CARITAU JAKARTA - Segenap Pemain Timnas Indonesia tampak lesu, lemas dan tak kuasa usai ditundukkan Vietnam dengan skor 2-0 di Stadion My Dinh, Hanoi, Senin (9/1/2023) pada pertandingan leg kedua Semifinal Piala AFF 2022.
Kekalahan tersebut juga memastikan Skuad Garuda angkat kaki dari perhelatan turnamen sepak bola paling prestisius di Asia Tenggara itu.
Baca Juga: Timnas Indonesia Bertolak ke Vietnam, Shin Tae-yong Panggil Ernando Ari
Tidak hanya tersingkir, kegagalan Timnas juga memupuskan impian sejumlah suporter dan masyarakat Indonesia untuk bisa sekali saja menjadi yang terbaik di Piala AFF.
Maklum saja, dari 13 kali keikutsertaan mereka di ajang yang telah digelar pada 1996 itu, Indonesia menjadi salah satu tim di antara kontestan lainnya yang kerap menembus final. Akan tetapi, capaian terbaik Timnas hanya menyabet enam kali posisi runner-up, tanpa satupun keluar sebagai juara.
Padahal, segala upaya tampak telah diusahakan; pelatih-pelatih dengan nama beken didatangkan, gencarnya naturalisasi serta penggaetan pemain keturunan, pemusatan latihan yang memakan waktu berbulan-bulan dan sebagainya.
Namun seolah menjadi siklus berulang; bermain baik di fase grup dengan mencetak banyak gol, mengalahkan tim unggulan, euforia di antara suporter membuncah, harapan dan impian tampak nyata, tapi berakhir dengan kegetiran sekaligus pahit. Sungguh ironi.
Gagal Manfaatkan Momentum
Indonesia mengusung target juara di Piala AFF 2022 yang digelar pada 20 Desember 2022 sampai 16 Januari 2023. Perjalanan anak asuh Shin Tae-yong itu tampak beringas di fase grup dengan menumbangkan Kamboja 2-1, Brunei Darussalam 7-0, Filipina 2-1 dan menahan imbang Thailand 1-1.
Kendati demikian, pelbagai catatan dan jalannya permainan pun menjadi sorotan. Salah satu problem Timnas yang membuat banyak pihak geram adalah penyelesaian akhir yang buruk oleh Witan Sulaeman dan kolega selama turnamen berlangsung.
Setidaknya ada belasan peluang emas terbuang percuma di enam pertandingan yang dilakoni Timnas. Di laga menghadapi Kamboja dan Filipina, tampak berulang kali Skuad Garuda gagal mengonversinya menjadi sebuah gol. Padahal, mereka membutuhkan banyak angka untuk bisa bersaing di klasemen grup.
Sementara di pertandingan melawan tim yang lebih kuat lagi, yaitu menghadapi Thailand dan Vietnam, penyakit di depan gawang masih saja kambuh.
Baca Juga: PSSI Resmi Berlakukan Liga 1 Tanpa Degradasi, Liga 2 dan Liga 3 Dihentikan
Hal tersebut diamini oleh Pengamat sepak bola Indonesia, Ronny Pangemanan. Pria yang akrab disapa Bung Ropan itu menyebut salah satu faktor terbesar tereliminasinya Timnas di Piala AFF adalah gagalnya memanfaatkan momentum.
"Padahal Indonesia mendapat kesempatan cukup bagus berlaga di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) melawan Thailand dan Vietnam," kata Ropan saat diwawancarai caritau.com, Kamis (12/1/2023).
Dia menjelaskan, jika Indonesia mengamankan kemenangan di dua laga tersebut, tentu akan menunjukkan hasil berbeda. Seperti halnya melawan Thailand, Indonesia bahkan unggul terlebih dahulu dan unggul jumlah pemain sejak menit ke-57. Namun, Mark Klok cs malah lengah, sehingga gawang Nadeo Argawanita dijebol oleh Sarach Yooyen di sepuluh menit jelang laga berakhir.
