CARITAU JAKARTA – “Melihat Tingkah Amirmachmud…, Saya Ingin Merogoh Pistol”. Begitulah judul wawancara eksklusif tabloid DeTAK dengan Letkol TNI AD Ali Ebram yang dimuat di edisi 32 dengan cover story ‘Kesaksian Pengetik SP 11 Maret’ yang terbit 2 Maret 1999, atau terbit menjelang hari kelahiran SP 11 Maret --lebih dikenal dengan sebutan Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret-- di tahun pertama setelah Soeharto turun dari kursi kepresidenan melalui gerakan Reformasi pada 21 Mei 1998.
Setiap tahun saat memasuki tanggal 11 Maret, sebagian bangsa Indonesia agaknya bakal kembali teringat Supersemar atau Surat Perintah Sebelas Maret (SP 11 Maret), surat perintah yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966 yang kemudian menjadi pintu bagi penggantian pucuk kepemimpinan nasional dari Presiden Soekarno ke Presiden Soeharto.
Baca Juga: Soeharto ‘Hidup Lagi’, Kampanye Pemilu 2024 di Instagram Erwin Aksa
Supersemar tampaknya bakal selalu mengiang mengingat nilai historisnya yang menandai kelahiran Orde Baru, juga karena sebenarnya tersisa kontroversi, salah satunya terkait jumlah halaman Surat Perintah (executive order) yang didiktekan dan kemudian ditandatangani Presiden Soekarno di salah satu paviliun di Istana Bogor yang ditinggalinya bersama Ibu Hartini.
Surat Perintah dari Presiden Soekarno Pemimpin Besar Revolusi kepada Letnan Jenderal Soeharto yang saat itu menjabat Menteri Panglima AD di Kabinet Dwikora yang juga disebut Kabinet 100 Menteri, ditegaskan Ali Ebram, juga beberapa saksi sejarah saat itu -- salah satunya Dr Soebandrio (Wakil Perdana Menteri 1957-1966) yang juga diwawancarai DeTAK bahwa dia pada 11 Maret 1966 berada di Istana Bogor dan ikut membaca naskah surat sebelum Bung Karno teken karena diminta Sang Proklamator ikut mengoreksi-- terdiri dari dua halaman dengan tandatangan Presiden di halaman dua, namun kemudian naskah salinan Supersemar yang beredar luas hanyalah satu halaman meski tetap dengan tanda tangan Presiden Soekarno.
Sejarah mencatat, seperti ditulis DeTAK dalam laporan utamanya, Supersemar lahir pada Jumat 11 Maret 1966, saat Jakarta ramai dengan aksi demonstrasi ribuan mahasiswa yang di antaranya bergerak ke Istana Merdeka dengan membawa Tritura atau Tri Tuntutan Rakyat, yakni bubarkan PKI dan ormas-ormasnya, bubarkan Kabinet 100 Menteri, serta turunkan harga.
Bung Karno Jumat pagi itu berangkat dari Istana Bogor yang menjadi kediaman, menggunakan helikopter menuju Jakarta guna menghadiri sidang kabinet di Istana.
Baru sekitar 10 menit memimpin sidang kabinet, suasana menjadi mencekam setelah Kol Pol Sumirat, ajudan Bung Karno dari unsur kepolisian yang duduk di belakang presiden, mendapat nota dari Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa yang menulis agar Presiden Soekarno meninggalkan rapat karena adanya pasukan tanpa atribut yang bergerak di sekitar Istana atau lapangan Monas.
Bung Karno terhenyak membaca nota itu dan kemudian menyerahkan pimpinan sidang kepada Waperdam Leimena, dan sejurus kemudian terbang kembali ke Istana Bogor dengan helikopter.
Seperti ditulis DeTAK, berdasarkan pengakuan Amirmachmoed dalam buku ‘H Amirmachmoed Menjawab’, setelah sidang dibubarkan Amirmachmoed yang saat itu menjabat Pangdam V Jaya, bertemu Menteri Veteran Brigjen Basuki Rachmad dan Menteri Perindustrian Brigjen M Jusuf di tangga sebelah kanan Istana Negara bagian barat.
Mereka bertiga sepakat untuk datang ke rumah Menteri Panglima AD Letjen Soeharto di Jalan Agus Salim 98 yang pagi itu tak menghadiri sidang Kabinet 100 Menteri dengan alasan sakit, sebelum akhirnya mereka bertiga pergi ke Istana Bogor.
