CARITAU JAKARTA - Pengamat politik Citra Institute, Efriza menyoroti sikap tak tegas PDIP yang hingga kini belum memberikan sanksi ataupun teguran kepada putra sulung Presiden Jokowi, Gibran Rakamubing Raka.
Diketahui Gibran yang merupakan kader PDIP, resmi diusung sebagai calon wakil presiden (Cawapres) Koalisi Indonesia Maju (KIM), mendampingi Prabowo Subianto.
Baca Juga: Tak Cuma di Papua, Prabowo-Gibran Juga Menang Telak di Papua Pegunungan
Padahal PDIP telah resmi mengusung Ganjar Pranowo-Mahfud MD menjadi pasangan Bacapres dan Bacawapres di kontesatai Pilpres 2024 mendatang.
Efriza menilai manuver Gibran sebagai bentuk ketidakloyalannya sebagai kader aktif di PDIP
Menurutnya, sikap PDIP yang tergolong pasif dalam merespon keputusan Gibran melangkah ke KIM itu bakal menjadi bumerang bagi partai tersebut lantaran tak berani atau tak tegas menjalankan peraturan AD/ART internal sendiri.
Adapun dalam aturan AD/ART PDIP secara garis besar juga telah tertulis bahwa setiap kader yang tidak mematuhi aturan terkait keputusan partai atau Ketua Umum maka akan diberikan sanksi teguran, pemanggilan dan hingga pemecatan dari status keanggotaan.
Berkaitan dengan hal itu, menurutnya, sikap PDIP yang dinilai enggan secara tegas untuk memberikan sanksi kepada Gibran dapat memunculkan persepsi dan opini publik bahwa partai tersebut sedang melakukan drama dua kaki dalam kontestasi Pilpres 2024 mendatang.
"Sikap pasif PDIP tidak ingin memecat maupun tetap menunggu Gibran mengundurkan diri. Malah akan menjadi bumerang bagi PDIP, akan menguat persepsi publik, PDIP sedang main drama," ungkap Efriza kepada caritau.com, Senin (30/10/2023).
"Bilang Gibran adalah pengkhianat, nyatanya PDIP disinyalir main dua kaki, mengusung Ganjar capres, dan tetap mendukung Gibran sebagai cawapres Prabowo," sambungnya.
Efriza melihat, keputusan Gibran yang berlabuh ke KIM menjadi Bacapres Prabowo juga telah mengingatkan situasi Pilpres pada 2004 yang lalu dimana posisi Jusuf Kalla dan juga Wiranto meski satu partai di Golkar namun berbeda arah sikap.
Saat itu, Wiranto didapuk menjadi Cawapres oleh Golkar, sementara JK yang juga berasal dari Golkar memilih menjadi pendamping Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk menjadi pasangan Capres Cawapres di Pilpres 2004.
Efriza menambahkan, dengan begitu, PDIP akan dinilai masyarakat bermain dua kaki seperti apa yang dilakukan Golkar pada saat menempatkan Wiranto dan JK berbeda kubu dalam kontestasi Polres 2004 lalu.
"Situasi ini mirip sama JK dan Wiranto. Wiranto yang diusung sah capres, tapi JK yang bersama SBY dan akhirnya mereka yang menang," ungkap Efriza.
Disisi lain menurut Efriza, narasi yang selama ini muncul dari sejumlah kader PDIP yang menyebut Gibran sebagai pengkhianat hanyalah retorika belaka lantaran tidak diimbangi dengan keputusan tegas dari internal partai.
"Jadi semestinya PDIP itu berani bersikap jika narasinya Gibran pengkhianat, bukan layaknya main drama, padahal tetap senang dan bangga Gibran cawapres Prabowo yang masih sebagai kadernya," ungkapnya.
Efriza menambahkan, bahwa sikap PDIP yang hingga saat ini belum resmi memberikan sanksi tegas kepada Gibran juga merepresentasikan bahwa dukungan terhadap Ganjar tak dilakukan dengan sepenuh hati.
"Sikap mendua PDIP dalam ketidakberanian bersikap menunjukkan Ganjar tidak sepenuh hati didukung dan dipercaya oleh PDIP," tandas Efriza. (GIB/DID)
Baca Juga: Perhitungan Surat Suara di Badui
gibran rakabuming raka cawapres prabowo subianto pdip pilpres 2024 pemilu 2024
Cawagub 02 Fatmawati Dua Bulan Keliling 24 Kabupat...
Kampanye Akbar 02 Andalan Hati, Panglima Dozer: Su...
PMJAK Desak Bawaslu DKI Tindaklanjuti Soal Dana Ka...
Yuks Ramaikan Kampanye Akbar Andalan Hati di GOR S...
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...