CARITAU BANDUNG – Pelarangan TikTok Shop dan social commerce lainnya untuk melakukan transkasi jual beli oleh pemerintah, melalui Peraturan Menteri Perdaganan (Permendag) Nomor 31 Tahun 2023, menjadi angin segar bagi para pedagang dan UMKM konvensional, tapi tentu saja menjadi masalah baru bagi para pelaku penjualan online yang sebelumnya sangat mengandalkan e-commerce.
Guna mencari tau dampak penutupan TikTok Shop untuk jual-beli, Caritau.com berbincang dengan Hezron Sanitanio, e-commerce Specialist dari salah satu jenama fesyen asal Bandung yang memiliki pasar pakaian muslim cukup besar.
Baca Juga: Jokowi Janjikan Bebas PPh dan PPN bagi UMKM yang berinvestasi di IKN
Meskipun masih tergolong UMKM, bisnis tempat Hezron bekerja memiliki modal cukup dan omzet lumayan. Dalam satu bulan, omzet mereka bisa mencapai kisaran Rp150 juta - Rp250 juta. Dengan catatan, hampir 90% omzet berasal dari ritel online, atau e-commerce.
Hezron menuturkan, sejak tahun 2019, pendapatan dari wholesale memang berkurang drastis karena perubahan pola perilaku konsumen. Hal itu juga yang pada akhirnya membuat ia dan tempatnya bekerja berinvestasi lebih dalam pengelolaan e-commerce.
Sebelum TikTok Shop hadir, kantor Hezron telah menggunakan 3 marketplace terbesar yang ada di Indonesia. Langkah tersebut cukup membuahkan hasil karena sanggup menopang penjualan dan perputaran uang di perusahaan. Selain itu, lebih efektif karena menekan biaya pengeluaran toko offline atau konvensional yang terlalu besar.
Memasuki masa pandemi, pola perilaku konsumen berubah dinamis. Semua serba online dan digital. Pada momen tersebut, para pedagang memutar otak bagaimana carana mempertahankan usahanya. Hezron mengungkapkan, tempatnya bekerja mulai menjajaki platform TikTok Shop pada 2021.
“Sejak awal 2021, saya dan tim mulai mengoptimasi penjualan di TikTok Shop dengan membuat strategi konten, memberi pelatihan kepada pegawai, hingga mempelajari fitur-fitur di dalamnya,” kata Hezron saat dihubungi Caritau.com, Senin (16/10/2023).
Sebab pindah platform bukan perkara sederhana. Banyak hal yang perlu disiapkan, seperti beradaptasi dan mempelajari strategi berdagang secara live streaming di TikTok Shop. Agar bisa ‘bermain’ di area tersebut, Hezron menyebut ada biaya puluhan juta yang perlu diinvestasikan perusahaannya.
“Namanya platform baru, tentu kita perlu adaptasi. Pertama kali setup buat TikTok Shop, kita belajar lagi, investasi lagi, terutama untuk keperluan live,” ujar Hezron.
Hezron blak-blakan soal nominal. Ia dan tim harus mempersiapkan modal awal sekitar Rp50 juta. Perinciannya, beli dua smartphone untuk live dengan harga Rp5-6 jutaan, setup studio yang mencakup set, lighting, laptop dan kamera yang ditotal mendekati Rp45 jutaan, hingga alokasi budget keperluan ads atau iklan digital.
Jumlah tersebut belum termasuk bayaran buat karyawan yang menjadi host live, yang biasanya berada di angka Rp4,5 juta.
“Dengan budget setup segitu belum langsung balik modal. Kami masih harus belajar dan ‘bakar uang’ selama satu tahun. Baru di tahun 2022 penjualan berangsur lumayan dan mecapai peak-nya tahun 2023,” ungkap Hezron.
Pada tahun 2022, investasi di TikTok Shop yang ia lakukan baru membuahkan hasil. Menurutnya, hadirnya TikTok Shop memang menopang 30% dari total omzet per bulan.
Baru setahun mencicipi ‘manisnya’ keuntungan melalui TikTok Shop, tiba-tiba terbit Permendag 31/2023. Hezron dan tim tentu saja harus kembali putar otak.
“Lebih pusing karena harus shifting lagi sistem. Mungkin untuk ukuran kami yang punya cukup modal tidak terlalu berat. Tapi bagaimana yang memang bergantung pada satu platform? Yang kami sayangkan, semua ini seperti terburu-buru, tak ada sosialisasi dari pemerintah,” papar Hezron menanggapi Permendag 31/2023.