Nah, ketika bertemu Soeharto itulah, mereka dititipi surat untuk disampaikan kepada Bung Karno, yang menurut Kepala Staf Kostrad Kemal Idris kepada DeTAK, inti surat adalah Soeharto tidak akan bertanggungjawab terhadap keamanan apabila tidak diberi perintah tertulis dari Presiden Soekarno. Pernyataan Kemal ini sesuai dengan pengakuan M Jusuf yang dimuat di harian Suara Karya edisi Maret 1973 yang tertulis, “Pak Harto bersedia memikul tanggungjawab apabila kewenangan diberikan kepada beliau, untuk melaksanakan stabilitas keamanan dan politik berdasarkan Tritura".
Begitulah, ketiga jenderal tadi berangkat ke Istana Bogor dan pada malam harinya ditandatanganilah Supersemar oleh Bung Karno.
Terlepas dari kontroversi yang menyelimuti, Caritau.com pada peringatan 11 Maret 2022 ini menurunkan naskah asli wawancara eksklusif tabloid DeTAK dengan Letkol Ali Ebram, staf Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa atau Pasukan Pengamanan Presiden di masa Presiden Soekarno.
Naskah wawancara Ali Ebram tersebut kami turunkan lengkap mengingat naskah asli tabloid DeTAK yang bertagline ‘Bacaan Bagi yang Berpikir Merdeka’ itu, belum secara lengkap terdokumentasi online, sehingga banyak penulisan tentang Supersemar di online yang hanya mengutip sepenggal-sepenggal pengakuan Ali Ebram.
Pertimbangan lain sehingga kami memutuskan menurunkan naskah tersebut, salah satu dari dua jurnalis (plus satu fotografer) yang saat itu mewawancarai Ali Ebram di rumahnya adalah Kukuh Bhimo Nugroho yang saat itu reporter tabloid DeTAK dan kini menjadi Pemimpin Redaksi Caritau.com.
Meski setelah terbit pengakuan Ali Ebram di tabloid DeTAK itu ada pihak-pihak yang menyangsikannya, agaknya wajar jika mengingat krusialnya Supersemar dalam perjalanan sejarah bangsa dan biarlah hal itu menjadi bagian dari proses demokrasi di negeri tercinta ini.
Jas Merah atau ‘Jangan Sekali-sekali Meninggalkan Sejarah’, begitu pesan Bung Karno. Sekali lagi, pemuatan naskah ini sekadar mendokumentasikan kesaksian di masa lalu terkait pemberitaan mengenai Supersemar, agar naskah kesaksian Ali Ebram tersebut tak lapuk dimakan zaman, mengingat naskah asli hasil wawancara tersebut hanya tercetak di lembaran kertas koran yang saat ini sudah mulai menguning dan semakin ringkih dimakan sang waktu yang telah berjalan 23 tahun.
Selamat menyimak naskah asli wawancara kesaksian Letkol Ali Ebram pengetik naskah asli Supersemar yang dimuat tabloid DeTAK edisi 32 (2-8 Maret 1999):
Selama lima tahun (1962-1967) Ali Ebram menjadi staf Asisten I Intelijen Resimen Cakrabirawa. Sebelumnya, pria kelahiran Solo yang oleh Bung Karno dipanggil "Kriminil" tersebut pernah menjadi prajurit Banteng Raiders di Semarang, yang saat itu Soeharto komandannya.
Namun, karier militernya tamat ketika tanpa alasan yang jelas dia ditangkap tahun 1967, kemudian dipenjara selama 12 tahun tanpa proses peradilan. Setelah keluar dari penjara, Ali sering diancam teror agar tidak membuka mulut seputar peristiwa G-30-S dan SP 11 Maret.
Beberapa bulan lalu, Ali datang ke rumah Soeharto untuk bersilaturahmi. "Dia kan bekas atasan saya. Waktu itu saya diberi uang untuk memperbaiki makam istri saya di Solo," ungkap Ali. Sebelum bertemu Soeharto, pria yang kini berusia 71 tahun itu sempat diundang salah seorang pejabat tinggi Setneg untuk mencarikan naskah asli SP 11 Maret dengan imbalan Rp 1 miliar.
