CARITAU JAKARTA – Nahdlatul Ulama atau NU genap berusia 100 tahun atau satu abad pada Selasa (7/2/2023) --yang puncak peringatannya dipusatkan di Stadion Gelora Delta Sidoarjo Jawa Timur-- telah membuktikan diri sebagai organisasi masyarakat (ormas) keagamaan dengan jumlah anggota terbesar di negeri ini dan bahkan dunia.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Yahya Cholil Staquf menyebut 59,2% dari penduduk beragama Islam di Indonesia mengaku sebagai warga NU.
Baca Juga: PBNU Umumkan 1 Ramadan 1445 H Jatuh Selasa 12 Maret 2024
"Hasil survei tahun 2022 menyatakan bahwa 59,2% dari seluruh penduduk muslim Indonesia mengaku NU. Kalau umat Islam diperkirakan 250 juta sampai 260 juta, maka 59,2% itu berapa? Bisa hampir 150 juta. Ini luar biasa," kata Gus Yahya, panggilan akrabnya, saat berpidato di Rakernas IX Lembaga Dakwah NU, di Asrama Haji Pondok Gede, Jakarta, 25 Oktober 2022.
Pernyataan Gus Yahya soal jumlah warga NU, setidaknya didukung hasil survei Poltracking Indonesia pada Oktober 2021 yang menunjukkan bahwa basis massa NU sangat besar, di mana terdapat 41,9% responden yang secara terbuka mengaku terafiliasi atau merasa sebagai Nahdliyin, baik secara kultural dan praktik keagamaan.
Tentunya, jumlah massa NU yang begitu melimpah bakal memberi pengaruh pada kehidupan berbangsa maupun bernegara. Sebagai ormas yang menasbihkan diri sebagai organisasi sosial-keagamaan, namun dalam perjalanannya NU kerap kali bersinggungan dalam panggung politik di tanah air.
Hubungan NU dan politik praktis memang tidak bisa dilepaskan. Apalagi setiap menjelang Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilu Presiden (Pilpres), NU yang selalu berdiri di luar pagar politik, tetap saja menjadi sorotan dan bahan lirikan yang menarik, meski dalam sejarahnya NU beberapa kali secara tegas mengeluarkan keputusan untuk tidak terlibat dengan politik praktis.
Tapi tentu kita tak pernah lupa, bagaimana Jokowi menjelang batas akhir pencalonan periode keduanya sebagai Capres untuk maju pada Pilpres 2019, tiba-tiba saja menggandeng Cawapres KH Ma’ruf Amin yang saat itu menjabat Rais Aam PBNU. Strategi politik yang jitu karena terbukti pasangan Jokowi-Ma’ruf Amin berhasil menang dengan kunci kemenangan perolehan suara ada di Jawa Timur yang dikenal sebagai basisnya Nahdliyin.
Meski terbukti bisa mewarnai perjalanan politik bangsa, NU yang telah genap berusia seabad, dari awal dibentuk hingga kiwari, tetap konsisten memperjuangkan nilai-nilai Islami yang berasaskan kemanusiaan. Pendek kata, keberadaan NU yang utama adalah untuk menjunjung tinggi peradaban.
NU lahir dari keprihatinan di masa lalu untuk melepas jeratan diri dari penjajahan Belanda. Selain itu, menurut sejumlah literatur, NU berdiri sebagai wadah khusus agar Islam tradisional di Indonesia dapat dipertahankan.
Martin Van Bruinessen dalam bukunya berjudul ‘NU: Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru’ (1994) menulis, ajaran-ajaran muslim pembaru (reformis) dan modernis pada abad ke-19 dan ke-20 sangat menyudutkan kepercayaan dan amalan muslim tradisional yang kerap dianggap bid'ah atau bukan ajaran asli Islam.
Momen tercipta tidak lama setelah pemerintah Kemalis Republik Turki menghapuskan sistem Khilafah. Berakhirnya kekhilafahan membuat Raja Ibnu Saud dari Arab Saudi tampil setelah mengambil kekuasaan dari Turki Usmani. Ibnu Saud yang mengusung aliran Wahabi bermaksud menghilangkan situs-situs sejarah dan tempat ziarah sejarah peradaban Islam karena dianggap bertentangan dengan paham Wahabi.
