CARITAU JAKARTA - Ketua Yayasan Bantuan Lembaga Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menanggapi soal Puspom TNI yang keberatan atas langkah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berhasil mengungkap perkara kasus dugaan korupsi terkait pembelian dan pengadaan alat pendeteksi gempa di lingkungan Badan SAR Nasional (Basarnas).
Dalam kasus dugaan korupsi itu diketahui menyeret dua perwira aktif TNI yakni Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas), Marsekal Madya TNI Henri Alfiandi dan Koordinator Staf Administrasi (Koorsmin) Kabasarnas RI, Letkol Adm Afri Budi Cahyanto menjadi tersangka.
Baca Juga: Firli Bahuri Masih Hadiri Gelar Perkara, KPK Mengaku Belum Terima Surat Keppres
Dalam pengembangan kasus itu, KPK malah meminta maaf terhadap Puspom TNI atas penetapan tersangka kedua perwira tinggi TNI tersebut. Selain itu, KPK dalam keterangannya mengaku khilaf dan menyerahkan lanjutan proses hukum keduanya kepada Puspom TNI.
Adapun alasan KPK melimpahkan kasus dugaan korupsi pengadaan alat pendeteksi gempa itu ditengarai lantaran yurisdiksi hukum keduanya yang sebagai perwira tinggi militer aktif berada di bawah naungan peradilan militer.
Dalam keteranganya, Isnur menilai, sikap KPK yang meminta maaf dan berjanji melimpahkan perkara itu ke Puspom TNI merupakan bentuk hal yang keliru dan sebagai tindakan akrobatik hukum yang dapat menimbulkan hak impunitas pada dua tersangka tersebut.
Selain itu, Isnur melihat, bahwa sikap KPK yang meminta maaf merupakan bentuk kekacauan hukum lantaran koordinasi yang buruk di dalam internal KPK.
Disisi lain, polemik antara KPK dan Puspom TNI ini menurut Isnur juga disinyalir akibat hilang nya peran eksekutif dan legislatif yakni Presiden dan DPR RI dalam menjunjung tinggi penegakan hukum di Indonesia.
"Pertama ada tindakan akrobatik hukum dan juga upaya pembelokan/disinformasi Undang-Undang. Lalu kedua, ada kekacauan koordinasi di internal KPK karena saling menyembunyikan dan juga menyalahkan," kata Isnur dalam acara diskusi bertema 'Kasus Korupsi di Basarnas dan Urgensi Reformasi Peradilan Militer yang digelar secara daring, Minggu (30/7/2023).
"Ketiga, hilangnya peran Presiden dan DPR serta macetnya reformasi peradilan militer," sambung Isnur.
Dalam keteranganya, Isnur menegaskan bahwa permasalahan akrobatik hukum itu dapat dilihat berdasarkan keputusan penempatan posisi dari Kepala Basarnas yang seharusnya tidak dipegang oleh militer aktif lantaran masuk dalam kategori jabatan sipil.
Isnur menjelaskan bahwa hal itu telah diatur di dalam Pasal 47 Undang-Undang TNI yang telah menyebutkan bahwa prajurit atau perwira dapat menduduki jabatan sipil dengan catatan harus terlebih dahulu mengundurkan diri dari tugasnya
sebagai TNI.
Kendati demikian, Isnur tak menampik perihal jabatan Kepala Basarnas juga dapat diduduki oleh TNI aktif. Isnur menuturkan, hal itu telah termaktub di dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang TNI namun dengan catatan diajukan terlebih dahulu berdasarkan prosedur hukum yang berlaku.
"Perlu dipahami bahwa SAR adalah lembaga atau jabatan sipil. Kabasarnas itu tidak juga otomatis diduduki oleh jabatan tentara," jelas Isnur.
Isnur menerangkan adapun di dalam Pasal 3 ayat 3 Kepala Basarnas dapat dijabat perwira tinggi TNI dengan catatan mereka harus tunduk pada ketentuan administrasi dan juga tunduk dalam ketentuan hukum pengawasan Kementerian atau Lembaga.
"Jadi ketika ada penempatan di Basarnas, tidak berlaku lagi ketentuan jabatan administrasi TNI. ini yang kemudian diungkapkan Puspen dll," kata
Isnur.
Disisi lain, menurut Isnur, terdapat kekeliruan dalam memaknai penegakan hukum dalam kasus dugaan korupsi tersebut. Adapun kekeliruan dalam kasu itu menurut Isnur, meski jabatan Kepala Basarnas diduduki perwira tinggi TNI namun sejatinya itu merupakan jabatan sipil.
Berdasarkan hal itu, Isnur menegaskan bahwa proses penyelesaian kasus perkara korupsi itu sejatinya harus menggunakan tunduk dalam aturan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana yang telah menjadi kewenangan dari KPK.
"Kaba itu di Basarnas jabatan sipil. Jadi ketika jabatan sipil, Undang-Undang tipikor pasal 11, itu secara jelas menyebutkan bahwa pihak KPK berwenang menyelidiki menyidik menangkap dll penyelenggara negara. Kabasarnas posisi nya jabatannya adalah jabatan sipil," tegas Isnur.
Isnur menambahkan, dalam konteks lembaga penyelenggara negara juga disebutkan didalam Pasal 42 Undang-Undang KPK bahwa penyidik berhak memimpin, mengkoordinasikan ataupun mengendalikan proses penyelidikan dan juga penyidikan terkait kasus tindak pidana korupsi yang pelakunya antara umum, militer dan sipil.
"Jadi apakah KPK dalam kasus ini berwenang menangkap kabasarnas? Ya, berwenang. UU TNi UU Polisi, UU KPP menjelaskan itu. Jadi kalau ada informasi keraguan publik, diduga ia adalah bagian dari disinformasi yang salah," tandas Isnur. (GIB/IRN)
Baca Juga: Firli Bahuri Ditetapkan Tersangka Dugaan Pemerasan SYL
kpk ott korupsi basarnas korupsi pengadaan barang dan jasa puspom tni kepala basarnas
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...