Lebih dari 30 tahun, Ali memang berdiam diri soal SP 11 Maret. Menurutnya, kini adalah saatnya untuk mengungkap peristiwa lahirnya SP 11 Maret. "Biarlah nanti saya ditembak atau... Pokoknya, saya lillahita'ala saja. Saya tidak punya maksud apa-apa," katanya.
Berikut wawancara DeTAK dengan Ali Ebram, Senin (22/2) dan Sabtu (27/2) di rumahnya:
Bisa diceritakan kegiatan Anda pada 11 Maret 1966?
Pagi itu dari Bogor, Bung Karno berangkat ke Jakarta. Hari Jumat itu ada rapat Kabinet 100 Menteri di Istana. Bung Karno berangkat dengan menggunakan helikopter. Sedangkan saya sendiri lewat jalan darat, begitu heli mengudara.
Malam hari sebelum sidang kabinet, banyak menteri bermalam di Istana Merdeka. Apa ada instruksi dari Presiden?
Tidak ada instruksi. Lho, itu kan mereka mendekat ke Istana karena di luar banyak demonstrasi. Jadi, biar tidak terlambat saja.
Apa betul ada tentara liar?
Iya, memang. Bung Karno mendadak meninggalkan Istana karena ada pasukan liar yang akan menyerbu. Bung Karno memutuskan untuk terbang ke Istana Bogor. Ketika mesin heli mulai menderu, saya segera menyusul berangkat ke Bogor dengan menggunakan mobil. Sebenarnya (pasukan itu) bukan liar, hanya mereka tak pakai tanda-tanda pengenal. Tapi banyak yang tahu itu pasukan Kostrad.
Berarti Kemal Idris yang waktu itu Kaskostrad tahu?
Tahu bener. Makanya ketika ketemu, saya bilang,"Hai Jenderal, Anda kok pakaiannya baru sekarang?" Dia marah-marah dengan saya. "Kamu dobol, nek ngomong nyakiti ati." "Lho, pakaian baru kok sakit," saya bilang begitu. "Ya, ngerti aku maksudnya," katanya.
Pukul berapa Anda sampai di İstana Bogor?
Perjalanannya satu jam lebih.
Bung Karno sampai pukul berapa?
Kalau menurut radio, pukul setengah dua belas sudah sampai. Kalau naik helikopter, dari Jakarta ke Istana Bogor itu sekitar 10 menit.
Lantas Soebandrio naik apa?
Naik heli dengan Pak Chaerul Saleh. Bapak itu dengan heli yang besar, yang berada di lapangan yang sekarang Monas itu. Sedang Pak Chaerul berangkatnya dengan heli di dalam istana. Mereka berdua (Soebandrio dan Chaerul-red) itu takut. Takut mau ditembak. Dha mbingungi (pada bingung) itu. Tapi kalau Pak Chaerul almarhum sih tenang. Bandrio itu kan penakut.
Sesampai di Bogor, kejadian apa saja yang Anda lihat?
Begitu saya datang, tak lama pos jaga lapor.
"Pak, ini ada jenderal mau masuk." Saya bilang,"Ya sudah, biarkan masuk."
Saya ini dianggap taek-taek kok oleh mereka, ketiga jenderal itu, Pak Basoeki Rachmat, Amir (Amirmachmud-red), dan M Jusuf. Yang menemui pertama kan saya.
Saya tanya,"Mau apa, Pak?"
"Saya mau ketemu Sabur (Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa-red)."
Lalu saya bilang, "Harap lapor Posko dulu!"
"Enggak perlu, saya mau ketemu Sabur."
"Ya sudah, silakan ketemu, itu rumahnya di belakang."
Yang jawab itu siapa?
Amirmachmud.
Apa tiga jenderal itu satu mobil?
Waduh, saya kok enggak ingat persis, ya. Kalau enggak salah dua mobil.
Tapi datangnya bersamaan?
Iya. Satu datang, lalu disusul di belakangnya. Selisih waktunya tak jauh. Ketiga jenderal itu ketemu Sabur. Oleh Sabur dilaporkan ke Bapak (Bung Karno-red), dan mereka dipersilakan masuk paviliun tempat Bu Hartini. Ketiga jenderal itu akhirnya diajak masuk.
Saya kemudian dipanggil Sabur. "Kamu ditimbali Bapak (Kamu dipanggil Bapak)," kata Sabur.