Selama menduduki kota Mekkah, Kaum Wahabi telah menghancurkan banyak makam di dalam dan sekitar kota tersebut, serta memberangus berbagai praktik keagamaan populer. Bagi kaum Muslim tradisionalis Indonesia—yang sangat terikat kepada praktik-praktik keagamaan seperti yang ditentang kaum Wahabi ini— penaklukkan atas Mekkah tentu saja merupakan peristiwa yang mencemaskan.
Kaum tradisionalis Indonesia menghendaki agar utusan Indonesia ke Kongres Mekkah bisa meminta jaminan dari Ibnu Saud bahwa dia akan menghormati mahzab-mahzab fiqh ortodoks dan membolehkan berbagai praktik keagamaan tradisional. (Martin van Bruinessen: NU Tradisi Relasi-relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, hal.32)
Hal tersebut mendorong pertemuan di kediaman KH Wahab Chasbullah di Surabaya. Sejumlah kiai ternama dari Jawa Timur, Madura, Jawa Tengah dan Jawa Barat, termasuk KH Hasyim Asyari hadir di momen tersebut. Rapat di rumah Kiai Wahab itu dianggap sebagai rapat pembentukan NU yang dipimpin oleh Kiai Hasyim sendiri.
NU pada akhirnya didirikan tepat pada 16 Rajab 1344 Hijriyah atau bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 di Kota Surabaya. Artinya jika dihitung secara kalender hijriyah, NU tepat berusia satu abad pada 7 Februari 2023 (16 Rajab 1444 H).
Selain KH Hasyim Asy’ari dan KH Abdul Wahab Chasbullah yang menjadi tokoh penting lahirnya organisasi tersebut, terdapat juga nama KH Bisri Syansuri yang didapuk sebagai Rais Aam ketiga.
Awalnya, NU dibentuk untuk membentuk dan memberangkatkan Komite Hijaz, sekumpulan panitia yang dibentuk oleh KH Hasyim Asyari untuk dikirimkan ke Muktamar Dunia Islam. Tujuannya untuk melindungi kebebasan bermazhab dari kebijakan Ibnu Saud.
Dua tahun sejak berdirinya NU, Raja Saudi Ibnu Saud akhirnya menerima utusan organisasi tersebut yang diwakili oleh KH Abdul Wahad Chasbullah dan Syekh Ghanaim al-Amir pada tahun 1928. Pembahasan tentang toleransi bagi empat mahzab (Maliki, Syafi’i, Hanafi dan Hambali), pelestarian situs sejarah Islam, pemberitahuan soal pengaturan dan biaya haji, serta penyusunan tertulis (kodifikasi) hukum yang berlaku di Negeri Hijaz (kini Kerajaan Arab Saudi) berhasil diterima dengan baik.
NU yang hadir di tengah situasi cengkeraman penjajah, tentu tak diragukan lagi kiprahnya dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Kehadiran awal NU ditandai dengan geliat pembangunan pondok-pondok pesantren yang mendirikan laskar perjuangan.
Heru Sukadri dalam buku ‘Kiai Haji Hasyim Asyari: Riwayat Hidup dan Pengabdiannya’ (1985), menuturkan peran NU dalam memperjuangkan kemerdekaan adalah ikut terlibat dalam Badan Federasi Partai dan Perhimpunan Islam Indonesia atau Al-Majlisul-Islami A'laa Indonesia (MIAI) yang juga diikuti oleh Sarikat Islam dan Muhammadiyah.
Melalui MIAI ini kedudukan NU makin terasa kuat, sehingga dalam kongresnya ke-14 (Juli 1939 di Magelang) telah berani mengajukan permohonan kepada pemerintah Kolonial Belanda agar supaya 'Guru Ordonnantie' dicabut.
