CARITAU JAKARTA – Sidang Paripurna DPRD DKI Jakarta yang mengumumkan pemberhentian Gubernur Anies Baswedan dan Wagub Ahmad Riza Patria pada Selasa (13/9/2022), sempat diwarnai interupsi yang dilontarkan Johny Simanjuntak, anggota DPRD DKI Jakarta dari Fraksi PDI Perjuangan.
Johny saat interupsi menyinggung soal janji-janji kampanye Anies Baswedan saat Pilgub DKI Jakarta tahun 2017.
Baca Juga: Hitung Cepat LSI Denny JA Prabowo-Gibran Menang Pilpres
"Kedua, bahwa kampanye Pak Gubernur yang diimplementasikan dalam 23 program unggulan dalam RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah) tidak terealisasi, misalnya DP Nol Rupiah, Program Ok Oce, normalisasi sungai," katanya.
Mengapa Johny melakukan interupsi di saat-saat akhir Gubernur Anies? Mengapa muncul hak interpelasi Formula E pada 26 Agustus 2021 oleh 33 anggota DPRD dari dua fraksi, yaitu PDI-P dan Fraksi Partai Solidaritas Indonesia (PSI)? Bagaimana tanggapan Johny terkait pemeriksaan 11 jam oleh KPK terhadap Gubernur Anies terkait Formula E?
Berikut pemaparan Johny kepada wartawan Caritau.com Negus Gibran Mayardhi dan Jusrianto di ruang kerjanya seusai Sidang Paripurna DPRD DKI pada Selasa (13/9/2022):
Janji politik Gubernur Anies saat kampanye (Pilgub DKI Jakarta 2017) kan diimplementasikan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Nah itu tidak terealisasi, contohnya program ‘Rumah DP (down payment-uang muka) Nol Rupiah’.
Program Rumah DP Nol Rupiah sesuai target RPJMD disebutkan bahwa hunian yang akan dibangun selama lima tahun melalui program itu sebanyak 250.000 unit. Namun hingga saat ini, total hunian yang terbangun hanya 9.549 unit, terdiri dari 2.128 unit Rumah DP Nol Rupiah dan 7.421 unit Rusunnawa atau setara 3,81%, atau bisa dikatakan capaiannya tidak sampai 5% dari target.
Capaian ini jauh tertinggal dibanding Gubernur sebelumnya (Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok) yang membangun 11.000 unit rusun hanya pada periode 2016-2017. Sehingga kami (Fraksi PDIP) bisa mengatakan bahwa program Rumah DP Nol Rupiah adalah program gagal Anies Baswedan.
Program Ok Oce, yakni program menciptakan wirausaha baru bagi masyarakat kecil yang sesungguhnya merupakan program mulia, bahkan Pemprov DKI Jakarta menciptakan tujuh tahapan sehingga UMKM-UMKM bisa mendapatkan akses permodalan.
Beberapa hari lalu, Gubernur Anies menyatakan 326.000 wirausaha telah bergabung dan melampaui target.
Fraksi PDIP sekadar mengingatkan bahwa saat kampanye yang dijanjikan bukanlah mencetak jumlah pendaftar, melainkan memberi wirausahawan modal, mencarikan tempat, hingga mencarikan pembeli.
Namun nyatanya hingga tahun 2020, UMKM yang lolos tujuh tahapan hingga mendapat permodalan hanya 1.064 wirausahawan.
Padahal sesuai RPJMD ditargetkan 200.000 wirausahawan. Realisasi Pemprov DKI saat ini hanya mencetak 2% wirausahawan dari target yang dicanangkannya sendiri.
Soal naturalisasi sungai. Semua orang sejak dulu menyebutnya normalisasi sungai. Namun dia (Anies) bilang tidak, kemudian memilih menyebut naturalisasi. Oke kita ikuti, maka Program Normalisasi Sungai diubah menjadi Program Naturalisasi Sungai.
Namun realisasinya, selama lima tahun tidak pernah dilakukan sejengkal pun naturalisasi sungai-sungai di DKI Jakarta. Kami menganggap program pengerukan sungai bukanlah program naturalisasi sungai karena itu program rutin yang dilakukan tiap tahun.
Sementara akibat dari tidak dilakukannya Program Naturalisasi sungai, proyek sodetan Ciliwung tidak kunjung selesai dalam lima tahun terakhir. Bahkan Pemprov dihukum oleh PTUN akibat tidak melakukan pengerukan Kali Mampang pada tahun 2022.
Tidak berjalannya Program Naturalisasi Sungai mengakibatkan mangkraknya 1.984 unit rusun di Pasar Rumput yang dibangun khusus untuk relokasi mereka yang terdampak normalisasi Sungai Ciliwung. Padahal rusun sudah selesai dibangun oleh Kementerian PUPR dan diresmikan oleh Presiden Jokowi.
Kami juga melihat program sumur resapan Anies tidak memberikan dampak bagi penanggulangan banjir di Ibu Kota, walaupun sudah menghabiskan APBD hingga Rp400 miliar lebih. Bahkan di beberapa titik, sumur resapan mengakibatkan kerusakan infrastruktur.
Kemudian mandegnya Program Air Bersih dalam RPJMD. Gubernur Anies menargetkan akan ada 79,61% masyarakat DKI Jakarta mendapatkan akses air bersih. Namun kenyataanya hingga saat ini, jumlah warga yang mendapatkan akses air bersih hanya 65%, atau artinya 3,6 juta warga DKI Jakarta belum mendapatkan akses air bersih.
Bahkan pengambilalihan pengelolaan air bersih oleh PAM Jaya dari PT Aerta dan Palyja tidak jelas realisasinya hingga saat ini. Padahal kontrak akan berakhir 1 Februari 2023.
