CARITAU OPINI – Konflik agraria yang mendera Pulau Rempang, Batam, bukan hanya menjadi sorotan nasional, tetapi juga mengguncangkan janji-janji Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang pernah diucapkan dalam kampanye Pilpres 2019.
Dalam konflik yang mempertaruhkan nasib ribuan warga Kampung Tua, janji untuk memberikan sertifikasi tanah dalam waktu tiga bulan ternyata belum terlaksana sepenuhnya.
Baca Juga: Sidang Vonis Kasus Kerusuhan Tolak Relokasi Pulau Rempang
Masyarakat yang telah turun-temurun bermukim di Pulau Rempang sejak zaman kemerdekaan Indonesia kini terlibat dalam pertarungan sengit untuk mempertahankan hak atas tanah mereka.
Konflik agraria yang menghantam Pulau Rempang menjadi bukti nyata dari janji yang hancur dan kekecewaan yang mendalam terhadap kebijakan rezim saat ini.
Presiden Joko Widodo (Jokowi), saat berada di atas panggung kampanye Pilpres 2019, dengan yakin berjanji untuk memberikan sertifikasi tanah kepada Kampung Tua dalam tiga bulan.
Tetapi sekarang, tiga tahun berlalu, janji itu hanyalah kenangan yang tenggelam dalam derasnya arus politik. Masyarakat Pulau Rempang yang telah berjuang untuk hak-hak mereka merasa dikhianati oleh pemimpin mereka, alih-alih menepati janji sekarang malah mau di relokasi
Pelajaran bagi Calon Pemimpin Masa Depan: Pemenuhan Janji Politik
Dengan adanya kejadian ini muncul pertanyaan, bagaimana dengan bakal calon presiden yang pro berkelanjutan atas program - program atau proyek - proyek yang di inisiasi oleh rezim ini "Apakah masih berani berdiri di depan dan bangga menjadi penerus program-program rezim ini?"
Dalam konteks politik, kasus Pulau Rempang juga harus menjadi peringatan bagi pemimpin masa depan. Masyarakat memiliki hak untuk menuntut pemenuhan janji-janji politik.
Ini harus menjadi peringatan bagi calon-calon presiden masa depan bahwa janji-janji politik harus dihormati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh.
Tidak boleh ada janji yang terlupakan atau dikhianati begitu mudah. Pertanggungjawaban adalah bagian dari integritas kepemimpinan yang kuat, dan rakyat berhak menuntutnya.
Perlindungan Hak-Hak Masyarakat Pribumi dalam Kasus Konflik Agraria
Investasi asing yang mendukung Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City memunculkan pertanyaan tentang siapa yang sebenarnya akan mendapatkan manfaat dari pembangunan tersebut.
Warga lokal yang merasa terpinggirkan menuntut hak-hak mereka, sementara perusahaan swasta dan pemerintah pusat mengejar kepentingan ekonomi yang besar.
Seiring dengan perkembangan Pulau Rempang sebagai tujuan investasi dan proyek pembangunan, masyarakat Kampung Tua merasa terancam.
Mereka khawatir bahwa proyek tersebut akan menggusur mereka dari tanah leluhur mereka, menghilangkan sumber mata pencaharian tradisional, dan menghancurkan ikatan sosial yang telah terjalin selama puluhan tahun.
Bagi warga Kampung Tua, tanah bukan sekadar properti atau aset, melainkan bagian integral dari identitas dan sejarah mereka. Mereka telah melewati generasi-generasi yang menjaga, merawat, dan menghormati tanah ini.
Oleh karena itu, konflik agraria ini tidak hanya menjadi pertarungan hukum atau bisnis, tetapi juga pertarungan untuk mempertahankan akar sejarah dan warisan budaya yang mereka anut.
Masyarakat Pulau Rempang bukan hanya berjuang untuk hak atas tanah mereka, tetapi juga untuk menghormati kebijakan yang mendukung dan melindungi hak-hak masyarakat pribumi di seluruh negeri ini. Konflik agraria ini menjadi cerminan tentang bagaimana kebijakan dan janji-janji politik harus melindungi dan menghormati hak kepemilikan dan hubungan emosional yang kuat yang dimiliki oleh masyarakat dengan tanah turun temurun mereka.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, mencerminkan ketidaksepakatan antara janji-janji politik dan kenyataan yang dihadapi oleh ribuan warga Kampung Tua. Meskipun Presiden Joko Widodo (Jokowi) berjanji untuk memberikan sertifikasi tanah dalam waktu tiga bulan, janji tersebut belum sepenuhnya terpenuhi, dan masyarakat terus berjuang untuk mempertahankan hak mereka.
Konflik ini juga mengungkapkan dampak negatif dari investasi asing dalam Proyek Strategis Nasional Rempang Eco City, yang mengancam hak-hak masyarakat lokal dan ikatan sosial yang telah terjalin selama puluhan tahun.
Dalam konteks politik, kasus Pulau Rempang juga harus menjadi peringatan bagi calon pemimpin masa depan dalam konteks kasus Konflik Agraria di Pulau Rempang, Batam, dan masalah serupa adalah sebagai berikut
Pertama,Pemimpin politik, termasuk calon presiden masa depan, harus menghormati dan melaksanakan janji-janji politik dengan sungguh-sungguh. Pertanggungjawaban adalah bagian integral dari integritas kepemimpinan yang kuat, dan rakyat berhak menuntut pemenuhan janji-janji tersebut.
Kedua, Melindungi Hak-Hak Masyarakat Pribumi, Kebijakan dan peraturan harus dirancang untuk melindungi hak kepemilikan dan hubungan emosional masyarakat dengan tanah turun temurun mereka. Ini harus menjadi peringatan bagi pemerintah untuk menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat pribumi di seluruh negeri.
Ketiga, Konsultasi dan Partisipasi Masyarakat, Dalam proyek-proyek besar seperti Rempang Eco City, konsultasi yang inklusif dan partisipasi masyarakat lokal harus diutamakan. Calon pemimpin harus mempromosikan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Ini mencakup mengadakan konsultasi publik, mendengarkan masukan dari warga, dan melibatkan mereka dalam pembuatan kebijakan yang memengaruhi kehidupan mereka.
Keempat, Calon pemimpin harus berkomitmen untuk melindungi lingkungan alam dan mendorong pembangunan berkelanjutan. Ini mencakup mengambil langkah-langkah untuk mengurangi dampak perubahan iklim, menjaga keanekaragaman hayati, dan mempromosikan energi bersih. Dan juga Pelestarian Warisan Budaya karena Tanah bukan hanya properti atau aset, tetapi juga bagian integral dari identitas dan sejarah masyarakat. Pelestarian warisan budaya dan ikatan emosional dengan tanah harus menjadi prioritas dalam pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pembangunan dan investasi.
Konflik agraria di Pulau Rempang adalah peringatan penting bahwa janji-janji politik harus dihormati dan dilaksanakan dengan sungguh-sungguh untuk memastikan keadilan dan perlindungan hak-hak masyarakat. Selain itu, investasi dan pembangunan harus memperhitungkan dampak sosial dan budaya yang mungkin terjadi, dan harus mencari solusi yang adil bagi semua pihak yang terlibat.
Penulis: Achmad Nur Hidayat, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta
Artikel penulis tidak mewakili pandangan dari caritau.com
Baca Juga: Aksi Solidaritas Warga Asli Pulau Rempang Tolak Direlokasi
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024