legislatif DPR. RUU Kesehatan ini memuat banyak UU yang akan direvisi, di antaranya UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN) dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (UU BPJS).
Koordinator Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menyoroti beberapa pasal dalam RUU Kesehatan yang merevisi UU BPJS, di mana isinya menurut Timboel bisa mengganggu pengelolaan jaminan sosial kesehatan dan jaminan sosial ketenagakerjaan, dan juga rawan diintervensi.
Baca Juga: Aksi Buruh Kawal Sidang Putusan JC Omnibus Law Ciptaker
Pada RUU Kesehatan ini kedudukan BPJS ditempatkan di bawah menteri, di mana RUU Kesehatan mengatur bahwa BPJS bertanggungjawab kepada presiden melalui menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan untuk BPJS Kesehatan; dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan.
Tak hanya itu, BPJS berkewajiban melaksanakan penugasan dari kementerian, yaitu penugasan dari Kementerian Kesehatan oleh BPJS Kesehatan dan penugasan dari Kementerian Ketenagakerjaan oleh BPJS Ketenagakerjaan.
“Direksi dan dewas BPJS sudah tepat bertanggung jawab langsung kepada presiden seperti aturan saat ini. Bila BPJS bertanggung jawab kepada kementerian teknis, kewenangan BPJS akan mudah sekali diintervensi kepentingan partai politik. Apalagi menteri itu jabatan politis yang umumnya diisi oleh orang partai politik. Yang kita takutkan, program jaminan sosial jadi tidak independent lagi,” kata Timboel kepada wartawan di Jakarta, Senin (23/1/2023).
Timboel menyampaikan, unsur dewan pengawas dalam RUU Kesehatan juga mengalami perubahan komposisi. Pada Pasal 21 ayat (3), komposisi Dewan Pengawas BPJS Kesehatan menjadi dua orang dari Kementerian Kesehatan, dua orang dari Kementerian Keuangan, satu orang unsur pekerja, satu orang unsur pemberi kerja, dan satu orang unsur tokoh masyarakat.
Pada Pasal 21 ayat (4), komposisi Dewan Pengawas BPJS Ketenagakerjaan menjadi dua orang dari Kementerian Ketenagakerjaan, dua orang dari Kementerian Keuangan, satu orang unsur pekerja, satu orang unsur pemberi kerja, dan satu orang unsur tokoh masyarakat.
“Pada UU BPJS, komposisi dewan pengawas masing-masing BPJS adalah dua orang dari unsur pemerintah (Kementerian Ketenagakerjaan atau Kementerian Kesehatan, dan Kementerian Keuangan), dua orang unsur pemberi kerja, dua orang unsur pekerja, dan satu orang unsur tokoh masyarakat. Penambahan jumlah dewan pengawas dari unsur pemerintah tersebut (dalam RUU Kesehatan) juga disertai kontrol kuat menteri terhadap dewan pengawas. Pasal 21 ayat (9) menyatakan Menteri Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan dapat meminta laporan anggota dewan pengawas dari unsur pemerintahan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan, dan mengusulkan penggantian (recall) terhadap anggota dewan pengawas dari unsur pemerintahan bidang kesehatan dan bidang ketenagakerjaan kepada presiden,” ungkap Timboel.
Dalam UU BPJS, lanjut Timboel, menteri tidak bisa mengontrol apalagi mengusulkan pemberhentian direksi maupun me-recall dewan pengawas unsur pemerintah, karena direksi dan dewan pengawas bertanggung jawab langsung ke Presiden.
“Dari perbandingan pasal per pasal dengan sangat jelas RUU Kesehatan akan memposisikan Direksi dan Dewan Pengawas BPJS (Ketenagakerjaan dan Kesehatan) di bawah menteri, dan ini berarti mengembalikan BPJS seperti BUMN yang dikontrol oleh menteri,” kata Timboel.
Persoalan tata kelola kelembagaan juga disoroti oleh pakar asuransi sosial yang juga Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) periode 2011-2015 Chazali Situmorang. RUU Kesehatan mengatur BPJS bertanggung jawab kepada presiden melalui Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan. Sedangkan UU BPJS menyebutkan BPJS bertanggung jawab pada presiden, tanpa embel-embel melalui menteri.
“Ada dua persoalan di sini. Pertama, apakah boleh RUU Kesehatan mengatur kedudukan Menteri Tenaga kerja? Kedua, apakah sejauh itu RUU Kesehatan boleh men-downgrade wewenang presiden? Apakah sejauh itu RUU Kesehatan men-downgrade kewajiban BPJS bertanggung jawab pada presiden? Ini persoalan tata kelola kelembagaan, yang perlu disoroti oleh Men-PAN, terhadap RUU yang mengacaukan tata kelola lembaga negara,” kata Chazali.
Persoalan tata kelola kelembagaan ini juga berlanjut pada Pasal 13. Sama-sama badan hukum publik, kedua BPJS itu harus melaksanakan penugasan dari kementerian (Kesehatan dan ketenagakerjaan).
“Perlu dicatat dalam Ketentuan Umum (Pasal 1) baik UU SJSN dan UU BPJS tidak ada nomenklatur Kementerian. Hanya tiga lembaga yang disebut yakni BPJS, DJSN dan pemerintah dalam hal ini dimaksudkan presiden. Bagaimana jalan ceritanya tiba-tiba dua kementerian me-remote BPJS,” kata Chazali.
Karenanya, baik Timboel maupun Chazali sama-sama meminta agar tidak lagi diteruskan pembahasan Pasal 415, 416 dan 417 RUU Kesehatan.
“Tidak mudah membangun jaringan kerja BPJS yang baru seumur jagung dan sudah memberikan manfaat bagi para peserta, walaupun masih ada kekurangan di sana sini. Kita perkuat implementasi, bukan dengan merombak UU,” tandasnya. (DID)
Baca Juga: Buruh Desak MK Putuskan Perppu No 2 Tahun 2022 Cacat Formil
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024