Kedudukan NU semakin kuat ketika pada tahun 1940, KH Wahid Hasyim yang merupakan putra kandung dan anak didik KH Hasyim Asy'ari, terpilih menjadi Ketua MIAI.
Meletusnya Perang Dunia II memberi sedikit pengaruh bagi Indonesia yang dijajah Belanda. Pasalnya, Belanda menerapkan peraturan wajib bela untuk setiap masyarakat, termasuk para santri.
Namun keputusan itu ditentang oleh sejumlah pimpinan NU yang mengadakan musyawarah di Pesantren Tebuireng Jombang. Musyawarah menghasilkan keputusan bahwa NU tidak membenarkan adanya milisi bumiputra dan pemindahan darah (bloedtransfusie), serta MIAI untuk bersama-sama Gabungan Politik Indonesia (GAPI) meningkatkan tuntutan 'Indonesia Berparlemen'.
Namun, aksi Indonesia Berparlemen batal terwujud karena pada Mei 1942, pemerintah Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Angkatan Perang Jepang di bawah pimpinan Letjen H Imamura.
Ketika tentara pendudukan Jepang masuk menguasai Indonesia, MIAI dibubarkan. Sebagai gantinya, dibentuklah Masyumi atau Majelis Syuro Muslimin Indonesia dengan KH Hasyim Asy'ari yang merupakan Rais Akbar NU sebagai pemimpin tertingginya.
Dua tahun menjelang kemerdekaan RI, para kiai dan santri NU bersemangat melahirkan Laskar Hisbullah yang berarti tentara Allah. Laskar yang didirikan pada Desember 1944 itu berjuang untuk berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Semangat nasionalisme kaum Nahdliyin juga ditunjukkan dengan pembentukan Laskar Sabilillah, beberapa bulan setelah Indonesia merdeka. Pembentukan laskar diawali dengan adanya keputusan PBNU mengeluarkan Resolusi Jihad Fii Sabilillah pada 22 Oktober 1945.
Lewat resolusi jihad, KH Hasyim Asy’ari menyerukan bahwa berperang dan melawan penjajah (Belanda) itu hukumnya fardu ’ain bagi seluruh Muslim, tanpa kecuali. Fardu ’ain berarti tiap-tiap Muslim wajib menjalankan dan tidak boleh diwakilkan. Kemudian, orang yang meninggal dalam peperangan melawan musuh (NICA) dan komplotan-komplotan lainnya adalah mati syahid, serta hukum untuk orang yang memecah persatuan saat itu tak lain wajib dibunuh.
Resolusi itu digelorakan ketika upaya mempertahankan kedaulatan NKRI diuji oleh keinginan Belanda lewat NICA yang ingin merebut kembali daerah jajahannya. Berkat seruan Resiolusi Jihad Fii Sabilillah tersebut, semangat perlawanan rakyat terhadap Belanda berkobar dan seluruh anggota NU wajib mengangkat senjata melawan penjajah Belanda dan sekutunya.
Setelah Indonesia merdeka, NU tercatat ikut terlibat aktif berkontestasi dalam panggung politik. Pada 7 November 1945 di Yogyakarta, Masyumi ditasbihkan sebagai partai politik.
Para pemimpin Islam dari berbagai organisasi bersepakat untuk menjadikan Masyumi sebagai wadah pemersatu secara politik bagi umat Islam Indonesia. Para pemimpin Islam itu antara lain dari NU, Muhammadiyah, SI, Persis, PUI, dan lain-lain. KH Hasyim Asy'ari menjadi Ketua Majelis Syuro yang merupakan pimpinan tertinggi di Masyumi. Sementara Sukiman Wiryosanjoyo menjadi Ketua dan KH Wahid Hasyim sebagai Ketua Muda.
Namun dalam perkembangannya, terjadi goncangan dahsyat di tubuh Masyumi, yakni saat NU mengikuti jejak PSII untuk meninggalkan Masyumi berdasarkan keputusan Muktamar NU di Palembang pada 29 April 1952.
