CARITAU MAKASSAR – Kasus dugaan mafia tanah kegiatan pembayaran ganti rugi lahan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo tahun anggaran 2021 terus dikebut penyidik Kejati Sulsel.
Sejauh ini, penyidik Kejati Sulsel sudah melakukan pemeriksaan terhadap 35 orang saksi dalam kasus tersebut. Mereka terdiri dari masyarakat, kepala desa, dan juga pihak BPN.
Baca Juga: Peran Enam Tersangka Korupsi Mafia Tanah Bendungan Paselloreng Wajo yang Diresmikan Jokowi
Kepala Seksi Penerangan Hukum (Kasi Penkum) Kejati Sulsel, Soetarmi saat dikonfirmasi terkait perkembangan kasus ini mengatakan, penetapan tersangka akan disampaikan lewat konferensi pers nantinya.
"Belum ada saya koordinasikan ke penyidiknya (perkembangan kasus ini). Nanti kami rilis kalau sudah ada penetapan tersangkanya," ungkapnya, Rabu (26/7/2023).
Kata dia, pihaknya masih terus bekerja mengumpulkan sejumlah alat bukti sebelum dilakukan penetapan tersangka. Kejati Sulsel juga disebut akan transparan dalam pengungkapan kasus ini.
"Kita masih pendalaman bukti-bukit, nanti setelah jelas siapa pelaku dan tersangka kita rilis. Kita tidak sembunyi, intinya kami masi sementara bekerja," ujarnya.
Terkait dugaan keterlibatan dua kades dan sejumlah oknum BPN di kasus ini, mengingat mereka memiliki peran penting dalam pembuatan sertifikat sebagaimana yang diklaim warga, kata Soetarmi masih terus didalami.
"Sementara ini kita periksa mereka sebagai sebagai saksi dulu, kita pelajari sejauh mana keterlibatannya. Intinya semua yang kita periksa masih berstatus saksi," terangnya.
Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Sulsel, Leonard Eben Ezer Simanjuntak sebelumnya mengultimatum pihak-pihak yang terlibat baik sejak tahap perencanaan hingga pada tahap pelaksanaan kegiatan pembebasan lahan pembangunan Bendungan Paselloreng di Kabupaten Wajo untuk tidak mencoba melarikan diri.
Apalagi menghilangkan alat bukti dan bersikap kooperatif dalam memenuhi panggilan pemeriksaan nantinya.
“Panggilan akan terus meluncur kepada pihak-pihak yang akan dipanggil secara kooperatif untuk melaksanakan pemeriksaan oleh Tim Penyidik Kejati Sulsel,” pesan Leonard sebelumnya.
Dia juga mengimbau kepada pihak-pihak yang diperiksa nantinya baik dalam kasus Bendungan Paselloreng maupun kasus-kasus lainnya, agar tidak mempercayai adanya oknum-oknum yang mengatasnamakan pejabat Kejaksaan Tinggi atau Kejaksaan Negeri atau Jaksa yang mencoba ingin membantu dalam penyelesaian perkara.
“Saya minta itu tidak. Jadi tolong teman-teman menyampaikan ini, saya khawatir ada oknum-oknum atau orang-orang lain yang mencoba-coba bermain di atas kuda terhadap penanganan perkara korupsi,” tuturnya.
Selama Kejati Sulsel di bawah kepemimpinannya disebut akan bertindak secara profesional, proporsional dan akuntabel dalam penanganan perkara baik sejak tahap penyelidikan, penyidikan hingga penuntutan.
“Kalaupun ada penanganan-penanganan perkara yang masih dalam tahap persidangan seperti kemarin kasus pasir laut, kita kan melihat perkaranya berjalan persidangan dan akan terus mempelajari dan kalau memang memungkinan ada dua alat bukti, kita tetapkan tersangka," pungkasnya.
Adapun kasus ini bermula pada Tahun 2015 lalu, saat itu Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Pompengan Jeneberang akan melaksanakan pembangunan fisik Bendungan Paselloreng di Kecamatan Gilireng, Kabupaten Wajo.
Penetapan lokasi atau tanah untuk pembagunan bendungan pun disetujui Gubernur Sulsel dengan mengeluarkan surat Keputusan Penetapan Lokasi Pengadaan Tanah Pembangunan Bendungan Paselloreng.
