CARITAU JAKARTA - Pengamat intelijen yang juga peneliti dari Global Future Institute, Hendrajit, menyebut ada tiga akar permasalahan yang terjadi pada kasus Rempang, Batam, Kepulauan Riau.
Tiga akar permasalahan itu, pertama, sistem politik yang koruptif. Kedua, pengabaian terhadap geopolitik, sehingga tidak dijadikan dasar atau acuan dalam pengambilan keputusan di Rempang. Kemudian ketiga, pengabaian terhadap kearifan lokal di Rempang.
Baca Juga: Partai Ummat Beri Jaminan untuk Pembebasan Tahanan Rempang
"Sistem politik yang koruptif membuat kebijakan yang dibuat tidak didasarkan pada kepentingan masyarakat dan dipaksakan untuk dapat dilaksanakan. Dalam sistem seperti ini, melegokan kewenangan bukan hanya dianggap sah, tapi oke, karena ada yang diuntungkan dari sistem ini," kata Hendrajit dalam diskusi di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan dikutip (19/9/2023).
Ia juga mengatakan, dalam sistem pemerintahan yang koruptif, yang berkelindan dengan sistem pemerintahan kapitalis sebagaimana yang berlaku di Indonesia saat ini, maka produk hukum dan perundang-undangan yang dihasilkan kalau tidak pro kapitalis, maka pro konglomerasi lokal atau komprador konglomerat.
Karenanya, menurut Hendrajit, tidak heran jika hubungan antara Indonesia dan China yang merupakan hubungan bilateral, karena sistem yang koruptif, menjadi hubungan trilateral karena masuknya unsur konglomerat lokal dalam hubungan Indonesia - China sebagaimana yang terjadi di Rempang.
Sebab, proyek itu terealisasi setelah pertemuan Presiden Jokowi dengan Presiden China Xi Jinping, dan proyek itu bukan hanya melibatkan perusahaan China Xinyi Glass Holdings Ltd, tetapi juga PT Makmur Elok Graha (MEG) milik konglomerat Tommy Winata.
Terkait pengabaian geopolitik, Hendrajit melihat bahwa geopolitik memang tidak dijadikan pedoman dalam keputusan pemerintah di Rempang.
"Skema proyek di Rempang itu kan awalnya Rempang disepakati sebagai zona wisata yang sudah disetujui oleh semua elemen termasuk masyarakat adat. Namun kemudian ketika Pemerintah dan PT MEG menandatangi kontrak kerja sama, Rempang berubah jadi zona industri, perdagangan dan pariwisata, sehingga pariwisata dan tentu saja budaya lokal Rempang jadi obyek eksploitasi," terangnya.
"Inilah yang saya katakan geopolitik utamanya karakter khas geografis daerah tidak jadi masukan dan tuntunan dalam penyusunan kebijakan strategis di sektor politik, ekonomi, sosial-budaya dan militer," lanjut Hendrajit.
Akibat pengabaian terhadap geopolitik, lanjut Hendrajit, maka praktis kearifan lokal pun terabaikan dalam keputusan pemerintah di Rempang.
"Saya tidak tahu apakah aspek geografis dan kearifan lokal ini memang sengaja diabaikan karena mereka tidak tahu atau mereka tahu tapi memang sengaja tidak dijadikan rujukan," katanya
Ketika ditanya apakah sebaiknya Presiden Jokowi menghentikan proyek Rempang Eco-City? Hendrajit mengatakan bahwa sebaiknya ditinjau ulang, karena menurutnya, membangun hubungan yang setara dan saling menguntungkan dengan China adalah bagus, tetapi jangan sampai ada pihak yang dirugikan.
Seperti diketahui, kasus Rempang dipicu oleh pembangunan Rempang Eco-City oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) di Pulau Rempang, dan proyek itu menggusur seluruh penduduk di pulau itu yang berada dalam 16 kampung adat, untuk dipindah ke lokasi lain.
Penggusuran itu ditolak warga Rempang, sehingga warga dan aparat TNI-Polri telah berkali-kali bentrok.
Perlawanan warga Rempang ini mendapat simpati dan dukungan dari banyak kalangan, termasuk para tokoh nasional di Jakarta. (DID)
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024