CARITAU JAKARTA – Partai Buruh menilai seruan penolakan dari berbagai elemen masyarakat terhadap pasal-pasal yang dianggap kontroversi dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan hal yang wajar karena pemerintah terkesan tertutup dan tidak mampu menjelaskan esensi dari pasal-pasal tersebut.
"Bukan hanya dalam proses merevisi pasal-pasal yang ada di dalam KUHP, tapi juga negara memastikan tidak ada ruang sama sekali bagi rakyat untuk ikut andil. Sehingga menjadi tanya mengapa negara menyimpulkan untuk merevisi berbagai aturan di dalam KUHP," kata Ketua Bidang Pemuda Pengurus Pusat Partai Buruh M Arira Fitra Birek kepada caritau.com, Sabtu (18/6/2022).
Baca Juga: Sebut Terburuk Sepanjang Sejarah, Partai Buruh Desak Pemerintah Usut Dugaan Kecurangan Pemilu
Menurut Birek, pada draft RKUHP yang terakhir beredar pada tahun 2019, ditemukan banyak pasal kontroversial yang akan mengancam nilai-nilai demokrasi rakyat. Salah satunya yaitu hak menyampaikan pendapat melalui aksi massa.
"Sebelumnya gerakan rakyat dilindungi dalam UU nomor 9 tahun 1998 tentang Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Namun di dalam RKUHP terjadi pengekangan ruang demokrasi. Negara memotong suara protes rakyat dengan aturan pasal 273 RKUHP yang melegalisasi praktik otoritarian," imbuhnya.
Partai Buruh pun menuntut agar proses pembuatan undang-undang ataupun RKUHP membuka ruang selebar-lebarnya bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi memberikan masukan.
"Partisipatif keterlibatan rakyat menjadi jalan dan kunci utama negara dalam membuat suatu aturan. Namun hingga hari ini tidak ada draft resmi yang dipublikasikan untuk dapat diakses oleh rakyat. Ini menunjukkan bahwa proses perumusan RKUHP didesak dengan segera di tengah situasi rakyat tidak memahami keurgensiannya," tegasnya.
Lebih lanjut Birek menyebut, pasal-pasal kontroversi dalam RKUHP justru menggambarkan pemerintah antikritik.
"Sudah sangat jelas RKUHP yang didesain secara sektoral oleh negara tanpa keterlibatan rakyat merupakan produk hukum yang cacat dan merampas hak dasar rakyat, sebagaimana yang telah tertuang dalam konstitusi negara pasal 28 D UUD 1945," tegas Birek.
Birek mengungkapkan, sejauh ini tidak ada parameter yang jelas bagaimana menafsirkan penghinaan yang tercantum dalam draft pasal RKUHP.
"Pasal penghinaan presiden, lembaga negara, DPR dan jajaran pemerintah lainnya, merupakan gambaran nyata bahwa negara Indonesia hari ini dikuasai oleh segelintir orang yang antikritik, antidemokrasi dan antirakyat miskin," tambahnya.
Birek yang juga menjabat Ketua Umum Liga Mahasiswa Nasional Untuk Demokrasi Dewan Nasional (LMND-DN) menambahkan, pemerintah sudah seharusnya mendengar suara rakyat yang menolak sejumlah pasal yang disinyair berpotensi mengkriminalisasi kelompok-kelompok yang mengkritisi pemerintah.
"Mengapa negara menyiapkan pasal yang rawan dan berpotensi tinggi meningkatkan tindakan kriminalisasi?" pungkasnya. (GIBS)
Baca juga :
RKUHP Disahkan Paling Lambat Juni 2022, Wamenkumham: Tak Mungkin Puaskan Semua Pihak
Aliansi BEM se-UI Minta Pemerintah Buka Draf Terbaru RKUHP, Berdampak pada Kehidupan Masyarakat Luas
Batasan Kritik dan Penghinaan Tipis, Ancaman Pidana Penghina Pejabat di RKUHP Diminta Dihapus
Kontroversi RKUHP, Ancaman Penjara 1,5 Tahun untuk Penghina DPR, Jaksa, Polisi, hingga Walkot
Baca Juga: Kawal Aksi Demo Partai Buruh, Polda Metro Jaya Terjunkan 622 Personel
partai buruh pasal-pasal kontroversi rancangan kitab undang-undang hukum pidana rkuhp
Pameran Seni Boru Ni Raja
Penutupan Sementara Bandara Djalaluddin
Polda Jatim Kawal May Day, Terapkan Rekayasa Rute...
Diduga 36 Ribu Suara Beralih ke Partai Garuda, PPP...
Bambang Pramujati Resmi jadi Rektor ITS 2024-2029