CARITAU JAKARTA – Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan akan melakukan upaya banding atas vonis nihil untuk Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat dalam kasus korupsi PT Asabri. Untuk itu, Jaksa Agung ST Burhanudin langsung memerintahkan kepada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) melakukan upaya tersebut.
“Saya telah memerintahkan Jampidsus (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus), tidak ada kata lain selain banding,” kata Burhanuddin saat konferensi pers di Jakarta, Rabu (19/1/2022).
Baca Juga: Kejagung: Dugaan Korupsi Pendanaan di LPEI Sudah Terdeteksi Sejak 2019
Burhanuddin menyatakan Kejagung menghormati putusan pengadilan tersebut. Namun demikian, dia menyebutkan keadilan bagi masyarakat sedikit terusik dengan adanya vonis tersebut.
Dia juga menyoroti soal bagaimana kasus korupsi di PT Asuransi Jiwasraya yang juga melibatkan Heru Hidayat membuat negara merugi hingga sekitar Rp16 triliun. Heru kemudian divonis hukuman penjara seumur hidup karena kasus tersebut.
Namun, ketika Heru turut terlibat dalam kasus korupsi di Asabri dengan kerugian lebih besar hingga sekitar Rp 22,7 triliun, Heru hanya divonis dengan hukuman nihil. Secara yuridis, Burhanuddin paham dengan putusan tersebut.
“Tapi rasa keadilan yang ada di masyarakat sedikit terusik,” kata Burhanuddin.
Empat Alasan Hakim Tak Jatuhkan Hukum Mati
Sebelumnya diberitakan, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta tidak menjatuhkan vonis hukuman mati terhadap Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat seperti yang dituntut Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung.
Hakim bahkan menjatuhkan pidana nihil kepada Heru Hidayat karena Heru sudah dijatuhi vonis seumur hidup dalam perkara korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Majelis hakim tidak sependapat dengan penuntut umum tentang penjatuhan hukuman mati terhadap terdakwa," kata hakim anggota Ali Muhtarom di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), Selasa (18/1) malam, seperti dilansir Antara.
Alasan pertama, menurut hakim, adalah JPU telah melanggar azas penuntutan karena menuntut di luar pasal yang didakwakan.
"Kedua, penuntut umum tidak membuktikan kondisi-kondisi tertentu penggunaan dana yang dilakukan terdakwa saat melakukan tindak pidana korupsi," ungkap hakim Ali Muhtarom.
Alasan ketiga, berdasarkan fakta, Heru Hidayat dinilai melakukan tindak pidana korupsi saat situasi negara aman.
"Keempat, terdakwa tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi secara pengulangan. Oleh karena itu beralasan hukum untuk mengesampingkan tuntutan mati yang diajukan penuntut umum dalam tuntutannya," kata hakim Ali.
Apalagi tuntutan mati diatur dalam Pasal 2 ayat 2 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut hakim, Pasal 2 ayat 2 UU Tipikor menjelaskan keadaan tertentu, saat pidana mati dapat dijatuhkan adalah sebagai pemberatan bagi tindak pidana korupsi ketika negara dalam keadaan bahaya sebagaimana undang-undang yang berlaku, yaitu pada waktu bencana alam nasional, pengulangan tindak pidana korupsi, waktu negara dalam krisis ekonomi, dan moneter.
"Tuntutan hukuman mati sifatnya fakultatif, artinya pilihan tidak ada keharusan untuk menjatuhkan hukuman mati," tambah hakim Ali.
Heru Hidayat sendiri telah dijatuhi hukuman seumur hidup dalam perkara tindak pidana korupsi PT Asuransi Jiwasraya yang merugikan negara senilai Rp16,807 triliun berdasarkan keputusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 26 Oktober 2020 dan dikuatkan dengan putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Terdakwa telah menjalani sebagian atau baru dalam tindak pidana korupsi Jiwasraya yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut. Tindak pidana korupsi PT Jiwasraya berbarengan dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan terdakwa dalam perkara PT Asabri Persero sehingga lebih tepat dikategorikan 'concursus realis' atau 'meerdaadse samenloop', bukan sebagai pengulangan tindak pidana," ungkap hakim.
Namun majelis hakim sepakat dengan JPU bahwa Heru Hidayat terbukti secara sah dan meyakinkan dalam dakwaan kesatu primer dan dakwaan kedua primer, yaitu Pasal 2 ayat (1) Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU RI Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
"Dengan demikian terdakwa hanya dapat dipidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar," tambah hakim Ali.
Majelis hakim menjatuhkan hukuman nihil ditambah dengan kewajiban membayar uang pengganti senilai Rp12,643 triliun dikurangi dengan aset-aset yang sudah disita dan bila tidak dibayar maka harta benda Heru akan disita untuk membayar uang pengganti tersebut. (GIBS)
Baca Juga: Temui Jaksa Agung, AHY Perkuat Kerja Sama untuk Tuntaskan Isu Pertanahan
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...