CARITAU JAKARTA - Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) menyoroti perihal baleid pasal pidana dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 dinilai masih banyak yang multitafsir. Lantaran, tidak sesuai dengan potensi kecurangan pelanggaran Pemilu saat dilapangan dengan penerapan sanksi.
Anggota Bawaslu RI, Puadi menilai, sejumlah pasal-pasal di dalam UU Pemilu yang dinilai multitafsir dan tidak aplikatif itu menjadi salah satu problem khusus bagi pihak pengawas atau pihak Centra Gakumdu dalam menangani tindak pidana pemilu.
Baca Juga: Nyoblos di Duren Sawit, Pj Heru Minta Warga Jaga Keamanan dan Kerukunan
Pernyataan tersebut disampaikan Puadi dalam kegiatan Forum Koordinasi Sentra Gakkumdu yang digelar di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur, Selasa (20/6/2023).
Selain itu, Puadi menuturkan, rumitnya norma pidana dalam UU Pemilu telah mengindikasikan para pembuat kebijakan lebih mengutamakan penanganan pidana dari pada melakukan upaya pencegahan pelanggara dalam penyelenggaraan Pemilu.
"Jadi banyaknya norma pidana dalam Undang-Undang Pemilu telah mengindikasikan bahwa pembuat kebijakan itu lebih mengutamakan penanganan pidana (premium remedium) sebagai cara menanggulangi ketidakberesan dalam penyelenggaraan pemilu," ujar Puadi.
Dirinya mengungkapkan, penerapan penegakan sanksi pidana dalam kasus-kasus pelanggaran Pemilu tertentu belum tentu lebih efektif jika dibandingkan dengan sanksi administratif dan etik.
Pria yang menjabat sebagai Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran dan Data Informasi Bawaslu tersebut mencontohkan, ada petugas PPS (Panitia Pemungutan Suara) yang tidak mengumumkan DPS (daftar pemilih sementara).
Berdasarkan UU Pemilu, ia mengungkapkan, maka petugas tersebut akan dikenakan sanksi pidana sesuai Pasal 489 UU Pemilu. Contoh soal lain, misalnya partai politik peserta pemilu atau Caleg yang melakukan pelanggaran kampanye di luar jadwal yang diatur Pasal 492 UU Pemilu.
Dalam hal ini, Puadi melihat, bahwa penerapan sanksi pidana dalam kasus tertentu seharusnya menjadi langkah terakhir sebelum menerapkan sanksi administratif ataupun etik.
"Sanksi pidana seharusnya menjadi langkah terakhir (ultimum remedium) apabila sanksi administratif maupun etik sudah diterapkan, namun perbuatan kembali terulang," ungkap dia.
Selain itu Puadi menuturkan, meski banyak pasal pidana dalam UU Pemilu 7/2017, namun tren pelanggaran dalam pemilu atau pemilihan (pilkada) selalu berulang. Adapun menurut Puadi, pelanggaran pemilu terus terjadi lantaran belum tepatnya sanksi yang diterapkan kepada pihak pelanggaran.
Dalam keterangannya, Puadi menambahkan, bahwa pelanggaran yang sering terulang terus menerus itu di antaranya pelanggaran politik uang (money politic), ASN atau kepala desa yang tidak netral, atau pemilih yang mencoblos lebih dari sekali.
"Hal ini mengindikasikan bahwa pendekatan pidana kurang efektif," tandas Puadi. (GIB/DID)
Baca Juga: PPLN London Tanggapi Video Viral WNI Tidak Bisa Mencoblos
bawaslu kpu uu pemilu antisipasi pelanggaran money politic pemilu 2024
Masuk Minggu Tenang, Pj Teguh Pastikan Jakarta Ber...
Cawagub 02 Fatmawati Dua Bulan Keliling 24 Kabupat...
Kampanye Akbar 02 Andalan Hati, Panglima Dozer: Su...
PMJAK Desak Bawaslu DKI Tindaklanjuti Soal Dana Ka...
Yuks Ramaikan Kampanye Akbar Andalan Hati di GOR S...