"Andai Indonesia menang di pertandingan tersebut, tentu mereka berpeluang besar keluar sebagai Juara Grup A Piala AFF. Dan hal tersebut juga mengubah peta persaingan, di mana Indonesia tidak ketemu terlebih dahulu melawan Vietnam yang notabene menjadi salah satu tim terkuat di Asia Tenggara," papar dia. Pada akhirnya, Indonesia hanya menghuni posisi kedua Grup A dan bersua Vietnam di babak Semifinal.
Sedangkan untuk lawan Vietnam, Indonesia kembali menyia-nyiakan status tuan rumah di leg pertama. Padahal Indonesia sejatinya tampil dominan, sementara The Golden Star Warrior—julukan Vietnam— gagal mengembangkan permainannya di GBK, Jumat (6/1/2023) lalu. Pertandingan sendiri berakhir dengan skor kacamata.
"Hal yang dikhawatirkan pun tercipta, Vietnam berhasil menjalankan taktiknya dengan menahan imbang Timnas di GBK dan meraih kemenangan di Hanoi,"
"Di leg kedua, Vietnam berhasil mencuri gol pada menit-menit awal, yang merupakan strategi Park Hang-seo untuk meruntuhkan mental Timnas. Sementara Indonesia malah kelabakan dan gagal meladeni pressing ketat Timnas Vietnam," tandas Bung Ropan.
Indonesia pun takluk 2-0 atas peraih dua gelar Piala AFF itu. The Golden Star Warrior sukses mencetak gol cepat di masing-masing babak yang berhasil dilesakkan Nguyen Tin Linh (3', 47'). Seandainya Timnas berhasil mengukir kemenangan di GBK, sebut Ropan, Vietnam pastinya memikul beban berat ketika bertindak sebagai tuan rumah.
"Gol cepat yang diperoleh Vietnam membuat permainan mereka sedikit lebih tenang, percaya diri dan pragmatis. Mereka sukses membuat Timnas kita frustasi untuk mengejar ketertinggalan. Gol kedua Nguyen Tien Linh di babak kedua sekaligus membunuh pertandingan tersebut," jelasnya.
Tak hanya itu, dia menyoroti perubahan taktikal yang sangat berisiko oleh Shin Tae-yong. Yakni ketika STY memplot Yakob Sayuri di posisi lini tengah untuk menggantikan Rahmat Irianto, padahal Yakob sejatinya bermain di posisi flank atau sayap.
"Imbasnya Mark Klok berjuang cukup keras dan seperti berjuang sendiri di Hanoi. Sedang Yakob bermain cukup kebingungan dan gagal mengalirkan bola di lini tengah. Padahal, STY bisa saja memasang Syahrian Abimanyu dan Ricky Kambuaya yang notabene pemain tengah sejak menit awal. Tapi itu tidak dilakukan," pungkas dia.
"Selain itu, STY juga tidak berani melakukan rotasi pemain yang mengakibatkan pemain Timnas mengalami kelelahan luar biasa," papar Ropan.
Rapor Merah di Piala AFF
Jika kita membandingkan perjalanan Indonesia di Piala AFF, tentunya kita telah jengah menanyakan kapan Indonesia bisa juara?
Kejuaraan AFF 1996 awalnya bernama Piala Tiger 1996 karena alasan sponsor. Timnas Garuda menjadi satu kontestan di antara sepuluh tim lainnya di turnamen yang berlangsung di Singapura pada tanggal 1 hingga 15 September 1996.
Timnas Indonesia yang dimotori oleh Kurniawan Dwi Yulianto, Robi Darwis hingga Husaini berhasil lolos ke Semifinal, meski harus takluk dari Malaysia di babak tersebut. Adapun Thailand berhasil keluar sebagai juara setelah di partai puncak mengenduskan perlawanan Harimau Malaya dengan skor 1-0.
Awan mendung Timnas makin pekat dua tahun setelahnya. Di mana pada perhelatan Piala Tiger 1998, kiprah Indonesia di ajang internasional tercoreng habis oleh tragedi sepak bola gajah.
