CARITAU SIDOARJO – Kami tersenyum ketika melintasi jalanan Sidoarjo dan sekitarnya. Tidak biasa. Atribut bak pesta (walimah) besar terpasang di sepanjang jalanan yang kami lalui hingga jalanan sekitar GOR Delta Sidoarjo.
Ya, puncak resepsi Hari Lahir (Harlah) ke-100 tahun atau Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU) akan dilaksanakan di sana (Selasa, 7 Februari 2023-red). Pasti meriah. Sebanding dengan atribut ucapan selamat yang tersebar di banyak lokasi dan jalan-jalan. Bahkan, juga banyak di luar Sidoarjo.
Baca Juga: Rois Aam PBNU Dorong Ekosistem Digital Syariah Melalui NUNOMICS
Namun, ada satu atribut ucapan selamat yang terlihat dominan. Baik jumlah maupun tampilannya. Tampak mencolok karena foto perorangan dalam atribut itu tercetak besar dibanding tulisan maupun foto bayangan Presiden RI (memakai masker) di belakangnya. Memantik mata siapapun agar fokus melihat fotonya. Bahkan, warna kontras pada surban yang dipakai membuat penasaran ingin mendekat, mengenali dan mengamatinya.
Oh, ternyata foto Bapak H Erick Thohir, Ketua Panitia Pelaksana Peringatan Satu Abad NU. Pangling. Sebab, tidak seperti biasanya, tampil tanpa peci dan surban. Pak ET atau Pak Ethoh demikian beliau biasa dipanggil. Mungkin menyesuaikan konteks acara yang dihadiri Nahdliyyin. “Selamat Datang Kader dan Anggota Nahdlatul Ulama.’’ Ucapan yang tertulis pada atribut itu, seakan ingin menyapa dan memberi hormat kepada tamu, agar diketahui.
“Beliau kan Menteri BUMN yang biasa tampil resmi kementerian, tanpa peci dan surban.’’ ’’Beliau kan sempat viral setahun lalu karena ikut pendidikan dan latihan dasar sayap Banom NU.’’ ’’Tapi, beliau juga viral di media beberapa waktu lalu karena dilambungkan namanya sebagai capres-cawapres 2024 oleh partai politik dan lembaga survei politik.’’ Kalimat-kalimat ini terucap dalam batin kami.
“Kalau begitu, apa kaitan atribut mencolok dengan perayaan megah Harlah 100 tahun NU?” pertanyaan batin kami selanjutnya.
Kami tidak bisa menduga-duga berlebihan. Apalagi berprasangka tidak baik. Kami penasaran, lantas turun dari kendaraan. Kami amati dan cermati kembali atribut itu agar tidak menilainya liar.
Di sudut atas kanan atribut itu, ternyata tertulis: LERIK (Loyalis Erick). Bersanding dengan logo Satu Abad dan 100 Tahun NU. Ini semacam petunjuk siapa pembuat, pemasang dan pendistribusi atribut, sekaligus menyibak lapisan tujuan-tujuannya?
LERIK ini bukan organ struktural atau kultural NU. Lebih tepatnya kelompok gerakan politik. Lalu, bagaimana para ’Lerikers’ mempunyai akses, bahkan dominan mengeksplorasi ekspresi politik mereka dalam event megah dan bersejarah NU? Pertanyaan-pertanyaan itu perlu dicari jawabannya agar dugaan liar ada ‘penunggang gelap’ bisa dijelaskan dengan gamblang.
Akhirnya, kami harus mencari kaca benggala agar bisa melihat cermin diri tidak berlebihan. Kami pun harus memahami mutiara hikmah dari Alhabib Abdullah bin Alwi Alhaddad: Apabila tujuan-tujuannya baik maka tidak akan sia-sia untuk menujunya. Kebaikan ada jalannya, dan untuk menuju kebaikan tidak perlu mengotori jalan sepanjang yang dilalui.
Ini mungkin maksud ungkapan Jawa para sesepuh: Sak dermo darmo, sak madyo darmo, ra usah rumongso koyo Pengeran, kabeh kudu klakon, kudu ngono, kudu ngene.
Jadi, kami sendiri harus berniat sekadar tabarrukan, berharap kebaikan dari kebaikan para muassis dan pendahulu. Bahwa, kebaikan yang tampak saat ini adalah jerih payah beliau-beliau, dan merekalah yang harus terlihat besar-gagah dan wibawa dalam berbagai atribut perayaan Harlah 100 tahun NU.
Para kiai-guru dan pendahulu mengajarkan untuk menyadari dan bertindak tidak berlebihan, apalagi hingga menabrak atau mencederai aturan, mengabaikan etika dan berperasaan beku. Bagai ingin menangkap ikan, membuat air menjadi keruh, dan akibatnya justru tangan bisa tertusuk duri atau terpatok ular. Apalagi, sampai tersesat dan menyesatkan pada jalan keinginan yang kami anggap lurus nan mulia. Hingga kami pun tidak ingin menjadi orang atau pihak yang diingatkan Allah SWT dalam QS. Al Maidah, Ayat 77:
قُلْ يَٰٓأَهْلَ ٱلْكِتَٰبِ لَا تَغْلُوا۟ فِى دِينِكُمْ غَيْرَ ٱلْحَقِّ وَلَا تَتَّبِعُوٓا۟ أَهْوَآءَ قَوْمٍ قَدْ ضَلُّوا۟ مِن قَبْلُ وَأَضَلُّوا۟ كَثِيرًا وَضَلُّوا۟ عَن سَوَآءِ ٱلسَّبِيلِ
Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.’’
Bersandar di pohon rindang, kami bertafakkur, mengingat-ingat petuah-petuah mulia dari pendahulu dan sholihin, berharap bisa memperbaiki khidmat kami di dalam organisasi para ulama-kiai, yakni Jamiyyah Nahdlatul Ulama serta tabarruk ilmu al Ulama. Selalu terngiang di telinga batin kami: ’’Jangan Berlebihan, Apalagi dalam Mengekspresikan Diri!” (*)
Penulis: KH ABDUSSALAM SHOHIB BISRI (Pengasuh Ponpes Mambaul Ma’arif, Denanyar, Jombang dan Wakil Ketua PWNU Jawa Timur)
Baca Juga: Gus Ipul Komentari Cuitan Cak Imin yang Sebut "Saipul Makelar"
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...