Saya ikut masuk tapi diam saja. Mereka itu ngomong antara lain, "Pak, berikan perintah pada Soeharto biar aman." Amirmachmud yang ngotot agar Bapak membuat surat untuk Soeharto. Pembicaraan cukup lama.
Amir yang banyak bicara. "Sudah, Bapak bikin saja!" kata Amir sambil berdiri. Padahal Bung Karno hanya duduk dengan kepala bersandar pada kursi.
Saya marah, "Hee, yang sopan dong, Jenderal!"
Eh, saya justru dimarahi Bapak. Saya dijawil dan diajak masuk ke belakang. Pipi saya ditempeleng.
"Kowe buntutku ojo melu-melu! Kowe meneng wae! (Kamu itu pembantuku, jangan ikut-ikut! Kamu diam saja!)" Saya diam saja.
Setelah dimarahi itu saya langsung keluar dari paviliun, dan kembali ke pos jaga. Saya masih marah. Bukan marah pada Bapak karena ditempeleng, tapi marah melihat Amirmachmud. Waktu melihat tingkah Amir itu, saya sangat marah. Rasanya sudah ingin merogoh pistol saja. Kalau tidak ada Bapak, enggak tahu apa yang terjadi.
Jadi, yang paling aktif bicara Amirmachmud?
Ya. Juru bicaranya Amirmachmud. Yang pasif itu kan Mas Basoeki Rachmat. Kalau Pak Jusuf masih ngegong-ngegongi.
Apa bisa dikatakan ada pemaksaan?
Dikatakan paksa? Gimana, ya? Tapi tindakannya itu..., apa ya..., ada penekanan begitulah. Contohnya, "Udah deh, Bapak itu masa tidak percaya sama Angkatan Darat?"
Bu Hartini ada di tempat itu?
Ada.
Jadi, dia tahu ada tiga jenderal?
Ya, tahu dong. Tapi Bu Hartini di belakang, di dapur, tidak ikut menemui ketiga jenderal itu.
Melihat sikap Amir, bagaimana reaksi Bung Karno?
Bapak itu enggak pernah mau marah-marahi orang. Justru kami-kami yang di sekitarnya yang sering kena marah. Saya atau Mangil itu ibaratnya tempolong. Tahu tempolong? Itu punya orang Jawa tempat untuk menampung ludah.
Ibaratnya semua makian atau ungkapan marah pasti jatuh ke kami. Bapak itu kalau bicara kepada kami seringkali sengak dan nyakiti hati. Tapi kami ini sudah biasa. Sudah kebal. Karena, kami tahu, apa yang terlontar dari Bapak itu hanya ungkapan emosi sesaat. Bapak itu kalau marah bisa keras. Tapi kalau sudah balik kanan, berarti sudah selesai marahnya. Sesudah itu, biasanya kembali tertawa-tawa dan menyapa kami lagi.
Jadi, Anda tidak tahu pembicaraan selanjutnya?
Tidak. Lama mereka bicara sekitar dua jam. Tahu-tahu Sabur panggil saya. Dia minta saya membantu mengetik. Lha, saya kan tahu diri. Saya itu orang pasukan, masa disuruh buat layang (surat)?
"Saya tidak bisa ngetik," saya bilang.
Tapi Sabur memaksa. "Sudahlah, ikut saja. Bantu saya."
Terus saya disuruh cari blangko surat yang berkop kepresidenan. "Lho, di Jakarta dong!" balas saya. Sabur jawab, "Sudah, cari saja!" Blangko itu yang kuasa kan Pak Jamin.
Akhirnya dapat, itu sekitar pukul 15.00. Kami berdua masuk kamar pribadi Bapak. Sementara tiga jenderal menunggu di ruang tamu.
Siapa yang mengetik?
Saya, sedang Sabur duduk di samping saya. Bung Karno sendiri berdiri mondar-mandir sembari mendikte. Bapak waktu itu tidak pakai baju kebesaran. Baju santai, celana dan tidak pakai peci.
Bagaimana perasaan Anda ketika mengetik?
Ndredeg (gemetar) saya.
Kenapa Anda yang dipanggil Sabur? Apakah karena Anda orang kepercayaannya?
Kalau dibilang kepercayaan, ya bukan. Tapi Pak Sabur itu, kalau ada hal-hal yang rahasia, biasanya manggil saya. Waktu itu dia dari paviliun Bu Hartini bilang rene (ke sini) sambil memberikan isyarat tangan. Saya jawab, "Apa?" Terus Sabur bilang, "Rene dobol (ke sini sialan)!"