Kejadian tersebut tercipta saat Indonesia memainkan laga pamungkas melawan Thailand di Grup A. Kedua tim sejatinya dipastikan lolos, namun sama-sama tak ingin jadi juara grup.
Sebab, keduanya ingin menghindari bertemu dengan tuan rumah Vietnam pada babak Semifinal Piala Tiger 1998. Indonesia akhirnya kalah 2-3 dan gol penentu kemenangan Thailand terjadi karena kesengajaan, yakni gol bunuh diri bek Indonesia, Mursyid Effendi.
Pada akhirnya, Indonesia kembali terhenti di babak semifinal, setelah ditumbangkan oleh Singapura dengan skor 2-1. Singapura pun melaju ke final, dan mengakhiri turnamen dengan juara.
Selepas turnamen, Indonesia dan Thailand sama-sama didenda USD40 ribu oleh FIFA. Sementara Mursyid dihukum seumur hidup dilarang bermain di level internasional.
Kemudian, raihan Indonesia perlahan menanjak seiring berhasilnya Timnas menyentuh partai final di Piala Tiger 2000. Di Semifinal, Skuad Garuda yang berisikan pemain macam Bambang Pamungkas, Gendut Doni Christiawan, Aji Santoso dan lain-lain mengalahkan Vietnam dengan skor 3-2 yang saat itu dilatih oleh Alfred Riedl.
Namun di partai puncak, permainan Indonesia seakan menghilang dan dibabat habis oleh Thailand yang saat itu bertindak sebagai tuan rumah. Hasil 4-1 untuk Tim Elepant War itu menghiasi papan skor.
Di Piala Tiger 2002, Indonesia ditunjuk pihak penyelenggara sebagai tuan rumah bersama Singapura. Hasilnya cukup meyakinkan; Skuad Garuda kembali lolos ke partai final.
Tim asuhan Ivan Kolev itu kembali menjamu Thailand. Pertandingan dilangsungkan di hadapan 100 ribu penonton di Gelora Bung Karno pada tanggal 29 Desember 2002. Misi balas dendam pun disematkan.
Thailand berhasil mencuri dua gol tersebut di babak pertama lewat aksi Chukiat dan Senamuang. Tapi Indonesia berhasil perlahan bangkit dengan mencetak gol lewat aksi Yaris (46') dan Gendut Doni (79'). Bahkan momentum ada di tangan Timnas, seiring diusirnya Chukiat di menit ke-57.
Namun tidak ada gol tambahan yang tercipta di kedua tim, sehingga pertandingan dilanjutkan ke babak tos-tosan. Di babak adu penalti, dua dari empat pemain Timnas gagal menjaringkan si kulit bundar ke gawang The Elephant War, sehingga skor akhir 4-2 (2-2) untuk kemenangan Thailand. Indonesia pun harus puas menjadi runner-up kembali, sedang Thailand sukses meraih trofi ketiganya.
Indonesia kembali meraih runner-up setelah kalah melawan Singapura di laga final Piala Tiger 2004. Tiger Beer yang menjadi sponsor resmi, mengakhiri kerjasamanya dengan konfederasi sepak bola ASEAN, AFF. Sehingga kejuaraan tersebut berganti nama menjadi Piala AFF mulai tahun 2007.
Di momen Piala AFF, Indonesia untuk kali pertama tersingkir di fase grup pada Piala AFF 2007. Setahun berselang, kiprah mereka terhenti di babak semifinal.
Dikecewakan Piala AFF 2010
Timnas Indonesia dilanda demam luar biasa terhadap Tim Merah-Putih pada Piala AFF 2010. Stadion Gelora Bung Karno, yang menggelar enam dari tujuh permainan Timnas selalu terisi penuh oleh laki-laki, wanita, tua-muda, dari berbagai profesi, semuanya disatukan oleh lambang Garuda di dada. Bahkan, presiden Indonesia saat itu, Susilo Bambang Yudhono berbaur dengan masyarakat untuk mendukung Tim besutan Alfred Riedl itu di partai puncak.