Pada 3 Juli 1952, NU berhasilkan mendirikan partai sendiri. Tiga tahun berselang, Indonesia pun menyelenggarakan Pemilu untuk kali pertama dalam sejarah. Partai NU pun ikut bersaing sengit dalam ajang Pemilu 1955 tersebut. Kendati banyak pihak yang memandang sebelah mata kehadiran NU sebagai parpol, Tokoh NU, KH Wahab Hasbullah mengaku tidak ambil pusing soal itu.
Alhasil, raihan suara NU di Pemilu 1955 seperti di luar dugaan; NU menduduki posisi ketiga pemenang pemilu dengan raihan 18,4% dan berhak memperoleh 45 kursi di legislatif. Perolehan suara mereka hanya kalah dari Partai Nasional Indonesia (PNI) yang bertengger di posisi pertama dan Partai Masyumi di posisi kedua.
Kiprah NU berlanjut di masa Orde Baru yang dinilai menemui jalan yang berliku. Hal ini ditandai dengan kebijakan politik yang kian represif di bawah kekuasaan Presiden Soeharto. Pada tahun 1973, misalnya, pemerintah memberlakukan penggabungan sejumlah partai satu sama lain. Di mana seluruh partai Islam bergabung menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), serta partai nasionalis dan Kristen masuk ke dalam Partai Demokrasi Indonesia (PDI).
PPP terdiri dari Nahdlatul Ulama (NU), Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII) dan Partai Muslimin Indonesia. Bagi NU, peleburan diri ke dalam PPP seperti mengingatkan memori lama saat menjadi bagian Masyumi. Tidak sulit meramalkan akan terjadi permasalahan besar dan konflik yang meledak ke permukaan.
Pemerintah sendiri tampaknya melihat dan memancing tokoh-tokoh NU di dalam PPP untuk melakukan konfrontasi. Di bawah komando Kiai Bisri, NU dengan getol pernah menolak RUU Perkawinan yang diajukan pemerintah ke DPR pada 31 Juli 1973, lantaran dianggap bertentangan dengan nilai-nilai agama, bukan hanya Islam tetapi juga Kristen.
Tak hanya itu, NU kerap melontarkan kritik tajam kepada pemerintah yang dinilai semena-mena menukangi negara. Sikap dan reaksi tersebut lantas membuat para elite pemerintah jengah, sehingga Ali Moertopo melakukan manuver politik dengan cara mengganti Ketua PPP dengan sahabat dekatnya, Djaelani Naro. Pergantian diselenggarakan tanpa rapat dan muktamar. Naro langsung mengumumkan dirinya sebagai ketua baru, sekaligus mengusir secara halus NU dari Partai berlambang Kabah itu.
R William Liddle (1978) mencatat bahwa kampanye Pemilu menjadi ajang perebutan pengaruh yang timpang antara Islam dan rezim Orde Baru. Penguasa menekan calon pemilih agar menyumbangkan suaranya ke Partai Golkar. Saat itu, NU dengan vokal menyuarakan narasi oposisinya.
Kiai Bisri dengan tegas mengeluarkan fatwa yang menyatakan setiap muslim wajib hukumnya memilih PPP. Meskipun beberapa kiai memihak ke Golkar, tapi NU terbukti mampu mempertahankan disiplin internal yang kuat.
Setelah melalui berbagai pergulatan, NU akhirnya melepaskan diri dari keterlibatan politik di Indonesia. Kepastian ini muncul melalui muktamar ke-27 di Situbundo, Jawa Timur pada 8-12 Desember 1984 yang memutuskan dua hal penting; menerima Pancasila sebagai satu-satunya asas dan menguatkan hasil Munas tahun 1983 yang mengembalikan NU menjadi organisasi keagamaan sesuai Khittah (garis perjuangan) NU tahun 1926.
Kejatuhan Soeharto menandakan berakhirnya masa Orde Baru. Saat itu, PBNU kebanjiran usulan dari warga NU di seluruh pelosok negeri agar segera mendirikan parpol sendiri.
Menanggapi hal tersebut, PBNU segera mengadakan Rapat Harian Syuriyah dan Tanfidziyah pada 3 Juni 1998, hasilnya membentuk Tim Lima yang diberi tugas untuk memenuhi aspirasi warga NU.