Apakah yang ada waktu itu hanya Anda sendiri?
Tidak, ada beberapa orang.
Apakah Mangil ada di sana?
Ya, waktu itu Mangil ada. Kalau enggak salah dia ada di ruang agak depan. Kan waktu itu Sabur minta saya untuk bawa mesin ketik. Saya bawa mesin ketik itu lewat pintu belakang.
Apakah Soebandrio dan Chaerul Saleh menemani Bung Karno dan tiga jenderal tadi?
Oh, enggak ada di ruang itu.
Tapi kan sejarah mencatat mereka ada di situ?
Ya, supaya diperkuat bahwa mereka menyetujui. Pak Bandrio dan Pak Chairul Saleh memang waktu itu ada di Istana. Tapi mereka tidak di situ (di paviliun tempat Bu Hartini dan Bung Karno-red). Pak Bandrio dan Pak Chairul ada di gedung yang letaknya di pinggir pagar.
Mereka tidak tahu. Itu karangan kalau dibilang mereka tahu. Sedang Pak Leimena sendiri meneruskan memimpin sidang kabinet. You boleh tanya sama Bandrio.
Kira-kira mereka tahu kedatangan tiga jenderal itu?
Wah, saya tidak tahu. Tapi malamnya mungkin tahu. Kan bisa saja mereka diberi tahu anggota Cakrabirawa.
Jadi, SP 11 Maret yang mengonsep Bung Karno sendiri?
Iya.
Anda masih ingat apa yang Anda ketik?
Wah..., pokok-pokoknya saja yang saya ingat. Ada disebut ajaran, koordinasi, terus laporan.
Ada berapa poin?
Ada empat poin. Soal keluarga, melindungi keluarga yang tidak ada. Yang keempat itu memberi laporan.
Berapa lama proses pengetikan itu?
Sekarang kalau orang enggak biasa ngetik terus diperintah ngetik, bisa dikira-kira berapa lama? Ngetiknya sambil ndredeg (gemetar). Sebelum mulai, saya bilang sama Bapak, "Pak, saya mohon ampun kesesa (Pak, saya mohon tidak tergesa-gesa):"
Bung Karno membawa konsep?
Enggak. Ngomong saja. Karena tidak pernah mengetik surat resmi kepresidenan, saya dan Sabur sempat kebingungan mau pakai spasi berapa. Kami bongkar-bongkar mencari surat-surat lama untuk dijadikan contoh. Akhirnya ketahuan. Saya dan Sabur sepakat memakai spasi dua.
Bung Karno lalu mendikte. Sebelum tempat tanda tangan, kotanya diketik di Bogor. Terus di bawah tanda tangan ada kode pengetik. Di situ ada singkatan nama saya. Pakai inisial nama tua saya, YD (nama tua: Yosodiningrat).
Setiap surat resmi presiden waktu itu, selalu di akhirnya ada inisial pengetik. Ngetiknya ya pelan-pelan, satu-satu. Belakangan saya diberi tahu teman-teman bahwa dalam SP 11 yang dikeluarkan resmi, tidak ada lagi inisial itu. Ya, biar.
Bagaimana ekspresi Bung Karno waktu mendikte?
Saya ndak berani melihat Bapak. Kalau beliau perkirakan kalimat yang diucapkan sudah diketik, baru tanya, "Uwis (sudah)?" Sudah, Pak. Tek-tek-tek... "Uwis?" Sudah, Pak. Tek-tek-tek...
Ada berapa lembar SP 11 Maret itu?
Dua halaman. Enggak muat kalau cuma satu halaman. Spasinya itu berapa? Bapak itu orangnya correct. Bung Karno itu orangnya correct. Jangan main-main sama beliau.
Waktu itu kan kertas pertamanya enggak cukup. Sudah mau habis. "Pak, kertasnya hampir habis," kata saya. "Wis, dijembeng wae (Sudah, dimolorkan saja)!" kata Bung Karno. Lalu kami masukkan kertas kedua.