Dihuni oleh skuad handal seperti Firman Utina, Zulkifli Sukur, Ahmad Bustomi, hingga pemain keturunan dan naturalisasi, yakni Irfan Bachdim dan Cristian Gonzales tampil cukup memukau dengan menyapu bersih lima pertandingan awal (tiga di fase grup dan dua di Semifinal). Tim yang hebat dan menyihir publik saat itu.
Pada akhirnya, perjalanan Timnas yang mencuri perhatian publik itu, harus bermuara dengan keruh. Indonesia sejatinya melawan Malaysia di final, tim yang pernah mereka bantai di fase Grup. Kendati demikian, prediksi akan merengkuh gelar dengan mudah harus sirna. Ekspektasi yang disematkan oleh banyak pihak terpaksa harus gigit jari, berkat realita tunduk secara agregat di partai final.
Di mana, Gonzales Cs diterkam Harimau Malaya di Bukit Jalil lewat skor telak 3-0. Pertandingan tersebut menjadi sorotan tajam, setelah Markus Haris Maulana meminta panitia pelaksana menghentikan sementara di babak kedua karena serangan laser dari suporter Malaysia.
Setelah momen tersebut, permainan Timnas Garuda tampil antiklimaks. Seolah kehabisan bensin dan janggal, gawang mereka begitu mudah dibobol hingga tiga kali oleh Safee Sali dan kawan-kawan. Sementara di GBK, masyarakat yang berharap penuh bisa meraih kemenangan telak seperti yang mereka ciptakan, tapi hanya bisa merengkuh kemenangan tipis 2-1. Impian Indonesia kembali buyar.
Setelah itu, sepak bola Indonesia dihadapkan oleh sejumlah problematik di dalam negeri. Dualisme di tubuh PSSI dari rentang waktu 2011-2016 berpengaruh pada prestasi Indonesia yang lesu. Di Piala AFF 2012, mereka terhenti di fase grup. Kegagalan tersebut dipicu setelah kebijakan PSSI di bawah kepemimpinan Djohar Arifin, tak memperbolehkan pelatih memboyong pemain dari klub-klub Indonesian Super League (ISL) karena kompetisi tersebut dicap ilegal.
Raihan buruk gagal di babak grup tersebut juga dituruti pada tahun 2014 dan 2018. Sementara di Piala AFF 2016 dan Piala AFF 2020, Indonesia berhasil kembali menyentuh final, tapi lagi dan lagi ditumbangkan oleh Thailand.
Lantas mengapa Indonesia selalu mentok di level-level itu saja? Jika kita beranggapan disebabkan faktor pelatih, sepertinya banyak yang berpendapat bahwa itu keliru. Sebab, Nama-nama juru taktik semacam Ivan Kolev, Peter Withe, Wim Rijsbergen, Luis Milla, Alfred Riedl, hingga Shin Tae-yong bukanlah pelatih sembarangan di level internasional.
Mereka sukses menghadiahkan gelar juara dan meramu skuad dengan baik di tim-tim sebelumnya. Namun mengapa di Timnas Indonesia, sentuhan mereka terasa berbeda dan takdir begitu runyam?
STY Dinilai Cukup Baik, Lantas Salah Siapa?
Gagal di Kualifikasi Piala Dunia 2022 bersama Pelatih Simon McMenemy, membuat PSSI mengambil langkah cepat. PSSI langsung mendepak Eks Pelatih Bhayangkara itu dan menunjuk Bima Sakti menjadi karataker sementara.
Bima Sakti pun sempat menukangi Timnas di Piala AFF 2018, akan tetapi Indonesia pulang terlalu dini setelah tersingkir di fase grup. Hingga pada akhirnya, PSSI menunjuk Mantan Pelatih Korea Selatan di Piala Dunia 2018, Shin Tae-yong. Dia diresmikan ke publik pada 28 Desember 2019 silam.