Kemudian mandegnya Program Sampah Ibu Kota. Sesuai RPJMD, Gubernur Anies mencanangkan akan ada empat titik Intermediate Treatment Facility (ITF) atau pengelolaan fasilitas sampah terpadu. Namun hingga detik ini, tidak ada satu titik pun terbangun. Padahal Jakarta akan menghadapi bencana krisis pembuangan sampah beberapa tahun ke depan.
Nah justru itu. Formula E justru bukan dedicated program yang artinya janji kampanye yang diimplementasikan di RPJMD. Nah harusnya kan yang diprioritaskan yang ada di RPJMD, sementara Formula E itu tidak ada.
Oke kalau ada program-program yang dimunculkan tiba-tiba karena urgent atau menjadi sebuah kebutuhan.
Namun pertanyaanya, apakah formula E sebuah kebutuhan? Justru menurut saya itu pemborosan dan gak jelas. Bahkan multiplier efeknya secara ekonomi tidak mengalir kepada masyarakat seperti pedagang kaki lima dan segala macam.
Emang pedagang kaki lima bisa masuk ke Ancol? Kan enggak. Padahal itu yang digembor-gemborkan.
Ya saya pikir program Formula E hanya program gagah-gagahan yang sebenarnya tidak mempunyai dampak positif bagi masyarakat secara ekonomi. Dan itu yang kita lihat bersama-sama.
Awalnya dikatakan nanti saat Formula E akan banyak pedagang-pedagang UMKM kecil kecipratan, akan terjadi multiplier effect positif secara ekonomi, juga ke bidang-bidang lain. Namun apa kenyataannya?
Sementara sejauh ini tidak. Sebab kalau memang ada, gak mungkin sampai muncul usulan di DPRD untuk mengajukan hak interpelasi. Jadi ketika Fraksi PDIP mengajukan hak interpelasi, itu bukan sekedar untuk gagah-gagahan. Tapi karena kami merasa komunikasi tidak dibangun. Padahal sejatinya pemerintahan di daerah itu adalah gubernur beserta DPRD.
Salah satunya karena tidak dibangun komunikasi dan pengelolaan Formula E juga tidak transparan. Tidak jelas.
Hal paling penting adalah tidak adanya transparansi untuk menjelaskan siapa yang mendanai Formula E. Maka muncul masukan BPK, supaya jangan terlalu menggunakan dana APBD untuk Formula E. Pada akhirnya Jakpro sumber dananya dari APBD DKI juga kan.
Makanya kita mengajukan hak interpelasi yang secara politis ingin mengajak Gubernur menjelaskan kepada DPRD. Kami ingin meminta kejelasan Gubernur terhadap Formula E. Wajar dong kita sebagai representasi atau perwakilan rakyat.
Padahal interpelasi sebenarnya kami juga memberi panggung yang strategis kepada Gubernur: Nih jelaskan kepada publik. Tapi kan dia gak mau.
Ya itu yang kita katakan tadi, arogansi tadi itu. Dia tidak menyadari situasinya dan akhirnya menggunakan pendekatan politis.
Kita sebenarnya memberi panggung strategis untuk gubernur untuk menjelaskan: ini lho Formula E, saya lakukan ini karena ini, ini, ini.
Kalau dijelaskan seperti itu kan lebih jelas. Tapi kenapa beliau tidak mau?
Kita kemudian kaget karena kemudian seolah-olah hak interpelasi yang kami usulkan jadi seperti di zaman Orde Baru. Padahal itu bagian dari pengawasan dalam artian luas dari DPRD.
Padahal kalau yang dia mainkan kemarin pendekatan teknokratis, ya jelaskan saja, memangnya kenapa? Bahkan sebenarnya itu bisa mengangkat marwah dia di hadapan publik Jakarta.
Nah itulah bagian dari landasan sehingga muncul usulan hak interpelasi. Interpelasi kita mainkan untuk meminta penjelasan secara detail sebagai pertanggungjawaban kepada publik karena menggunakan dana dari APBD yang notabenenya uangnya warga Jakarta.
Awalnya kita tidak tahu. Kita tahunya pas sudah kejadian.
Tidak ada makanya kami persoalkan. Padahal bagaimanapun ketika menyangkut penggunaan dana APBD, DPRD sebagai mitra harus diajak bicara.
Kalau itu saya belum berani mengomentari karena itu hak dan wewenangnya KPK. Kalau itu nanti biarkan sajalah persoalan hukum, karena saya tidak tahu banget bagaimana suasana di sana. Jadi kalau soal itu, saya menyerahkan sepenuhnya ke penegak hukum.(GIB/KEK)
Baca juga:
Aktivis Khawatir Pemeriksaan Anies Diseret ke Politik Jelang Pemilu 2024
Pekan Depan DPRD DKI Bahas Calon Pengganti Anies, Keputusan di Tangan Jokowi
Jakpro Pastikan Jakarta Tetap Jadi Tuan Rumah Formula E hingga 2024
Baca Juga: Pengamat: Mundurnya Mahfud Tak Pengaruhi Kredibilitas Pemerintahan Presiden Jokowi
gubernur dki anies baswedan johny simanjuntak formula e dprd dki jakarta pemilu 2024 pilpres 2024 capres 2024
Peringati HKN ke-60, Sekda Marullah Apresiasi Fask...
Pj Teguh Tegaskan Komitmen Pemprov DKI Sukseskan P...
Relawan Indonesia Emas dan KESIRA Gelar Baksos Cek...
Sahabat Nusa Gelar Diskusi dan Pengukuhan Pengurus...
Tampil Meyakinkan, Andalan Hati Beber Kerja Nyata...