Namun dalam proses itu, ternyata lokasi atau tanah untuk pembangunan Bendungan Paselloreng masih masuk dalam kawasan Hutan Produksi Tetap (HPT) Lapaiepa dan Lapantungo yang terletak di Desa Paselloreng, Kabupaten Wajo. Atau lokasi yang telah ditunjuk oleh pemerintah itu masuk bersatu kawasan HPT.
Karena untuk kepentingan pembangunan bendungan, maka dilakukan lah proses perubahan status kawasan hutan dalam rangka Review Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) Sulsel. Dan pada tanggal 28 Mei 2019, terbitlah Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesian, nomor: SK.362/MENLHK/SETEN/PLA.0/5/2019, tentang perubahan kawasan hutan menjadi bukan hutan kawasan hutan seluas +91.337 hektar, perubahan fungsi kawasan hutan seluas + 84.032 hektar dan penunjukan bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan seluas + 1.838 hektar di Provinsi Sulsel.
Setelah dikeluarkan lokasi tersebut dari statusnya sebagai kawasan hutan produksi tetap dan akan dibangun Bendungan Paselloreng, tiba-tiba ada oknum yang memerintahkan beberapa honorer di Kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Wajo untuk membuat Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah (Sporadik) secara kolektif sebanyak 246 bidang tanah pada 15 April 2021 lalu.
Sporadik tersebut kemudian diserahkan kepada masyarakat dan Kepala Desa Paselloreng dan Kepala Desa Arajang untuk ditandatangani. Sehingga dengan sporadik itu seolah-olah masyarakat telah menguasai tanah tersebut atas nama pribadi, padahal diketahui bahwa tanah yang dimaksud adalah kawasan hutan yang statusnya baru saja diubah.
"Sebanyak 246 bidang tanah kemudian dinyatakan telah memenuhi syarat untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian oleh satgas A dan Satgas B yang dibentuk dalam rangka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tersebut," jelas Leonard saat mengekspose kasus ini.
Leonard juga mengatakan, bahwa berdasarkan foto citra satelit yang dikeluarkan pada Tahun 2015 lalu oleh Badan Informasi Geospasial (BIG), tampak lokasi tersebut sebelumnya masih berstatus kawasan Hutan Produksi Tetap dan bukan merupakan tanah garapan sebagaimana klaim masyarakat.
"Dengan demikian lahan tersebut tidak termasuk dalam kategori sebagai lahan garapan sebagaimana ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan," katanya.
Dengan begitu Tim Kejati Sulsel melalui Satgas A dan Satgas B menyatakan 246 bidang tanah yang dimaksud telah memenuhi syarat untuk dilakukan pembayaran ganti kerugian, hal itu selanjutnya dituangkan dalam Daftar Nominatif Pengadaan Tanah Bendungan Paselloreng yang berikutnya diserahkan kepada Konsultan Jasa Penilai Publik (KJPP) untuk dinilai baik harga tanahnya, tanaman, jenis serta jumlahnya.
"Namun dalam pelaksanaannya KJPP yang ditunjuk hanya menilai harga tanah dan tidak melakukan verifikasi jenis dan jumlah tanaman tetapi hanya berdasarkan sampel," terangnya.
Berdasarkan hasil penilaian harga tanah dan tanaman tersebut, BBWS Pompengan kemudian meminta LMAN (Lembaga Manajemen Aset Negara) Kementerian Keuangan sebagai lembaga yang membiayai pengadaan tanah itu. LMAN melakukan pembayaran terhadap bidang tanah sebanyak 241 bidang tanah seLuas 70,958 Ha dengan total pembayaran sebesar Rp75.638.790.623.
"Karena 241 bidang tanah tersebut merupakan eks kawasan hutan produksi tetap yang merupakan tanah negara dan tidak dapat dikategorikan sebagai lahan atau tanah garapan, maka pembayaran 241 bidang tanah telah berpotensi merugikan keuangan negara sebesar Rp75.638.790.623," ujarnya.
"Karena pengadaan tanah yang berstatus kawasan hutan, instansi yang memerlukan tanah cukup mengajukan permohonan pelepasan status kawasan melalui Gubernur kepada Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan," pungkasnya. (KEK)
kejati sulsel mafia tanah bendungan paselloreng wajo sulawesi selatan hukum
PMJAK Desak Bawaslu DKI Tindaklanjuti Soal Dana Ka...
Yuks Ramaikan Kampanye Akbar Andalan Hati di GOR S...
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...
GKJ Pererat Hubungan dengan Warga Melalui Jumat Be...
Demi Kepentingan Kaum Betawi, RK dan Eki Pitung Se...