CARITAU JAKARTA – Letkol Ali Ebram adalah salah satu saksi sejarah pada peristiwa keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) 1966. Saat mengetik surat tersebut, sesuai perintah Presiden Soekarno, beliau adalah Staf Asisten 1 Resimen Cakrabirawa, tak ubahnya seperti Pasukan Pengaman Presiden (Paspamres) sekarang.
Dalam wawacara dengan Tabloid Detak pada Edisi 32 Maret 1999, ada beberapa fakta menarik yang jika dibaca konstelasi dan konfigurasi politik jelang keluarnya Supersemar, bisa jadi info penting buat para sejarawan yang mau membedah episode ini tentang hal-hal yang belum terungkap.
Baca Juga: Soeharto ‘Hidup Lagi’, Kampanye Pemilu 2024 di Instagram Erwin Aksa
Melalui cerita Ali Ebram dari wawancara dengan Detak yang hanya sebatas mata memandang dan telinga mendengar, mencuat beberapa fakta yang waktu itu kita lewatkan begitu saja. Meski untungnya tetap terdokumentasi dalam transkrib wawancaraL
1. Ketika Bung Karno tiba-tiba pergi ke Istana Bogor, Jenderal M Yusuf, Menteri Industri, dan Jenderal Basuki Rahmat, Menteri Veteran, mereka berdua bersepakat berdua menyusul Presiden ke Istana Bogor. Dalam cerita Ebram, Amir Machmud, Panglima Kodam Jaya, tidak disebut-sebut ikut dalam kesepakatan antara Yusuf dan Rahmat
2. Di Bogor, tiba-tiba Amir Machmud, entah gimana, ikut bergabung dengan kedua jenderal yang tergabung dalam Kabinet 100 Menteri. Yang mengherankan lagi, dalam pertemuan ketiga jenderal dengan Bung Karno yang pro aktif menekan Presiden menandatangani surat perintah adalah Amir Machmud. Yusuf sesekali ‘ngengongi’ atau mengiyakan, sementara Rahmat pasif sama sekali.
3. Terkait dengan kejanggalan ini, dalam wawancara dengan Tabloid Detak, Ebram sempat ditanya apakah ketiga jenderal itu datang ke Istana Bogor dalam satu mobil? Ebram memang mengaku tidak terlalu perhatian soal detail itu. Namun Ebram berani memastikan ada 2 mobil. Dari fakta ini, besar kemungkinan Yusuf dan Rahmat lah yang semobil ke Bogor. Amir pakai mobil lain.
Baca Juga: Kesaksian Lengkap Letkol Ali Ebram Pengetik Naskah Supersemar (Tabloid DeTAK)
4. Sekarang geser ke fakta lain, suasana pertemuan antara Bung Karno dan ketiga jendral. Seperti penuturan Ebram pada Detak, selain lebih pro aktif, Amir mengesankan sebagai juru bicara militer. Meski Amir dalam mendesak Bung Karno menandatangani surat perintah kepada Soeharto, mewakili siapa sebenarnya Amir ke Bogor?
5. Fakta lain yang kerap kita abaikan, Yusuf dan Rahmat masih perwira militer aktif, keduanya datang ke Bogor bukan sebagai perwira yang sedang dalam struktur komando dan hirarki militer. Keduanya datang sebagai menteri dari Kabinet 100 Menteri. Artinya, meski ke Bogor berseragam lengkap, tapi hakekatnya mereka berdua sedang jadi sipil. Kalau Amir memang ada dalam jalur komando militer aktif. Sebagai Pangdam Jaya, Amir berada di bawah komando Pangkostrad dan KSAD Soeharto.
6. Fakta bahwa Yusuf dan Rahmat ke Bogor berdua, sementara Amir datang ke Bogor sendiri, tapi malah mendominasi pertemuannya dengan Bung Karno, info ini kalau dikembangkan lebih rinci, bisa mematahkan teori resmi era orba, bahwa ketiga jenderal tersebut datang ke Istana sebagai utusan Soeharto. Kedatangan Yusuf, Rahmat dan Amir ke Bogor, tidak bisa disebut satu motif. Nah, apa motif Yusuf dan Rahmat? Dan untuk siapa Amir bekerja?
7. Masih ada satu lagi kejanggalan. Waktu ada pertanyaan jam berapa para jenderal itu balik Jakarta? Ebram kaget, malah balik nanya, maksudnya gimana? Ternyata menurut Ebram, ketiga jenderal itu nginap di Bogor. Bukannya langsung balik Jakarta seperti menurut versi sejarah resmi. Ini fakta menarik, karena kalau mereka bertiga menginap di Bogor, ini ranah yang selama ini belum diolah para sejarawan. Misalnya, apa aktivitas para jenderal itu, baik sendiri-sendiri atau bersama-sama, selama bermalam di Bogor?
Adakah pembicaraan ketiga jenderal atau beberapa di antaranya, dengan Bung Karno? Karena jangan lupa, Yusuf dan Rahmat masih menteri-menteri nya Bung Karno. Dan Yusuf sewaktu masih kapten pernah jadi anggota Paspamres di bawah komando Komisaris Besar Polisi Mangil Martowidjoyo pada era 1950-an. Jadi terkait suasana Istana Jakarta atau Bogor, Yusuf sangat familiar.
Menariknya lagi, fakta bahwa keputusan Yusuf untuk ke Bogor, apapun alasannya, mengajak Basuki Rahmat dan bukan yang lain, menandakan adanya hubungan spesial antar keduanya. Lagi lagi, ini juga ranah yang belum dijamah para sejarawan.
Penulis: Hendrajit (Pakar Geopolitik dan Direktur Eksekutif Global Future Institue)
Baca Juga: Patung Presiden Soekarno akan Didirikan di Moskow
supersemar 1966 letkol ali ebram wawancara ali ebram tabloid detak presiden soekarno jenderal soeharto soeharto orde baru
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...