CARITAU JAKARTA - Memiliki arti nama yang memukau, tanda-tanda dirinya kelak bakal menjadi orang besar sudah tercium sejak kecil.
Edy, sapaan akrab keluarga saat masa kecilnya, merupakan anak ketiga dari pasangan Azikar dan Ramlah yang lahir pada 4 Maret 1955 di Lubuk Alung, Padang Pariaman Sumatera Barat. Keluarga sederhana itu memberi nama lengkapnya Azyumardi Azra yang mempunyai makna ‘permata hijau’.
Baca Juga: Pihak Istana Buckingham Umumkan Raja Inggris Charles III Idap Kanker
Dalam buku Cerita Azra: Biografi Cendikiawan Muslim Azyumardi Azra karangan Andina Dwifatma, diceritakan bahwa dirinya merupakan anak ketiga dari enam bersaudara.
Kendati ekonomi keluarga sulit dan tak menentu, Azikar selalu bekerja keras agar semua anaknya bisa bersekolah. Konon, profesi Azikar hanya tukang kayu, pedagang kopra dan cengkih, sedangkan Ramlah berprofesi guru agama.
Persinggungan Edy dengan pendidikan berawal dari ketertarikannya memandangi kata-kata mutiara yang terpampang di belakang truk atau di badan bus. Bahkan dirinya juga belajar membaca dari judul-judul berita pada robekan kertas koran bekas, yang biasa dipakai sebagai bungkus gorengan.
Melihat keunikan anaknya, Azikar setia menemani dan mengajari Edy membaca dengan mengeja kata di badan bus yang tiap hari melintasi depan rumahnya. Hingga pada akhirnya, Edy sudah bisa membaca sebelum ia bersekolah. Suatu bekal berharga bagi dirinya untuk berkembang lebih jauh lagi.
Azyumardi pun masuk sekolah dasar yang berjarak tak jauh dari rumahnya, SD Negeri 01 Lubuk Alung dan ia resmi mulai bersekolah pada tahun 1963. Pada jurnal buatan Lukmanul Hakim: Azyumardi Azra Sebagai Sejarah Islam menyebut latar belakang pendidikan Azyumardi memang berbeda dengan tradisi para pemuda Minang saat itu.
Azyumardi tak mendapat pendidikan tradisional keagamaan di surau atau langgar, lazimnya bocah Minang menjelang usia remaja yang setiap sore dan malam hari menginap, belajar mengaji, salat, dan ibadah-ibadah lainnya.
Akan tetapi, Azyumardi menerima langsung pendidikan agama dari ibunya sendiri, Ramlah, guru Madrasah Al-Manar.
Selain itu, karena dirinya sudah bisa membaca sejak belia, Azyumardi rutin meminjam buku di perpustakaan sekolah dan membawanya pulang ke rumah. Buku kesukaannya antara lain: Salah Asuhan, Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan buku-buku klasik lainnya. (Andina: 2011, hlm: 7).
Setelah menempuh sekolah dasar, Azyumardi remaja melanjutkan sekolahnya di Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Padang. Setelah itu, ia mengambil langkah krusial untuk melanjutkan kuliah di IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Di sini, namanya mulai melambung lewat serangkaian kegiatannya menjadi aktivis kampus.
Selama berkuliah, Azyumardi ternyata sudah mencicipi karir sebagai jurnalis. Dia pernah menjadi wartawan Panji Masyarakat atau Panjimas pada rentang 1979-1985. Seperti diketahui, Majalah Panji Masyarakat dipimpin Buya Hamka, salah seorang tokoh pembaruan Islam.
Di Panjimas, Azyumardi sering mengangkat isu aktual, baik nasional dan internasional. Selain itu, Azyumardi juga bertanggungjawab membuat laporan tentang dunia Islam.
Suatu saat, Azyumardi pamit dari Panjimas untuk melanjutkan beasiswa S2 Fullbirght di Universitas Colombia, New York, Amerika Serikat dengan mengambil konsentrasi sejarah. Dalam waktu yang singkat, ia berhasil menyelesaikan dua program Magister, di Departement Bahasa dan Budaya Timur Tengah (1988) dan Magister Philosophy Departemen Sejarah (1990).
Ayzumardi juga mendapatkan gelar Doctor of Philosophy di kampus yang sama pada 1992 dengan disertasi berjudul "The Transformation of Islamic Reformism to Indonesia: Network of Middle Eastern and Malay-Indonesian 'Ulama in the Seventeenth and Eighteent Centuries".
Disertasinya kemudian diterbitkan oleh Allen Unwin, Asosiasi Pengembangan Ilmu Pengetahuan Amerika (AAAS), Hawai University Press, dan KITLV Press.
Pasca mendapat gelar doktoral, ia kemudian mendirikan dan menjadi pemimpin redaksi Studia Islamika, sebuah jurnal Indonesia untuk studi Islam pada 1993.
