CARITAU JAKARTA – Pakar hukum tata negara Hamdan Zoelva berharap Pemerintah dan DPR dapat memuat penjelasan dan batasan terkait pasal penghinaan presiden di Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) untuk mencegah munculnya 'pasal karet'.
Menurut Hamdan, jika tidak ada batasan maka pasal itu akan menjadi pasal karet.
Baca Juga: Mahfud MD Sebut Pengesahan Undang-Undang ASN Atasi Masalah Tenaga Honorer
"Itu menjadi sangat penting dalam merumuskan pasal-pasal yang berkaitan dengan kehormatan dan martabat presiden," kata Hamdan dalam acara bertajuk RKUHP: Menyoal Pasal Penghinaan Pemerintah yang disiarkan di kanal YouTube Salam Radio Channel, dipantau dari Jakarta, Rabu (29/6/2022).
Lebih lanjut, Hamdan juga berharap agar penyusun undang-undang memberikan penjelasan lengkap di dalam RKUHP sehingga ruang multitafsir untuk pasal penghinaan presiden bisa hilang.
Hamdan berpandangan bahwa masyarakat di negara demokrasi memang memiliki hak untuk mengkritik pemerintah, serta menyampaikan atau mengekspresikan ketidaksetujuan mereka terhadap pemerintah.
"Masalahnya adalah sejauh mana cara penyampaian kritik itu sehingga tidak menyentuh hal-hal yang sangat berkaitan dengan personal," ucap dia.
Kebebasan yang tidak teratur dapat menimbulkan konflik sosial, tutur Hamdan. Oleh karena itu, ia berpandangan bahwa mekanisme pidana memang diperlukan untuk menjaga situasi agar tetap kondusif, salah satunya adalah melalui pengaturan hukum pidana seperti pembentukan pasal tentang penghinaan pemerintah atau presiden.
"Bagi saya, itu (pasal tentang penghinaan) termasuk bagian penting dalam membangun bangsa ini, tetapi batasan-batasan menjadi sangat penting untuk diperjelas agar tidak menjadi pasal karet," ujarnya.
Pembentukan pasal tersebut merupakan salah satu upaya kanalisasi yang dapat mengatur etika dan akhlak ketika menyampaikan kritik terhadap pemerintah dan presiden.
"Bangun akhlak ini melalui pendekatan hukum. Itu juga akan mengarahkan kepada keberadaban kehidupan berbangsa yang lebih baik. Demokrasi tanpa akhlak dan etika itu adalah air bah yang besar," tutur Hamdan.
Pidana 3 Tahun Bagi Penghina Pemerintah
Selain pasal tentang penghinaan presiden, dalam RKUPH juga memuat pasal ancaman pidana kepada penghina pemerintah. Menurut Dosen Departemen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang P Wiratmawan, pasal tersebut dinilai bentuk kemunduran hukum. Selain itu, pasal tersebut juga tak sejalan dengan hukum hak asasi internasional.
"Saya kira ini jauh di bawah hukum hak asasi internasional, terutama pengaturan kebebasan tentang ekspresi. Tentu pengaturan yang seperti itu akan berdampak luas terhadap upaya melindungi kebebasan sipil," kata Herlambang kepada wartawan, Kamis (16/6) lalu.
"Perlu diperhatikan, kita ini kan mendorong negara hukum demokratis, tapi karakter pembentukan hukum yang sekarang ini ada dalam draf RKUHP, itu justru kemunduran dalam menata legislasi yang lebih punya makna di tengah masyarakatnya," ia melanjutkan.
Kemunduran lain, kata Herlambang, adalah, dulu pada zaman kolonial Belanda pernah ada pasal-pasal yang membungkam aspirasi atau pendapat kaum pribumi.
“Karena pembentukan hukum semacam ini pernah terjadi di masa kolonial persisnya di tahun 1914. Ketika Gubernur Jenderal Van Heutsz itu dari Aceh pindah ke Batavia kemudian menyisipkan atau menyelundupkan pasal-pasal untuk membungkam kaum pribumi. Nah, ini berulang. Jadi peristiwa 2022 ini sebenarnya mengulang peristiwa masa kolonial dulu," tandasnya. (GIB)
Baca Juga: Saksi Sidang BTS Kominfo Buka-Bukaan, Sebut Ada Aliran Dana Masuk ke Komisi I DPR
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...