Penutupan TikTok Shop Terburu-buru
Hezron memang menyayangkan, informasi dan terburu-burunya penutupan. Ia mengaku mengetahui penutupan TikTok Shop hanya dari pemberitahuan resmi TikTok dan pemberitaan media. Ia menilai, sepertinya tak ada niatan dari pemerintah untuk merangkul pemilik UMKM online yang selama ini merasakan manfaat dari platform tersebut.
Hezron tidak bisa memungkiri bahwa penggunaan TikTok Shop membantu penjualan dan kelancaran bisnisnya. Meski ia juga tak keberatan dengan revisi tersebut, dengan catatan, di regulasi bukan ditutup secara penuh.
“Penutupan secara penuh hanya akan menjadikan UMKM tetap menjadi korban. Seharusnya pemerintah bisa melihat dari banyak sisi dan membuat kebijakan yang merangsang daya beli masyarakat, bukan menutup usaha,” harapnya.
Buyarnya Strategi Bisnis Setahun
Hamapir sama dengan Hezron, Dina –seorang Digital Marketing Specialist di salah satu Clothing Line di Bandung Tengah— harus ‘sakit kepala’ mengubah semua draft kerja sama dan rencana pemasarannya selama satu tahun ke depan.
Jika Hezron hanya mengurus TikTok Shop perusahaan sendiri tempat dia bekerja, Dina dan perusahaan tempat ia bekerja justru menggunakan jasa pihak ketiga, yakni agensi digital.
Menurut Dina, hal tersebut lebih efektif bagi perusahaannya dan efisien secara biaya.
Sebelum terbit Permendag 31/2023, Dina dan tim pada kuartal ketiga 2023 baru saja menandatangani kesepakatan kerja sama dengan agensi yang dipercaya untuk mengelola TikTok Shop tempatnya bekerja selama satu tahun ke depan.
Pada kesepakatan tersebut, tentu banyak strategi hingga alokasi budget yang sudah dihitung matang agar bisnis berjalan dengan baik selama satu tahun ke depan. Namun hal tersebut terpaksa ‘ambyar’ saat terbit revisi Permendag dan pemberitahuan resmi dari TikTok. Ia juga mengungkapkan kekesalannya, karena tak ada ruang diskusi untuk pelaku usaha online.
“Semuanya ‘buyar’. Ya, dalam arti harus ada banyak penyesuaian lagi, karena planning yang dibuat itu untuk satu tahun ke depan. Kan kita juga pakai pihak ketiga, yang artinya ada banyak poin yang perlu penyesuaian. Kesalnya lagi, beneran enggak ada sosialisasi langsung dari pemerintah. Semuanya serba mendadak,” ungkap Dina.
Ia juga menuturkan, di tengah proses penutupan TikTok Shop, pihaknya telah menjalankan program affiliate di TikTok Shop. Ada sejumlah barang yang sudah dikirim ke affliliator yang jumlahnya tentu secara nilai mencapai puluhan juta. Dengan ditutupnya TikTok Shop, tentu barang tersebut tak dapat terjual.
Berbeda dengan jenama sebelumnya, perusahaan yang Dina kelola malah sudah dua tahun berjalan dengan hampir 70% omzet retail online hasil dari TikTok Shop. Meski menggunakan marketplace lainnya, hasil penjualannya belum bisa menyaingi penjualan di TikTok Shop.
“Kita juga sebenernya pake toko oren (Shopee), sama toko ijo (Tokopedia). Tapi enggak sebesar di TikTok Shop. Masih belum bisa ngejar. Makanya kita maksimalin di TikTok. Kalau sudah tutup begini, susah nutup income-nya karena persentasenya lumayan besar,” keluh Dina.
TikTok Affiliate Kehilangan Komisi 10%
Setali tiga uang, hal yang sama juga dirasakan oleh Vina yang sejak sembilan bulan terakhir aktif sebagai TikTok Affiliate. Ibu satu anak asal Bekasi ini berhasil menjadikan keisengannya menjadi sumber penghasilan tambahan.
“Lumayan banget. Ini tuh dari iseng akhirnya jadi tambahan yang tetap stabil tiap bulannya. Dari keisengan bisa untuk membiayai banyak hal,” ujar Vina.
Vina menuturkan, sejak enam bulan terakhir, sejak ia pertama kali mencoba menjadi affiliate, ia bisa meraup penghasilan rata-rata Rp3 juta - Rp4 juta dalam sebulan dengan mempromosikan barang-barang di TikTok Shop.
Saat ini pekerjaan affiliate marketing memang tengah digemari banyak orang. Salah satu pertimbanganya, dapat dilakukan dilakukan tanpa modal dengan keuntungan cukup menggiurkan.