Lama pengetikan satu jam lebih. Begitu selesai, saya serahkan Sabur. Kemudian dibawa Bapak ke ruang tamu. Itu dibaca Bapak lama sekali sambil merenung. Bapak kan masih ragu. Diam. Begitu Bapak bilang, "Pulpen!", saya tinggal. Saya ke luar dari ruang itu menuju ke rumah komando. Tapi saya masih sempat dengar Amirmachmud bilang, "Iya, Bapak tanda tangan saja. Kenapa sulit-sulit!"
Kenapa Anda meninggalkan ruangan?
Maksud saya itu, supaya saya... (Tiba tiba wajahnya memerah, air matanya menetes. Kata-katanya terputus-putus.)... di akhirat tidak tanggung jawab. Saya hanya mengamankan beliau saja. Saya di akhirat enggak bertanggung jawab. Saya saat itu nangis. Sekarang pun saya nangis.
Saya dipesan benar oleh Bung Karno, "Ojo melu melu! Menengo wae terus (Jangan ikut-ikut! Diam saja terus!) Ada saatnya..." Oalah, sekarang diam saja diancam terus, kok.
Anda mengatakan tak pernah mengetik. Apakah ada kesalahan-kesalahan?
Itulah anehnya. Enggak ada salah itu. Sepertinya ada yang membimbing. Biarpun pelan-pelan, ternyata semua berjalan lancar. Mungkin karena sangat pelan-pelan, ya? Cuma kadang ya misalnya ada huruf 's' yang dobel.
Apakah dipasang karbon?
Ya, harus dikarbon, dong. Tapi lembar salinan atau arsipnya saya tidak tahu. Saya kan keluar lebih dulu. Mungkin yang lebih tahu Sabur. Atau Pak Jamin, sekretaris kabinet Presiden.
Bung Karno tanda tangan?
Saya ndak tahu. Kan saya keluar. Tapi beberapa waktu sebelum SP 11 itu, Bapak ya pernah bilang, "Heh, Bapak wis gak disenengi rakyat. Bapak arep leren (Bapak sudah tidak disenangi rakyat. Bapak mau berhenti.)." Mungkin itu firasatnya Bapak.
Setelah Anda keluar, apakah obrolan Bung Karno dengan tiga jenderal masih berlangsung?
Setelah itu Bapak mungkin langsung sare (tidur). Tapi enggak tahu ya, wong saya sudah enggak ngurus lagi.
Pukul berapa ketiga jenderal itu pulang ke Jakarta?
Pukul berapa gimana?
Bukankah mereka malam itu kembali ke Jakarta?
Siapa bilang? Begini ya, saya beri tahu, malam itu ketiga jenderal itu menginap di Bogor. Jadi, tidak betul kalau malam itu mereka pulang.
Dari mana Anda memastikan? Bukankah Anda bilang sudah tak menemui mereka lagi?
Aku memang enggak mau ngurusi mereka. Wong saat itu sudah dongkol sama ulah mereka. Yang ngurusi barangkali Sabur. Saya baru tahu kalau mereka menginap pada keesokan harinya. Bapak akan berangkat ke Jakarta. Ketiga jenderal itu mau ikut heli. Saya larang,
"Helinya tidak cukup." Heli itu kursinya kan untuk Bapak, ajudan, dan kawal pribadi. Isinya heli kan enam orang. Masa heli untuk presiden mau dipenuhi, kan tidak boleh. Biasanya hanya empat saja di dalam. Mereka akhirnya jalan darat, ikut konvoi. Saya sendiri enggak mau ikut konvoi.
Jangan-jangan ketiga jenderal itu malamnya pulang, kemudian pagi harinya datang. Amirmachmud sendiri kan mengaku pagi harinya diundang Bung Karno lagi ke Istana Bogor?
Mbuh. Pokoke saya tahu dia mau naik helikopter, tapi saya larang.
Bagaimana menurut Anda SP 11 Maret resmi pemerintah? Anda tentu pernah membaca?
Embuh (tidak tahu). Saya, sejak itu, memilih tidak membaca Supersemar. Rasanya berat sekali. Apalagi kalau mengingat saat saat itu. Berat sekali rasanya. Apalagi kalau tahu bahwa surat itu menjadi... (menangis lagi dan kalimatnya terputus).
Setelah SP 11 Maret, Anda pernah bertemu dengan ketiga jenderal itu?
Itu waktu ramai-ramai pengakuan..., siapa orang Yogya itu?
Sukardjo Wilardjito?
