CARITAU JAKARTA – Menjelang pemilu 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) berencana memulai tahapan persiapan Pemilu pada Juni tahun 2022. Langkah itu diambil menyusul kebijakan Pemerintah Pusat dan DPR soal penentuan penetapan tanggal pemilu yang akan dilaksanakan 14 Februari 2024.
Tim seleksi calon komisioner KPU dan Bawaslu telah mengirimkan 14 nama calon untuk KPU dan 10 nama calon untuk Bawaslu periode 2022-2024 ke presiden untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan atau fit and proper test.
Baca Juga: Ahli Timnas AMIN Sebut KPU Melanggar Asas dan Prinsip Pemilu
Menanggapi hal itu, Analis Politik dari Exposit Strategic, Arif Susanto mengatakan, dalam rangka uji kelayakan dan kepatuhan, DPR sangat diharapkan tidak memilih Komisioner KPU dan Bawaslu berdasarkan kedekatan organisasi maupun suku.
"Bagi saya problem fit and proper test ini bukan hanya sebatas yang terjadi di DPR, tapi juga sangat berpengaruh terhadap tata kelola pemilu tahun 2024," ucap Arif dalam diskusi daring yang bertemakan "fit and proper test penyelenggara pemilu: Profesionalisme, kemandirian dan pluralisme yang diselenggarakan oleh Gerakan Untuk Indonesia Adil dan Demokratis, Rabu (26/1/2022).
Arif mengatakan, seharusnya DPR dan pemerintah perlu memahami bahwa pemilu harus dilakukan secara independen. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya DPR memilih Komisioner penyelenggara pemilu yang profesional dan berintegritas.
"Oleh sebab itu DPR dalam memilih komisioner penyelenggara pemilu harus yang profesionalitas dan berintegritas," ucap Arif.
Ia meyakini, dengan menempatkan orang-orang yang profesional di Komisioner KPU dan Bawaslu, maka menurut dia pemilu yang akan datang jauh lebih baik dari pemilu tahun sebelumnya.
"Selama ini pemilu belum memberikan kontribusi yang maksimal terhadap konsolidasi demokrasi. Hasil pemilu bukan sekadar pesta demokrasi," kata Arif.
Segera Benahi Daftar Pemilih Tetap
Salah satu yang jadi kritik keras pada pemilu sebelumnya adalah lambatnya pembaruan Daftar Pemilih Tetap (DPT). Karena itu, dengan anggaran pemilu yang sangat besar, seharusnya, menurut Arif, KPU mendatang dapat menyelesaikan persoalan tersebut.
"Kita lihat pada pemilu beberapa tahun lalu, pembaruan data daftar pemilih tetap sangat lambat. Sebenarnya kalau persiapan pemilu dapat dikelola dengan baik mestinya hal itu bukan masalah yang pelik," ucap Arif.
Selain persoalan DPT, Arif juga menyoroti masalah mitigasi daftar pemilih di daerah rawan konflik dan bencana yang dinilai sangat buruk. Meskipun KPU memiliki data daerah rawan konflik namun persoalan itu juga tidak terselesaikan.
"Hal yang menjadi aneh, setiap kali pemilu tensi konflik semakin tinggi dan biaya pemilu terus meningkat," kata Arif.
Arif menambahkan buruknya tata kelola penyelenggaraan pemilu juga dapat dilihat dari maraknya politik uang. Menurutnya, politik uang biasanya dilakukan oleh partai politik maupun kader partai yang mengikuti kontestasi.
"Pembelian suara itu terutama muncul akibat dari percaloan politik. Percaloan politik itu terdiri dari banyak level, yang pertama dari partai politik dan yang kedua calon. Akibatnya, baik dari partai politik maupun calon memerlukan uang untuk menyukseskan kemenangannya," ungkap Arif.
Stop Politik Identitas
Satu hal yang tak luput dari kritik Arif adalah mengenai politik identitas. Menurutnya, hingga kini penyelenggara pemilu tidak bisa menyelesaikan persoalan yang terkait dengan politik identitas.
"Politik kebencian berbasis identitas bukan hal baru, seperti di tahun 2004 dan 2019 terjadi kekisruhan. Artinya, penyelenggaraan pemilu kita masih buruk akibat ketidakprofesionalan penyelenggara," ucapnya.
Sementara itu, Direktur Lima Indonesia, Ray Rangkuti menekankan, dalam pelaksanaan pemilu mendatang, kita berharap Bawaslu dapat mencegah praktik politik uang dan praktik politik identitas yang diduga marak dalam pelaksanaan pemilu.
"Pada pemilu mendatang, kita harus tekankan terkait politik uang dan politik identitas harus di selesaikan oleh KPU melalui langkah-langkah pencegahan. Tentu saja bukan politik uang yang nilainya kecil seperti puluhan ribu, tapi yang nilainya miliaran," jelas Ray.
Menurut Ray, praktik politik uang diduga bisa saja menjadi marak sebelum pelaksanaan pemilu.
"Saya kira teman-teman di sini bisa terus mendorong dan membantu Bawaslu untuk sama-sama melakukan pengawasan dalam pemilu terutama praktek politik pemilu tradisional yang sejak lama telah menjadi polemik. Seperti politik uang dan politik identitas," pungkasnya. (GIBS)
Baca Juga: Hadir di Adu Gagasan Antikorupsi KPK, Ini Alasan Yenny Wahid Gabung TPN Ganjar-Mahfud
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...