TikTok memang telah menjadi platform dengan tawaran affiliate yang cukup banyak dicari. Para pengguna TikTok bisa menghasilkan pendapatan tidak hanya dari jualan di TikTok Shop, namun juga bisa mendulang cuan dengan cara menjadi TikTok Affiliate.
TikTok sendiri memang sengaja menghadirkan program affiliate agar para konten kreator bisa memperoleh penghasilan lewat konten video karya mereka.
Dilansir dari laman resminya, TikTok memberikan komisi sebesar 10% bagi TikTok Affiliate. Seorang affiliate akan mendapatkan komisi pada setiap produk yang berhasil terjual. Jadi semakin banyak mempromosikan produk, maka peluang untuk mendapatkan penghasilan juga akan semakin besar.
Vina mengaku cukup bingung dengan penutupan TikTok Shop, pasalnya ada beberapa barang sample yang telah dikirim oleh brand yang seharusnya ia promosikan. Selain itu, jelas ia kini kehilangan pendapatan lantaran program affliate-nya harus berhenti.
“Saya sih berharap pemerintah punya solusi yang jelas. Toh, kemajuan teknologi dalam dunia bisnis ini tidak dapat dihindari. Saya mengerti kok keluhan para pedagang, tapi juga seharusnya pemerintah bisa merangkul mereka beradaptasi dengan kondisi zaman,” harap Vina.
Pindah Platform Bukan Hal Mudah
Ditutupnya TikTok Shop tentu menyisakan masalah bagi sebagian penggunanya. Apalagi jika mereka hanya bergantung dari satu platform. Berhentinya proses transaksi tentu akan berpengaruh pada banyak hal, tak hanya omzet, biaya produksi, hingga gaji karyawan.
Kenyataan di lapangan, banyak UMKM atau indvidu yang terbantu dengan keberadaan TikTok Shop. Tingginya minat dan perputaran uang di TikTok Shop sebenarnya juga sudah membentuk sebuah ‘ekosistem bisnis’ baru yang menaungi jenis pekerjaan baru seperti live streamer, reseller, content creator, affiliate, dan lainnya.
Butuh waktu untuk pindah ke platform lain. Dari ketiga nara sumber yang dihubungi, semuanya bersepakat, ada banyak hal yang harus dibenahi jika harus pindah platform. Sebab harus mengubah ulang sistem atau bahkan strategi agar bisa bersaing dengan ratusan penjual yang ada di sana.
Belum lagi perbedaan sistem kerja platform live shopping yang ada di marketplace dengan yang ada di TikTok. Salah satu nilai plus TikTok Shop adalah algoritma yang diterapkan, sehingga konten benar-benar bisa terpersonalisasi di FYP (layar utama) pengguna aplikasi.
Contohnya dalam program affiliate disebutkan, dengan modal live stream atau konten yang pas, siapa saja berpotensi untuk tampil di laman tersebut, termasuk bagi mereka yang belum memiliki basis followers besar. Hal ini yang membedakan TikTok dengan media sosial lainnya.
Ada beberapa faktor yang membuat sebuah merek atau pedagang memilih menetap dan mendalami satu platform saja, salah satunya keterbatasan aturan main. Seperti larangan mempromosikan platform lain atau kontak lain yang mendorong transaksi di luar platform. Aturan ini jelas membuat para pedagang tidak bisa melakukan jualan secara paralel.
Pada akhirnya, para pedagang yang ada di ekosistem digital memang ‘dipaksa’ untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi yang ada agar dapat terus bertahan. Kembali membiasakan dan memaksimalkan penjualan di platform penjualan lainnya.
Dari sisi regulasi, apa yang dilakukan pemerintah melalui Permendag 31/2023 memang bertujuan untuk penegakan aturan demi terciptanya harmonisasi dan iklim ekosistem bisnis digital di Indonesia lebih fair.
Seperti pernyataan resminya, Pemerintah berupaya agar tidak ada bisnis yang menguasai dari hulu ke hilir dan berusaha membuat definisi yang clear terkait retail online, marketplace, dan social-commerce.
Namun pertanyaannya, sudahkah pemerintah mengimbanginya dengan literasi digital dan sosialisasi yang merata, agar ketimpangan informasi seperti yang dirasakan para pedagang konvensional Tanah Abang tidak terulang kembali atau berlarut-larut? (Irfan Nasution)
Baca Juga: Kemenkop Ancam Bank yang Terbukti Minta Agunan KUR ke UMKM
tiktok TikTok Shop e-commerce umkm Permendag menteri perdagangan zulkifli hasan TikTok Shop Ditutup
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...