Kehadiran Shin Tae-yong diharapkan membawa Timnas bermain lebih baik lagi. Dengan segudang pengalaman dan reputasinya, STY dihadapkan pekerjaan teramat berat. Dia dibebankan federasi menukangi tiga kelompok umur sekaligus, yakni Timnas Indonesia U-20, U-23 dan Senior.
Tapi, kondisi kalut datang menerpa dunia, termasuk kondisi pesepakbolaan di Indonesia. Di mana pada Maret 2020, Covid-19 mulai merebak hebat di dalam negeri, sehingga berefek besar kepada segala lini kehidupan.
Kondisi ini pun terasa bagi Indonesia, di mana STY yang baru menanamkan filosofi permainannya ke Skuad Garuda, malah harus tertunda dan penuh tantangan.
Praktis di tahun 2020, hampir tidak ada turnamen yang dilakoni Timnas. Sehingga publik tidak mengetahui secara pasti progres yang diperjuangkan oleh pelatih berusia 52 tahun itu.
Namun di tahun 2021, kinerja Shin Tae-yong di Indonesia perlahan menunjukkan tren positif. Skuad Garuda berhasil menunjukkan permainan ciamik saat menjadi runner-up Piala AFF 2020.
Tak hanya itu, dia juga berhasil membawa Timnas lolos ke Piala Asia 2022 Qatar, setelah lolos lewat kualifikasi. Sedangkan di kelompok umur lainnya, STY membawa Indonesia lolos ke Piala Asia U-20 Uzbekistan.
Namun, perjuangan STY bukan tanpa cela. Di mana sejumlah kompetisi dinilai gagal memenuhi ekspektasi. Seperti halnya, di Piala AFF U-19, langkah Hokky Cakara terhenti di fase grup.
Kemudian, Indonesia juga gagal mendulang emas setelah hanya meraih perunggu di Sea Games 2021 Vietnam. Shin Tae-yong juga gagal mengantarkan Timnas Indonesia untuk melaju ke putaran final Piala Asia U-23 2022. Garuda Muda disingkirkan Australia dalam laga yang berlangsung di Tajikistan.
Teranyar, kegagalan Timnas di Piala AFF 2022 turut ditanggapi oleh masyarakat Indonesia. Tagar #STYout pun menggema di media sosial menyoroti permainan Indonesia yang dinilai menurun. Namun masih banyak di antara pencinta maupun suporter Indonesia yang berharap Shin tetap bertahan menukangi Skuad Garuda.
"Perlu ditekankan, kita patut mengapresiasi STY karena beliau sukses membawa perubahan bagi Timnas, kendati segala permasalahan yang ada di tubuh sepak bola Indonesia," ungkap Bung Ropan.
Ropan menyebut, memang ada tren penurunan Timnas Indonesia senior di Piala AFF 2022 dengan Piala AFF 2020. Dia melanjutkan, ada dua faktor utama yang membuat permainan Asnawi dan kolega menurun.
"Faktor pertama yaitu beban moril yang berbeda. Di mana pada Piala AFF 2020, Indonesia bermain tanpa beban karena tidak dipatok target tinggi dan tidak begitu diunggulkan. Sehingga pemain Indonesia yang berisikan pemain-pemain muda, mampu tampil lepas dan menyentuh pertandingan final.
"Sedangkan di Piala AFF 2022, masyarakat Indonesia dan federasi mulai mematok target tinggi yaitu juara. Perbedaan komposisi tim juga berpengaruh, di mana mulai berdatangan pemain-pemain naturalisasi seperti Mark Klok dan Jordi Amat. Hingga adanya penurunan permainan dari Asnawi, Witan, Kambuaya dan Pratama Arhan yang di turnamen sebelumnya menjadi pilar penting," jelas Ropan.