Selepas menyelesaikan masa studi, Azyumardi mantap menjadi akademisi. Dalam berbagai literatur, Azyumardi sempat menjadi Dekan, Direktur Pasca Sarjana, Wakil Rektor hingga puncaknya menjadi Rektor UIN Syarif Hidayatullah pada tahun 1998.
Ia menjadi rektor di umur yang masih belia, yakni 43 tahun untuk menggantikan rektor sebelumnya, Quraish Shihab.
Sejak saat itu, karir cemerlangnya terus bergulir seiring perubahan status IAIN menjadi UIN. Karir Azyumardi sebagai Rektor harus terhenti karena masa jabatannya yang telah habis pada akhir tahun 2006. (Andina, 2011: hlm: 84-94)
Setelah tak lagi menjabat Rektor, Azyumardi disibukkan dengan kegiatan sebagai dosen pengajar Magister UIN Jakarta, serta aktif mengisi seminar, kajian, diskusi di kampus maupun di luar kampus. Tidak lupa juga, ia rutin menulis hasil-hasil pemikirannya yang banyak digunakan, sekaligus menjadi objek diskursus.
Berkat kegiatan positif itu juga, pada 28 September 2010, Azyumardi Azra menerima penghargaan The Commander of the British Empire (CBE Award). Gelar prestisius yang membuat namanya mendapat predikat awal ‘Sir' ini diberikan langsung oleh Ratu Inggris Elizabeth II yang baru saja berpulang pada Kamis 8 September 2022.
Penghargaan tersebut diberikan setelah Azyumardi dinilai berjasa memberi kontribusi penting dalam membangun hubungan baik antar agama di tingkat internasional. Gelar itu terasa lebih istimewa, tatkala Azyumardi merupakan orang pertama yang mendapatkan penghargaan CBE yang berasal dari negara bukan pesemakmuran.
Berkat pengalamannya sebagai wartawan, Azyumardi Azra terpilih untuk memimpin Dewan Pers Periode 2022-2025 menggantikan Muhammad Nuh pada Mei 2022.
Selama menjabat, ia sering memberi pesan maupun masukan kepada setiap insan pers. Seperti halnya komentar Azyumardi Azra mengomentari iklim pemberitaan tentang hanyutnya Emmeril Khan Mumtadz, putra dari Gubernur Jabar Ridwan Kamil, di Sungai Aare, Swiss.
Dalam pernyataan itu dia menyampaikan harapan agar media tidak membuat berita dengan isi ramalan atau prediksi terkait peristiwa tragedi kemanusiaan. Selanjutnya, beliau mengimbau kepada insan pers di berbagai platform untuk bekerja sesuai dengan kode etik jurnalistik. Dia juga meminta kepada pers di Indonesia untuk melakukan pemberitaan dengan penuh tanggung jawab dan berdampak positif bagi publik.
Namun, sebelum mengakhiri masa baktinya, ia sudah dipanggil terlebih dahulu oleh Sang Maha Kuasa di usia 67 tahun pada Minggu (18/9/2022) di RS Serdang, Selangor, Malaysia. Sejumlah tokoh, seperti orang terdekat, rekan, petinggi lintas agama hingga orang-orang di mancanegara menyatakan belasungkawa atas wafatnya Azyumardi Azra.
Din Syamsuddin, mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, menyebut kepergian Prof Dr Azyumardi Azra merupakan kehilangan bagi bangsa Indonesia dan dunia Islam.
"Kita semua merasa kehilangan atas kepergian ke rahmatullah almarhum Prof Dr Azyumardi Azra. Kepergian almarhum merupakan kehilangan bagi bangsa Indonesia dan dunia Islam," kata Din Syamsuddin melalui pernyataan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu (18/9/2022).
Teranyar, jenazah Azyumardi akan dibawa ke tanah air pada Senin 19 September 2022 dan akan dikebumikan di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Kalibata. Hari ini, Indonesia kembali kehilangan salah satu tokoh dan bapak bangsa, yang selama ini mengabdikan diri sebagai Cendekiawan Muslim.
Selamat Jalan Prof Azyumardi Azra, Permata Hijau Bangsa Indonesia. (RAHMA DHONI)
Baca Juga: Tonton Pemutaran Perdana Film 'Buya Hamka', Wapres: Kisah Beliau Merupakan Inspirasi Kita Semua
prof dr azyumardi azra ketua dewan pers cendekiawan muslim buya hamka panji masyarakat ratu elizabeth ii
Viral! Video Oknum Relawan Paslon Kotabaru 02 H Fa...
Andi Sudirman-Fatmawati Hadiri Doa Bersama dan Per...
Cara Upgrade Skill Gaming dengan Samsung Galaxy A1...
Masuk Minggu Tenang, Pj Teguh Pastikan Jakarta Ber...
Cawagub 02 Fatmawati Dua Bulan Keliling 24 Kabupat...