Tim Lima diketuai oleh KH Ma`ruf Amin (Rais Suriyah/Kordinator Harian PBNU) dengan anggota, KH M Dawam Anwar (Katib Aam PBNU), Dr KH Said Aqil Siroj, (Wakil Katib Aam PBNU), HM Rozy Munir. (Ketua PBNU) dan Ahmad Bagdja (Sekretaris Jenderal PBNU). Untuk mengatasi hambatan organisatoris, Tim Lima dibekali Surat Keputusan PBNU.
Tak lama berselang, mereka berhasil menyakinkan Gus Dur atau KH Abdurrahman Wahid yang menjabat Ketua Tanfidiyah atau Ketua Umum PBNU untuk berdirinya sebuah parpol. Akhirnya, pada 23 Juni 1998, terbentuklah partai politik yang diberi nama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) untuk menampung aspirasi warga NU pada khususnya, serta umat Islam hingga rakyat Indonesia pada umumnya. Deklarasi dilakukan di kediaman Gus Dur.
Selain menjadi inisator, Gus Dur didapuk sebagai Ketua Dewan Penasihat dengan Matori Abdul Djalil sebagai ketua partai. Pada 20 Oktober 1999, MPR hasil Pemilu 1999 yang digelar 7 Juni 1999 kemudian memilih presiden baru dan KH Abdurrahman Wahid terpilih sebagai Presiden Indonesia ke-4 dengan 373 suara, sedangkan Megawati Soekarnoputri dari PDI Perjuangan sebagai partai pemenang dengan 313 suara.
Kendati PKB yang disebut-sebut sebagai ‘corong’ orang-orang NU, secara kelembagaan NU tetap netral dan tidak mengharuskan anggotanya untuk memilih PKB. Hal ini terbukti dengan banyaknya tokoh NU yang juga aktif di sejumlah partai politik lain di luar PKB. Bahkan, partai politik yang berbasis pemilih Nahdliyin juga bermunculkan di era reformasi.
Hal ini dipertegas dengan salah satu rekomendasi Muktamar XXX NU di Kediri yang digelar 21-27 November 1999 atau selang lima bulan setelah Pemilu 1999, yang mendesak seluruh pengurus NU di segala tingkatan agar menempatkan NU sebagai organisasi sosial keagamaan dan bukan sebagai partai politik.
Jika saat ini menjelang Pilpres 2024 NU kembali dikait-kaitkan dengan agenda perpolitikan di tanah air, Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf menegaskan bahwa NU tidak boleh dieksploitasi dijadikan senjata politik untuk menggalang dukungan demi kepentingan pihak tertentu.
Menurutnya akan berbahaya jika NU menjadi salah satu pihak yang ikut kompetisi politik karena konstituennya yang begitu besar.
"Bahwa konstituensi NU yang demikian besar, kalau NU menjadi pihak, ini tidak adil pada kelompok-kelompok yang lain yang terlibat. Kira-kira begitu," kata Gus Yahya dalam keterangannya pada Kamis (2/2/2023).
"NU sekarang sudah menjadi identitas kelompok. Enggak boleh dieksploitasi sebagai senjata politik. Itu salah," tegas Gus Yahya.
Begitulah, perjalanan panjang NU bakal terus menghiasi setiap sendi peradaban Indonesia termasuk komitmen untuk konsisten berada di luar politik praktis, bakal selalu menjadi cerminan. Maklum saja, kendati berulang kali ditegaskan sebagai organisasi keagamaan, tetap saja banyak pihak yang mencoba mencungkil celah agar mendapat simpati Nahdliyin, utamanya persiapan menjelang Pemilu dan Pilpres 2024 mendatang. (Rahma Dhoni)
Baca Juga: Khofifah Effect Dinilai Mampu Lipat Gandakan Dukungan Suara ke Prabowo-Gibran
nahdlatul ulama pbnu 100 tahun nu satu abad nu stadion gelora delta sidoarjo jawa timur
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...