Wilardjito..., yang cerita kalau Jenderal Panggabean ikut, ada penodongan kepada Bung Karno. Saya ketemu sama Pak Jusuf. Saya dipanggil. Dia menanyakan soal Wilardjito itu. "Wilardjito itu siapa?" Saya bilang, "Ndak ada, baik di Detasemen Pengamanan Chusus (DPC) maupun Detasemen Kawal Pribadi (DKP)." Dia terus bilang, "Kamu kalau ngomong jangan asal njeplak (bicara) saja, lho." Saya dipesan, "Jangan asal njeplak."
Anda punya cerita soal Bung Karno setelah 11 Maret itu?
Bapak itu pernah dicoba ditembak. Saya ingat betul itu hari Jumat, karena saya ingat siangnya Bapak salat Jumat, akhir tahun 1966. Saya dan pengawal yang diajak cuma Mas Mangil.
Bung Karno mengajak puter-puter keluar cari sate di daerah Sukasari, di luar Istana Bogor. Itu naik jeep..., belakangnya diambil terus diganti kursi yang jok rotan.
Waktu pulang, terdengar suara letusan. Saya dengar 'jub', di kanvas atap mobil. Bapak tidak tahu, dia cuma dengar suara letusan itu.
Bapak lalu tanya sama Mangil, "Opo kuwi (apa itu), Ngil?" Mas Mangil, yang rupanya juga tidak tahu, menjawab sekenanya, "Mercon, Pak."
Bapak itu lucu kok. Bapak itu kalau kepada orang-orang dekatnya, 80 persen itu lebih terasa sebagai bapak sendiri daripada sebagai presiden.
Setiba di Istana dan Bapak sudah masuk, baru saya ajak Mas Mangil memeriksa mobil. Ternyata betul, pada kanvas atas bagian belakang ada lubang bekas peluru.
Apakah Soeharto pernah dipanggil Bung Karno?
Itu setelah G-30-S, sebelum SP 11 Maret. Harto itu dipanggil karena protes. Bung Karno kan menunjuk Pranoto Reksosamudro jadi caretaker. Saya yang disuruh memanggil di Jl Agus Salim.
Soeharto datang dengan Pak Harso, ajudannya. Waktu itu di Istana Merdeka hanya ada empat orang, Bapak, Bu Dewi, Mangil, dan Soeharto. Saya sendiri, yang waktu itu tidak dinas, berdiri agak jauh.
Begitu menghadap, Bung Karno bilang, "To, kowe isih koepig? (Soeharto, kamu masih keras kepala) Isih dagang, yo? (Masih dagang ya) Mbok ojo koepig-koepig (Jangan terlalu keras kepala)!" Dimarahi dia.
Bung Karno lalu bilang, "To, aku wis kesel dadi presiden. Kowe dadi presiden, yo? (To, saya sudah capai jadi presiden. Kamu yang jadi presiden, ya)!"
Harto langsung melesot di lantai, di kaki Bung Karno, "Jangan, Pak. Jangan." Bung Karno itu ngelulu Soeharto.(bhimo/wd)
Baca Juga: Museum Pendaratan Presiden Soekarno
strong herbal teas [url= https://forums.dieviete.lv/profils/127605/forum/ ] https://forums.dieviete.lv/profils/127605/forum/ [/url] online pharmacy store
Merinding banget sih pas baca kesaksian Letkol Ali Ebram. Keren, caritau.com sudah menyajikan konten yang edukatif.
Saya sangat suka baca sejarah. Tulisan seperti ini memperkaya pengetahuan saya. Terima kasih caritau.com.
Jangan sekali2 melupakan sejarah. Bisa menjadi bahan jika ada sejarawan merekonstruksi sejarah Indonesia.
awalnya hanya tau Supersemar secara sekilas dari pelajaran PPKN semasa SMP, setelah baca kesaksian ini, wawasan dan rasa ingin tau saya terhadap Supersemar semakin bertambah
ternyata ini sebabnya
ternyata ini sebabnya
Kereeen...
Informasinya keren. memberi perspektif baru.
Satgas Pamtas RI-Malaysia Yonarhanud 8/MBC Gagalka...
Penggerebekan Gudang Pembuat Miras Oplosan di Meda...
Pengendara Motor Tewas Terlindas Truk Trailer di J...
Erick Thohir: Timnas Indonesia U-23 Terus Mencipta...
Banjir Luapan Sungai Citanduy