CARITAU JAKARTA – Pada Minggu 1 Oktober 2023, Tragedi Kanjuruhan telah berjalan satu tahun. Duka mendalam masih terasa menyayat di hati para korban dan keluarganya karena jalan menuju keadilan masih terjal.
"Kami datang ke sini bukan meminta anak saya (hidup) kembali, karena itu mustahil. Kami datang untuk menuntut keadilan," kata Cholifatul Nur, selaku keluarga korban yang mendatangi Markas Besar (Mabes) Polri, di Jakarta, Rabu (27/9/2023).
Baca Juga: Duel Empat Besar, Bali United Harapkan Dukungan Suporter untuk Kalahkan PSIS Semarang
Sebelumnya, puluhan keluarga korban itu menyambangi sejumlah tempat di Jakarta untuk meraih keadilan dan pengusutan tuntas Tragedi Kanjuruhan yang menewaskan 135 orang. Mereka mendatangi Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan DPR RI.
Koordinator Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK), Imam Hidayat mengatakan, begitu banyak kejanggalan-kejanggalan yang tercipta dalam penyelesaian kasus nomor dua paling mematikan di sepak bola dunia itu.
Imam menyoroti beragam hal, mulai proses rekontruksi, berita acara pemeriksaan (BAP) yang tidak ada, penghentian penyidikan, hingga proses persidangan.
Hal tersebut yang membuat dirinya bersama 46 keluarga korban dan sejumlah organisasi lainnya, seperti Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dan PP Muhammadiyah kembali menyambangi Mabes Polri.
"Kita akan membuat laporan ya. Laporan polisi terhadap korban tragedi kanjuruhan yang sampai ini hari belum mendapatkan rasa keadilan. Ini para keluarga korban yang datang dari Malang semua," kata Imam.
Perkara yang dilaporkan terkait Pasal 251, Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan. Imam yakin, pasal tersebut bisa mengobat perasaan para korban, mengingat di persidangan sebelumnya, hanya beberapa pelaku yang dijerat dan hanya dihukum ringan.
"Kami juga melapor soal penganiayaan perempuan dan anak. Pokoknya kami melaporkan pasal yang bisa memberi keadilan bagi keluarga korban," terang dia.
Sementara itu, Koordinator Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pos Malang, Daniel, menjelaskan siapa saja yang menjadi terlapor di laporan tersebut.
"Terlapornya terdiri dari tiga level, yakni mantan Kapolda Jawa Timur Irjen Nico Afinta, mantan Kapolres Malang AKBP Ferli Hidayat dan sejumlah operator penembak gas air mata," ucap Daniel.
Koordinator Tim Advokasi Tragedi Kanjuruhan (TATAK), Imam Hidayat saat mendampingi keluarga korban untuk membuat laporan ke Bareskrim Mabes Polri, Rabu (27/9/2023). (CARITAU - DONI)
Devi Athok Yulfitri (44), ayah kandung dari dua gadis yang menjadi korban meninggal dunia Tragedi Kanjuruhan atas nama NVR (16 tahun) dan NDA (13 tahun), masih berusaha tegar untuk menjelaskan alasan dirinya mencari keadilan hingga ke Ibu kota.
Sebelum melapor ke Bareskrim, dirinya diketahui menjadi pelapor di Polres Malang. Namun, laporan tersebut ditolak kepolisian dengan alasan Tragedi Kanjuruhan terjadi karena tawuran antar suporter, bukan karena gas air mata.
"Dari 20 penyidik dari kepolisian, mereka sepakat untuk menghentikan penyidikan karena tidak sesuai dengan Pasal 338 dan Pasal 340 KUHP. Kayaknya lucu. Semua korban yang meninggal karena gas air mata. Tapi mereka berpatokan pada autopsi jenazah. Mereka bersikukuh bahwa meninggalnya para kroban karena terinjak-injak di pintu tribun," kata Devi dalam diskusi publik bertajuk 'Peringatan Satu Tahun Tragedi Kanjuruhan: Gas Air Mata Bukan Solusi Mengatasi Aksi/Huru-hara Warga' yang digelar di Hotel Akmani, Jakarta Pusat, Senin (25/9/2023).
Hal itu menurutnya sangat menciderai kenyataan. Apalagi saksi-saksi ahli yang diajukan polisi menyatakan bahwa gas air mata sangat tidak berbahaya.
Seperti diketahui, Polres Malang telah menyatakan bahwa hasil gelar perkara Laporan Model B Tragedi Kanjuruhan belum memenuhi pasal pembunuhan dan pembunuhan berencana. Keputusan ini ditetapkan pada Jumat 8 September 2023.
Selain itu, Devi mengaku mendapatkan intimidasi dari Polres Malang. Dia juga mempertanyakan mengapa LPSK tidak dilibatkan dalam melakukan sidang gelar perkara khusus terhadap laporannya di Polres Malang.
