CARITAU JAKARTA - Anggota Komisi B DPRD DKI Jakarta Prof Gilbert Simanjuntak mempertanyakan urgensi penggunaan hak angket buntut batalnya pembangunan pengolahan sampah yang menghasilkan listrik, Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter, Jakarta Utara. Dibanding memakai hak angket, kata dia, sebaiknya legislatif melakukan penajaman lewat komisi.
“Bahwa ada miss komunikasi kenapa muncul RDF (refuse derived fuel) tanpa dikomunikasikan, itu dipertanyakan lalu dilanjutkan dengan rapat-rapat berikut. Bukan langsung, hak angket gitu lho jadi rapat kerja komisi saja itu dipertanyakan,” kata Prof Gilbert pada Rabu (9/8/2023).
Baca Juga: Anggota DPRD Ungkap Ragam Prestasi Heru di Jakarta, dari Staf Biasa hingga Pj Gubernur
Menurutnya, hak angket merupakan hak yang melekat bagi setiap anggota dewan. Namun hak angket itu bermuatan politis, dan digunakan ketika yang bersangkutan tidak mendapat jawaban dari pihak eksekutif.
“Jadi yang paling benar itu adalah mencari data, berkali-kali saya katakan demokrasi itu akan dewasa kalau semua bicara menggunakan data,” ucap politisi PDIP Perjuangan ini.
“Dari hak angket apa yang mau diharapkan, apa yang mau diangkat, orang datanya belum punya. Lalu nanti mau bahas apa?,” sambungnya.
Kata dia, alasan eksekutif lebih memilih RDF ketimbang ITF bisa didiskusikan di rapat kerja Komisi B, C dan D DPRD DKI Jakarta. Pernyataan Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekda DKI Jakarta Sri Haryati juga bisa menjadi bahan pendalaman, bahwa finansial menjadi salah satu alasan membangun RDF, bukan ITF.
“Tadi dalam rapat dikatakan bahwa kenapa sudah diputuskan dulu (pembangunan ITF), iya memang dulu anggarannya ada dan sekarang tidak ada. Terus mau dipaksakan dari mana? Mau jual tanah? Mau jual Monas?,” ucapnya.
Berdasarkan paparan yang diterima Prof Gilbert, pembangunan ITF memang menyedot biaya yang cukup besar hingga Rp 3-4 triliun, dan itu belum termasuk biaya pengolahan sampah atau tipping fee kepada mitra swasta. Sedangkan pembangunan RDF hanya di kisaran Rp 800 miliar.
“Secara sepintas saya melihat RDF itu biayanya lebih rasional, sedangkan ITF itu biayanya jumbo dan tidak masuk akal,” ujarnya.
Gilbert juga mempertanyakan rapat Komisi B dan C DPRD DKI Jakarta soal Pj Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono yang dianggap menyalahi regulasi karena batal membangun ITF. Dia mengingatkan, tidak ada penjelasan secara spesifik bahwa DKI harus membuat ITF.
“Itu potensi (melanggar aturan), belum terbukti dan saya sudah pertanyakan di mana (melanggar) karena saya sudah baca bahwa Perda-nya tidak menyebutkan ITF, Pergub-nya saja yang menyebutkan ITF. Kemudian PP (Peraturan Pemerintah) menyebutkan pengolahan sampah,” jelasnya.
Gilbert menyarankan Pj Gubernur untuk merevisi atau mengeluarkan Pergub baru terkait ITF. Adapun Pergub yang dimaksud adalah Pergub Nomor 33 Tahun 2018 tentang Penugasan Lanjutan Kepada Perseroan Terbatas Jakarta Propertindo Dalam Penyelenggaraan Fasilitas Pengelolaan Sampah di Dalam Kota/Intermediate Treatment Facility (ITF).
“Jadi kalau Perda tidak ada yang ditabrak dan PP juga tidak ada yang ditabrak. Pergub itu kan produk dari Gubernur, yah tinggal dikeluarkan Pergub baru,” imbuhnya. (DID)
Baca Juga: Jadi BUMD Penyumbang Dividen Terbesar, Pemprov DKI Apresiasi Bank DKI
komisi b dprd dki gilbert simanjuntak hak angket pembatalan proyek itf sunter pemprov dki jakarta
Dua Paslon Kompak Dampingi Cabup Sulsel 02 Andi Su...
Makan Siang Gratis, Digaungkan Prabowo Ditunaikan...
MRP Barat Daya Laporkan KPU ke DKPP
Ribuan Warga Rantepao Toraja Utara Ikuti Anti Mage...
Diduga Langgar Etik, MRP Papua Barat Daya Adukan K...