CARITAU JAKARTA – Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) yang diajukan Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko terhadap SK Menteri Hukum dan HAM terkait kepengurusan Partai Demokrat. Keputusan MA pada Kamis 10 Agustus 2023 itu, tentu saja membuat jajaran pengurus di bawah Ketua Umum (Ketum) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) dapat bernafas lega.
"Kalau secara upaya hukum, apa yang kemudian diputuskan MA menolak PK-nya Moeldoko terkait Demokrat itu sudah final. Artinya tidak ada lagi langkah hukum untuk mengambil alih Demokrat," kata Tamil Selvan, komunikolog politik kepada Caritau.com, Selasa (15/8/2023).
Baca Juga: Istana Serahkan ‘Misteri Dua Jari’ di Mobil Presiden pada Bawaslu
Namun, lanjut Tamil, jika berbicara masalah hukum terkait Partai Demokrat maka harus berbicara politik. Menurutnya, bagi elite politik tertentu, kontestasi Pemilu 2024 bukan lagi tentang siapa yang memenangkan Pilpres. Tapi lebih dari itu, bagaimana melanggengkan kekuasaan setelah Pemilu 2024 dengan ‘menguasai’ partai-partai tertentu.
Oleh sebab itu menurut Tamil, upaya Moeldoko mengajukan PK terhadap kepengurusan Partai Demokrat hanya bagian dari strategi untuk melanggengkan kekuasaan.
"Seperti yang saya jelaskan tadi, saya kira itu Demokrat (PK Moeldoko) sudah selesai. Tapi strategi utamanya para elite untuk menguasai partai politik tentu saja tidak usai. Maka saya melihat, para elite itu akan menggunakan cara-cara lain," kata Direktur Lembaga Riset Kajian Politik Nasional (KPN) tersebut.
Menurutnya hal yang harus diperhatikan pasca pemolakan MA, bagaimana Partai Demokrat bisa tetap eksis dengan munculnya Partai Kebangkitan Nusantara (PKN) yang dipimpin Ketum Anas Urbaningrum. Harap dicatat, Anas adalah mantan Ketua Umum Partai Demokrat dan masih memiliki magnet elektoral besar.
Karena magnet elektoral Anas masih besar inilah, lanjut Tamil, bukan tidak mungkin bisa menjadi daya tawar bagi para elite untuk kembali 'menganggu' Partai Demokrat.
“PKN Anas Urbaningrum bisa menjadi bidak catur atau sub strategi elite dalam melanggengkan kekuasaan,” kata Tamil.
Ketua Umum Partai Demokrat AHY rupanya paham dan menyatakan akan terus waspada terhadap berbagai upaya merebut partainya meskipun MA telah menolak PK yang diajukan KSP Moeldoko.
"Tapi saya tidak punya ekspektasi yang berlebih-lebihan. Saya justru senang kalau kita semua selalu waspada," kata putra sulung Presiden RI ke-6 Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu saat ditemui di Kantor DPP Demokrat, Menteng, Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
AHY mengatakan, saat sudah diketok palu putusan, langkah Demokrat menjadi lebih ringan.
"Karena selama ini kita kayak separuh diikat tangannya, kakinya gitu. Ini jangan-jangan enggak, perasaan di PHP itu enggak enak kan? Rasanya ngegantung tuh nggak enak kan?" ujarnya.
AHY pun menyatakan siap menghadapi berbagai macam manuver serangan dan isu liar ke Demokrat di masa yang akan datang. Dia lantas menyebutkan tiga jurus yang selama ini mereka lakukan yang dinamakan sebagai 3C yakni cool, calm and confident.
Dirinya pun mengatakan akan menghadapi semua manuver baik secara hukum, politik, maupun sosial.
"Karena kami hanya berpegang teguh pada sebuah sikap yang tidak berubah dari awal. Ini masalah kebenaran, masalah keadilan, masalah kebebasan dan demokrasi di Indonesia jadi Insyaallah itu nilai-nilai yang akan abadi," katanya.
Sebaliknya, Menko Polhukam Mahfud MD berharap agar Partai Demokrat tidak lagi punya pikiran bahwa pemerintah berencana mengalahkan Demokrat lewat pengadilan, setelah muncul penolakan oleh MA terhadap upaya hukum Moeldoko.