Devi juga menolak dengan tegas renovasi Stadion Kanjuruhan, mengingat stadion tersebut harus dipertahankan bentuknya seusai kejadian, sebelum penyelesaian kasus bisa dikatakan benar-benar rampung.
"Beberapa waktu yang lalu, renovasi di Kanjuruhan dilakukan. Ini konspirasi. Mereka Polres Malang tidak mau mengungkap seluruh kejahatan," katanya.
Devi sempat mengajukan ekshumasi atau membongkar makam dan autopsi mayat kedua putrinya. Tujuannya membuktikan jika korban Tragedi Kanjuruhan sesak dan terpapar gas air mata. Namun dia kecewa dengan hasil tim dokter forensik yang melakukan autopsi. Pasalnya, mereka menyebut bahwa keduanya meninggal karena pukulan dan terinjak-injak.
"Selain itu, banyak juga hal yang luput menjadi perhatian. Kami tidak mendapat asuransi dari tiket pertandingan. Harusnya kan tiket kita beli, kita ingin melihat dengan keamanan, tapi mengapa harus terjadi begitu. Dan pihak polisi pun dengan enteng menyebut menembakkan gas air mata karena Aremania anarkis? Tapi seharusnya penembak yang brutal menembak ke Tribun itu menjadi tersangka," ucapnya.
Devi mengatakan, selama kasus Tragedi Kanjuruhan tidak benar-benar diselesaikan, kasus tersebut akan terus menjadi bayang-bayang buruk di sepak bola maupun pihak kepolisian di Indonesia. Sebab masih banyak kasus-kasus serupa yang tercipta selepas Tragedi Kanjuruhan, seperti halnya penembakan gas air mata ke suporter PSIS Semarang pada Februari lalu.
"Dan kejadian ini nyatanya tidak berhenti. Terjadi juga di Semarang. Ini terus-terus aja dilakukan, karena penanganan Kanjuruhan tidak dilakukan dengan semaksimal mungkin. Ini kan kepolisian tidak mau belajar," katanya.
Senada dengan pernyataan Devi, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan Tragedi Kanjuruhan adalah contoh tragis yang menunjukkan bahaya penembakan gas air mata dalam menangani kerumunan sehingga dapat mengakibatkan cedera serius atau kematian bagi warga sipil.
“Tidak ada perubahan berarti sejak tragedi mengerikan itu. Bandung 14 Agustus, Rempang 7 September. Tidak ada proses pembelajaran. Aparat keamanan masih represif ketika menghadapi warga yang protes, warga yang keberatan dengan kebijakan negara, atau warga yang memiliki pandangan berbeda dengan penguasa,“ jelas Usman.
Dia menuturkan, apa yang terjadi di Stadion Kanjuruhan setahun yang lalu menunjukkan pendekatan aparat keamanan di Indonesia cenderung menggunakan gas air mata sebagai solusi utama dalam mengendalikan situasi.
“Gas air mata seakan menjadi jawaban utama aparat untuk menghadapi warga, kapanpun dan di manapun. Proses hukum yang telah berlangsung terhadap peristiwa semacam ini menimbulkan pertanyaan besar tentang komitmen negara dalam menegakkan keadilan,” tambahnya.
Sementara itu, Cholifatul Nur, Ibu kandung dari korban JFY (15 tahun), juga mengaku kecewa berat dengan keluarnya Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) di Polres Malang.
Cholifatul mengatakan, tanpa adanya keterbukaan dan keterangan khusus terkait bukti-bukti yang diserahkan pihak pelapor, menandakan miskinnya keadilan di negeri ini.
Warga melakukan aksi damai memperingati satu tahun Tragedi Kanjuruhan di Tugu Pal Putih Yogyakarta, Minggu (1/10/2023). (ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko/nz/aa. (Antara Foto/Andreas Fitri Atmoko)
Sebenarnya Tim Gabungan Independen Pencari Fakta (TGIPF) Tragedi Kanjuruhan yang ditunjuk Presiden Joko Widodo telah memberi sembilan rekomendasi untuk menyelesaikan kasus tersebut.
Sembilan rekomendasi di antaranya adalah polisi telah menggunakan kekuatan berlebihan dan menggunakan gas air mata secara membabi buta, manajemen stadion yang buruk, langkah-langkah keamanan dan keselamatan yang tidak memadai, PSSI yang dianggap mengabaikan aturan, serta kurangnya koordinasi antar pihak berwenang.
Polda Jawa Timur juga telah menetapkan enam orang tersangka dalam kasus tersebut. Mereka adalah Direktur Utama PT Liga Indonesia Baru (PT LIB) Akhmad Hadian Lukita; Ketua Panitia Pelaksana Pertandingan Arema FC Abdul Haris; Security Officer Arema FC, Suko Sutrisno; Danki 1 Brimob Polda Jatim AKP Hasdarmawan; Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi; dan Kepala Bagian (Kabag) Ops Polres Malang Komisaris Wahyu Setyo Pranoto.