Adapun faktor kedua ialah buruknya tatanan kompetisi di tanah air. Hal ini bisa kita lihat, setelah kompetisi liga di Indonesia selalu runyam, asal-asalan, serta sarat kepentingan.Puncaknya pada tragedi di Kanjuruhan beberapa waktu terakhir, yang menjadi potret kelam pengelolaan sepak bola di negeri ini.
"Kompetisi dan pengelolaan yang baik akan menghasilkan Timnas yang baik," paparnya.
Dia berpesan, agar PSSI dan masyarakat tidak mengkambing-hitamkan Shin Tae-yong di kegagalan Timnas kali ini. Ropan berharap STY terus dipercaya menjadi pelatih Timnas ke depannya dan perubahan besar di iklim sepak bola Indonesia.
"Menurut saya, kegagalan Timnas bukan sepenuhnya salah STY. Dia telah berjuang keras meracik dan membuat pakem permainan di Timnas, meskipun anak asuhnya gagal menjalankan strateginya," kata dia.
"STY jangan sampai dicopot. Karena sehebat apapun pelatihnya, tidak ada yang bisa menghasilkan secara instan. Butuh proses," pungkas dia.
Dan Selanjutnya...
Kegagalan Indonesia di Piala AFF 2022 menambah rentetan buruk Indonesia akhir-akhir ini. Kendati demikian, kegagalan Timnas mesti dibenahi secepatnya, karena begitu banyaknya kompetisi internasional yang dilakoni Indonesia di tahun 2023.
Sebab di tahun ini, Indonesia bakal mengikuti turnamen bergengsi lainnya, yaitu Piala Asia U-23 Uzbekistan (1-18 Maret), Sea Games 2023 Cambodia (5-17 Mei), FIFA U-20 World Cup 2023 Indonesia (20 Mei-11 Juni), Piala Asia 2023 Qatar (16 Juni-16 Juli), Asian Games 2022 China (23 September-8 Oktober), FIFA Matchday dan FIFA World Cup Qualification First Round.
Padatnya agenda Timnas membuat suara di tengah suporter mengeruak, di mana perlu adanya evaluasi menyeluruh di setiap lini pesepakbolaan di dalam negeri. Jika tidak, dikhawatirkan Skuad Garuda hanya menjadi pelengkap turnamen saja.
"Tentu mesti ada pembenahan besar-besaran, terkhusus di federasi. Maka, manfaatkanlah Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI yang bakal dihelat mulai Januari ini," sebut Bung Ropan.
Ke depannya, Ropan berharap akan ada orang-orang yang mulai serius membenahi iklim olahraga si kulit bundar itu di Indonesia.
"Yaitu orang-orang yang siap bertarung habis-habisan untuk menciptakan prestasi untuk negeri, bukan orang yang mencari makan dan modal besar di sepak bola. Semoga Ketum PSSI selanjutnya bisa mewujudkan semua itu.
"Harapan kita ialah di masa yang akan datang, kompetisi dan pembinaan segala kelompok umur sepak bola di Indonesia ditata dengan rapi. Hal ini bisa bercermin pada negara tetangga, seperti Thailand yang liganya berjalan kondusif. Atau belajar ke penyelenggaraan kompetisi di negara-negara maju, seperti Jepang atau Inggris," papar dia.
Baca Juga: Sejumlah Pihak dan Klub Soroti Penghentian Liga 2, Pemilik Bekasi FC Atta Halilintar: Kapok!
Terakhir, Ropan menuturkan bahwa sudah selayaknya Timnas memiliki tempat Training Center, agar setiap TC yang dilakukan STY dan anak asuhnya bisa berjalan kondusif, fokus dan terarah.
"Dan untuk federasi, semoga mereka punya kantor tersendiri. Masa PSSI menjadi satu-satunya federasi sepak bola di dunia yang tak punya kantor? Malulah, sebab sepak bola merupakan olahraga terbesar di Indonesia lho," tutup dia. (Rahma Dhoni)
Baca Juga: Agrentina Menutup 2023 Jadi Nomor Satu di Rangking FIFA, Indonesia Naik ke Posisi 146
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...