Dia juga berharap masyarakat tidak salah paham. Mahfud bahkan mengaku sejak awal telah meyakini bahwa MA pasti akan menolak PK yang diajukan oleh Moeldoko.
"Saya menyikapi biasa saja, karena sudah meyakini jauh sebelumnya bahwa itulah yang akan terjadi. Dulu sudah saya bilang melalui podcast Intrique yng digawangi Prof Rhenald Kasali. Jika hakim PK tidak sedang mabuk, niscaya upaya PK itu lebih masuk akal untuk ditolak," kata Mahfud.
Mahfud mengungkapkan alasan penolakan PK Moeldoko itu masuk akal. Dia kemudian menyinggung soal gugatan yang pernah diajukan Moeldoko ke Kemenkumham dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) yang juga kalah.
"Mengapa? Karena gugatan Partai Demokrat yang mengatasnamakan Pak Moeldoko selalu kalah di tingkat Pemerintah maupun di semua tingkat pengadilan," ujar dia.
"Mula-mula kalah di Kemenkumham saat mengajukan penggantian kepengurusan di bawah kepemimpinan AHY. Kemudian kalah di PTUN sampai akhirnya kalah di tingkat kasasi di MA," sambung Mahfud.
Mahfud pun menegaskan bahwa pemerintah tidak punya rencana menggoyang kepemimpinan Partai Demokrat yang sah. Sebaliknya, pemerintah juga tidak membela AHY selaku Ketum Demokrat, melainkan membela kebenaran hukum.
"Harapan saya begini, pertama, kepada Partai Demokrat pimpinan AHY harap dipahamkan ke dalam, bahwa Pemerintah sama sekali tak punya rencana untuk mengalahkan Partai Demokrat yang sah di pengadilan," tegas Mahfud.
"Kedua, kepada masyarakat umum, harap dipahami bahwa ketika Menko Polhukam mengatakan PD Pimpinan AHY itu akan menang di PK berdasar hukum yang logis, itu bukan karena Menko membela PD di bawah AHY, melainkan hanya membela kebenaran hukum yang dituangkan oleh Menkum HAM ke dalam Keputusan Menteri bahwa kepengurusan AHY sah dengan segala akibat hukumnya. Itu yang dibela oleh Pemerintah dalam menegakkan hukum terkait gonjang-ganjing Partai Demokrat," jelasnya.
Toh, Tamil Selvan mengingatkan kemungkinan adanya upaya melanggengkan kekuasaan elite melalui sub strategi lainnya, karena manuver Moeldoko hanyalah 'bidak catur' yang dimainkan.
Jika orang awam melihat Pilpres 2024 belum terjadi, namun bagi elite tertentu kontestasi sudah berlangsung panas. Perhatian para elite bukan lagi memenangkan Pilpres 2024, tapi bagaimana melanggengkan kekuasaan setelah Pilpres 2024.
"Para elit hari ini, menyadari bahwa presiden bukan jabatan penguasa tertinggi. Jabatan penguasa tertinggi adalah jabatan ketua umum partai yang mendominasi," kata Tamil.
Tamil pun mencontohkan Moeldoko yang ingin menguasai Partai Demokrat, kemudian Luhut Binsar Pandjaitan (LBP) yang dikabarkan ingin menguasai Partai Golkar melalui Munaslub. Belum lagi rumor yang menyebut Prabowo akan memberikan kursi Ketum Gerindra kepada Jokowi jika didukung sebagai capres.
"Kalau kemudian andai-andai ini terjadi, maka Partai Demokrat, Partai Golkar dan Gerindra dikuasai elite penguasa hari ini, maka mereka lah yang menjadi penguasa sesungguhnya. Artinya keputusan bangsa ini akan ditentukan oleh Godfather yang bisa menguasai tiga partai tadi," pungkasnya. (WAHYU PRADITYA PURNOMO)
Baca Juga: Gibran Hadiri HUT ke-51 SPSI di Sidoarjo
peninjauan kembali pk moeldoko partai demokrat pemilu 2024 pilpres 2024 anas urbaningrum
Bawaslu RI Gelar Media Gathering untuk Evaluasi Pe...
RDF Rorotan Segera Beroperasi di Jakarta, Olah 2.5...
DPRD DKI Jakarta Dukung PAM Jaya Tingkatkan Layana...
Karutan Makassar Perketat Pengawasan Penyalahgunaa...
Sekda Marullah Beri Penghargaan Siddhakarya Bagi 1...