Tak lama kemudian, Pengadilan Negeri (PN) Surabaya menggelar sidang kasus Tragedi Kanjuruhan. Dan tentu saja menjadi sorotan publik, mengingat persidangan dinilai berjalan secara asal-asalan dan tidak memberi rasa keadilan untuk masyarakat.
Imam Hidayat, selaku pengacara korban mengingat kembali jalannya proses persidangan. Dia menduga, persidangan tersebut sangat dipaksakan, serta adanya pembiaran yang dilakukan majelis hakim ketika memberi keleluasaan bagi tersangka.
"Kemudian pada proses persidangan, anggota polisi yang dinyatakan bersalah masa didampingi Bidkum? Mana boleh? Kecuali mereka adalah lembaga seperti Polres dan Polri. Sambo (Ferdi Sambo) pas sidang tidak ada didampingi Bidkum, begitupun Teddy Minahasa yang jelas-jelas keduanya memiliki kedudukan yang lebih kuat dari tersangka di Tragedi Kanjuruhan," kata dia.
Hingga pada akhirnya, Majelis PN Surabaya menjatuhkan vonis 1 tahun dan enam bulan penjara kepada Ketua Panpel Arema FC, Abdul Haris dan setahun penjara terhadap kepala keamanan Suko Sutrisno. Komandan Kompi Brimob Polda Jatim Hasdarmawan divonis 1,5 tahun penjara.
Sedangkan Kasat Samapta Polres Malang AKP Bambang Sidik Achmadi dan Kabag Ops Polres Malang, Wahyu Setyo Pranoto divonis bebas di PN Surabaya dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur. Tingkat kasasi, Sidik divonis 2 tahun dan Wahyu 2,5 tahun.
Kendati demikian, hanya lima dari enam tersangka yang berhasil diseret ke pengadilan. Hingga saat ini, tak ada kabar soal nasib berkas Akhmad Hadian Lukita.
Menurut Imam, persidangan berjalan cepat dan tidak mempertimbangkan beberapa gugatan yang diajukan pihaknya.
"Setiap pengadilan, gugatan yang diajukan mesti diterima. Kita bicara unsur ya, sidang harus melibatkan ahli, makanya pada waktu akhir saya meminta untuk menampilkan saksi ahli. Tapi kan, kemudian sidang diselesaikan. Karena apa, sidang tersebut diset untuk mengejar target renovasi stadion. Gak lama kemudian, stadion yang merupakan TKP malah dibongkar. Ada upaya penghapusan tanggung jawab di situ," terangnya.
Imam juga menjelaskan, apa yang dilakukan pihak kepolisian dalam proses penyelidikan mengarah ke Pasal 338 KUHP. Di mana, pasal tersebut menyebut 'Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana lebih dulu merampas orang lain, diancam karena pembunuhan berencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun'.
"Karena dalam beberapa potongan video dan barang bukti, telah terbukti bahwa anggota Brimob itu menembak gas air mata ke Tribun 10,11, 12. Tidak melulu di tribun 13. Dan ditegaskan, bahwa meninggalnya itu tidak terinjak-injak. Dan semua saksi itu, semua menguatkan bahwa kematian korban wajahnya rata-rata memerah dan membiru," kata Imam.
Saat rekonstruksi digelar, lanjut Imam, tidak transparan dan tidak melibatkan saksi korban, saksi penasihat hukum, maupun masyarakat. "Rekontruksi pun tidak digelar di TKP, malah di lapangan Mapolda," tandasnya.
Bahkan, ungkap Imam, aparat penegak hukum berupaya untuk meredam pengusutan kembali Tragedi Kanjuruhan. Dia menyebut pihak kepolisian bahkan melakukan sejumlah program seperti Jumat Berkah dan mengiming-imingi keluarga korban.
"Mereka (keluarga korban) banyak diiming-imingi, dikasih SIM, dijanjikan jadi polisi bagi anak korban. Memang itu faktanya. Bahkan terakhir kemarin, ada sumbangan Rp100 juta untuk keluarga yang tidak menuntut. Dan ditemukan juga, Aremania ini terbelah menjadi dua dalam menyikapi kasus ini. Mudah-mudahan keluarga korban yang memperjuangkan keadilan tidak tergoda," ucapnya. (Rahma Dhoni)
Bersambung ke Bag. 2
Baca Juga: Piala Asia 2023: Indonesia Tertinggal Satu Gol Atas Jepang di Babak Pertama
tragedi kanjuruhan Keadilan untuk Korban Kanjuruhan bareskrim polri gas air mata arema fc pssi
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...