CARITAU JAKARTA - Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung Ketut Sumedana menyatakan Kejaksaan Agung menyambut baik keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) bahwa seorang Jaksa Agung bukan pengurus partai politik (parpol).
"Kami menyambut baik putusan MK dimaksud untuk memperkuat independensi kejaksaan sebagai aparat penegak hukum," kata Ketut, di Jakarta, Jumat (1/3/2024).
Meski demikian, menurut Ketut, selama kepemimpinan Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin, penegakan hukum murni untuk kepentingan hukum tanpa campur tangan politik.
"Sebagaimana yang telah berjalan selama ini di bawah kepemimpinan Jaksa Agung St Burhanudin, penegakan hukum yang dilakukan adalah murni kepentingan hukum tanpa adanya campur tangan politik," ujarnya.
Ketut yang juga menjabat sebagai Kepala Kejaksaan Tinggi Bali menyatakan, putusan MK tersebut memberikan kesempatan lebih luas bagi insan adhyaksa untuk dapat berkarier di posisi lebih tinggi, yakni sebagai Jaksa Agung.
"Harapan dan kesempatan itu semoga akan memberikan motivasi dalam berkinerja lebih baik dan bermanfaat ke depannya untuk kepentingan penegakan hukum," kata Ketut.
Sejak berdiri 12 Agustus 1945 sampai sekarang, jabatan Jaksa Agung yang saat ini dipimpin Sanitiar Burhanuddin merupakan Jaksa Agung ke-24.
Jabatan Jaksa Agung dari pengurus parpol sempat menuai pro dan kontra sejak Presiden Joko Widodo menunjuk Muhammad Prasetyo yang merupakan kader Partai NasDem.
Jabatan Jaksa Agung dari kalangan parpol pernah dijabat oleh Baharuddin Lopa (6 Juni 2001-3 Juli 2001) dari Partai Golkar, kemudian Marzuki Darusman (29 Oktober 1999-1 Juni 2001) dari PPP.
Keputusan MK yang melarang orang parpol tertuang dalam putusan Nomor 6/PUU-XXII/2024, atas gugatan jaksa bernama Jovi Andrea Bachtiar, yang menggugat UU Kejaksaan.
Pada sidang pendahulu (1/2/2024) seperti dirilis Antara, pemohon menyebutkan Pasal 20 UU Kejaksaan bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3), Pasal 2 ayat (1), dan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.
Pada gugatannya, pemohon menyebut keterlibatan aktif penegak hukum dalam pragmatisme politik, dengan sedang atau merangkap menjadi anggota politik, dinilai akan merusak independensi kejaksaan secara inkonstitusional, utamanya dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Jaksa Agung yang memiliki keterlibatan dengan partai politik sangat memungkinkan adanya kontrak politik atau mendapatkan tekanan dari kolega politiknya. Apalagi saat ini belum ada mekanisme checks and balances berupa fit and proper test pada pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung.
Jaksa Agung dapat saja diberhentikan dari jabatannya apabila dianggap membangkang dari kolega politiknya.
Untuk itu, dalam petitumnya, pemohon meminta agar Mahkamah menambahkan syarat: "g. Tidak sedang terdaftar sebagai anggota partai politik atau setidak-tidaknya telah 5 tahun keluar dari keanggotaan partai politik, baik diberhentikan maupun mengundurkan diri" dalam Pasal 20 UU Kejaksaan”.
Pada putusannya, MK mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian.
Mahkamah menyatakan Pasal 20 UU Nomor 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia bertentangan dengan UUD 1945.
Selain itu, Pasal 20 UU Kejaksaan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat, sepanjang tidak dimaknai: "untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 huruf a sampai dengan huruf f, termasuk syarat bukan merupakan pengurus parpol, kecuali telah berhenti sebagai pengurus parpol sekurang-kurangnya 5 tahun sebelum diangkat sebagai Jaksa Agung”.(BON)
Baca Juga: MK Nilai Dalil Jokowi Dukung Pencalonan Gibran Tidak Cukup Kuat
Baca Juga: MK Akui Belum Ada Caleg Ajukan Gugatan PHPU pada Pileg 2024
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...