CARITAU JAKARTA - Ketua DPP Nasional Corruption Watch (NCW), Hanifa Sutrisna mengungkap sejumlah temuan pihaknya terkait Proyek Strategis Nasional (PSN) Eco Rempang City. Hal tersebut dia sampaikan saat diskusi Carut Marut Pulau Rempang dan Indikasi Korupsi Pembangunan Rempang Eco City, Senin (2/10/2023).
Adapun temuan pertama, terang Hanifa, NCW menemukan bukti digital bahwa investor Rempang Eco City Xinyi Glass Holding Limited tidak pernah serius menjalankan kerja sama yang sudah ditandatangani di dua lokasi kawasan industri, sebelum berivestasi di Rempang Eco City.
Baca Juga: Meski Dituding Terlibat Pencucian Uang, Raffi Ahmad Tak Akan Laporkan NCW
"Sebelum di Pulau Rempang, ternyata Xinyi Glass pernah membuat MoU yang sama dengan Kawasan Industri Sadai tahun 2020 di Bangka Belitung. Saat itu, pihak Xinyi Galss berjani menyiapakan US$6-7 miliar untuk investasinya menggarap pengolahan mineral tambang pasir kuarsa Bangka Belitung. Namun begitu akan dilanjutkan untuk proses MoA, mereka raib dan hilang tanpa kabar berita," kata dia.
Selain di Babel, dia menjelaskan tindakan serupa juga tercipta di Gresik. Kali ini soal rencana investasi sebesar US$700 juta. Namun, progres investasi ini tidak jelas ujungnya. Hal ini yang dikhawatirkan NCW, mengingat ketidakjelasan mereka dalam berinvestasi dan dugaan agenda terselubung lainnya.
Kemudian, NCW mencatat PSN Eco City Rempang belum menyelesiakan studi analisa dampak lingkungan (AMDAL). Hal ini diperkuat dengan beredarnya di medai sosial terkait undangan Kepala Pusat Perencanaan Program Strategis BP Batam, Nomor B-4392/A2.1/PT.02/09/2023 perihal Konsultasi Publik Penyusunan Dokumen AMDAL Kawasan Rempang Eco City Kecamatan Galang Kota Batam Provinsi Kepulaun Riau.
Temuan ketiga, NCW menemukan ketidaksesuaian pernyataan Menteri Investasi Bahlil Lahadalia soal 80% masyarakat yang terdampak PSN tersebut bersedia relokasi. "Namun rakyat di lapangan hasil penyelidikan dan pengumpulan data informasi dari sumber terpecaya dan pengaduan masyarakat ke DPP NCW, 80% masyarakat Pulau Rempang yang memiliki alas hak SHM, menolak untuk dipindahkan atau direlokasi ke lokasi baru," ucap Hanifa.
Akar Permasalahan Konflik Rempang
Selanjutnya, Hanifa menyebut berdasarkan informasi yang diambil dari sumber terpercaya, ditemukan data dan fakta bahwa pembiayaan relokasi dan penggusuran tanah masyarakat belum disalurkan oleh pemerintah pusat, apalagi Badan Pengawasan Batam.
"Selain itu, kami juga menemukan akar masalah konflik lahan di Pulau Rempang sudah terjadi pada tahun 2001. Di mana berawal dari diterbitkannya Hak Pengelolaan Lahan (HPL) oleh Pemerintah Pusat dan BP Batam.
"HPL tersebut diterbitkan untuk perusahaan swasta, yang kemudian HPL tersebut berpindah tangan ke PT.Makmur Elok Graha (PT MEG). Sedangkan Menko Polhukam Moh. Mahfud MD menegaskan kasus di Rempang itu bukan penggusuran. Tetapi pengosongan lahan, karena hak atas tanah itu telah diberikan oleh negara kepada entitas perusahaan untuk digunakan dalam hak guna usaha di Pulau Rempang sejak 2001 dan 2002.
Akan tetapi, sebut Hanifa, hak guna usaha yang telah diterbitkan tersebut ternyata tidak digunakan atau lahan yang telah ditetapkan itu tidak dikelola oleh pemerintah. Atas dasar tersebut, pada tahun 2004 dan seterusnya menyusul dengan beragam keputusan, salah satunya tanah itu diberikan hak baru kepada orang lain untuk ditempati.
"Kini warga masyarakat harus berhadapan dengan kondisi yang ada kejelasan, setelah mereka hidup berpuluh tahun di Pulau Rempang dan rata-rata masyarakat rutin membayar pajak ke pemerintah. Jangan kan sertifikat yang dijanjikan, saat ini masyarakat Pulau Rempang dipaksa untuk menerima relokasi dan diminta pindah ke lokasi yang akan disiapkan oleh BP Batam," papar Hanifa.
Temuan selanjutnya, NCW menemukan di lokasi adanya upaya intimidasi dari pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, yang mendesak masyarakat untuk angkat kaki dari wilayah terdampak PSN di Pulau Rempang.
Terakhir, Hanifa bersama NCW mempertanyakan pernyataan Kepala BP Batam soal setoran uang wajib tahunan (UWT) yang meminta dana APBN, padahal konsesi sudah diserahkan kepada pihak swasta PT MEG. “Hitungan UWT dimaksud apakah 7000 rupiah dikalikan 17.600 hektare baru menjadi Rp1,2 triliun atau 7000an hektare dikalikan tarif UWT Rp 21.428/m2 menjadi Rp1,5 triliun.
“Namun jika MEG dapat pengalokasian awal sejak 2001 seluas 16.583 hektare, maka UWT yang harus dibayar adalah Rp3,6 triliun (tarif Rp 21.750/m2), jadi sisa kewajiban UWT bagaimana ceritanya?” tutupnya. (RMA)
Baca Juga: Partai Ummat Beri Jaminan untuk Pembebasan Tahanan Rempang
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024