CARITAU JAKARTA - Pemerintah berencana memberi dana insentif kepada pembeli kendaraan listrik (electronic vehicle) baik kepada mobil maupun motor listrik. Tak tanggung-tanggung, subsidi yang diberikan pun kepada masyarakat hingga puluhan juta Rupiah.
Adapun rinciannya, pemerintah akan memberi subsidi untuk orang yang membeli mobil listrik hibrida (hybrid electric vehicle/HEV) sebesar Rp40 juta, mobil listrik berbasis baterai (battery electric vehicle/BEV) Rp80 juta, sepeda motor listrik Rp8 juta, serta konversi sepeda motor listrik Rp5 Juta.
Baca Juga: Komisi II DPR RI Sepakat Tunda Rapat Evaluasi Pemilu 2024
Sementara di lain sisi, harga kendaraan listrik di pasaran cukup bervariasi. Dihimpun dari berbagai sumber, harga mobil listrik termurah saat ini dipegang oleh merk Wuling Air EV yang dibanderol Rp 238 juta - Rp 311 juta, Hyundai Ioniq EV Rp682 juta-Rp723 Juta dan lain-lain.
Lalu harga mobil hybrid di Indonesia dimulai dari harga Rp 293 juta (tipe Ertiga Hybrid SS-AT). Sedangkan harga motor listrik dibuka mulai Rp 8,5 juta (tipe U-Winflya Type New Love).
Namun baru-baru ini, Menteri Perindustrian Agus Guwinang Kartasasmita mengatakan bahwa tidak semua kendaraan listrik akan mendapat insentif dari pemerintah. Insentif ini hanya bakal diberikan pada produsen dan kendaraan listrik yang sudah diproduksi lokal di Indonesia.
"Itu syarat umumnya. Untuk industri roda empat sekarang baru dua yang punya (pabrik), Hyundai Ioniq 5 dan Wuling Air EV," sebut Agus dalam konferensi pers Akhir Tahun 2022, Selasa, 27 Desember 2022.
Tentu, jika subsidi pemerintah telah diberlakukan, masyarakat di Indonesia bisa membeli mobil listrik bertipe Wuling Air EV mulai dari Rp153 juta. Tentu harga mobil listrik tersebut cukup setara, bahkan di bawah harga mobil konvensional. Bagaimana, tertarik bukan?
Pro Kontra Kebijakan Kendaraan Listrik
Sekilas, pemerintah seakan memberi karpet merah kepada penerapan kendaraan listrik di tanah air. Di mana, Presiden Joko Widodo turut angkat bicara terkait rencana penggunaan transportasi yang disebut-sebut proyek transisi menuju energi hijau.
Dia mengatakan, pemerintah siap menggelontorkan dana dengan nilai total Rp5 triliun untuk subsidi pembelian kendaraan listrik.
"Kalau (industri kendaraan listrik-red) berkembang, pajak pasti meningkat, PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) pasti bertambah. Dan yang paling penting, membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya karena akan mendorong industri pendukung lainnya," ucap Jokowi dalam konferensi pers, beberapa waktu yang lalu.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebut, rencana subsidi kendaraan listrik diberikan dengan mempertimbangkan kajian, kalkulasi dan mempelajari penerapan kendaraan listrik di negara lain, terutama di negara Eropa yang telah lama melakukan kebijakan tersebut.
Pasalnya, hampir seluruh negara di benua biru telah memberlakukan kebijakan subsidi kendaraan listrik. "Nanti kalau hitung-hitungan sudah final, keputusan ini final betul, baru akan kita sampaikan," sebut dia.
Ucapan Presiden tersebut, seolah memberi legitimasi tersendiri bagi perangkat pemerintahan lainnya. Bahkan, aturan terkait kendaraan listrik telah jauh-jauh dibuat sejak bertahun-tahun silam. Hal ini tertuang dalam pelbagai payung hukum, seperti Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 Tahun 2019, PP No.73 Tahun 2019, UU No.1 Tahun 2022 dan lain-lain.
Dalam peraturan tersebut, terdapat kelonggaran dari pemerintah untuk konsumen dan produsen kendaraan listrik. Seperti halnya pembeli dibebaskan dari Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) dan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBNKB). Lalu, penikmat mobil setrum juga bebas dari Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM).
Namun, belum diketahui secara pasti kapan aturan pemberian subsidi kepada pembeli kendaraan listrik. Dikabarkan, subsidi bakal diterapkan mulai Juni 2023 hanya untuk kendaraan listrik yang diproduksi di Indonesia.
Selaku Menteri Perindustrian (Menperin), Agus Gumiwan Kartasasmita sepakat dengan perkataan presiden, soal pemerintah tengah memfinalkan kebijakan subsidi kendaraan listrik terlebih dahulu, sebelum disampaikan ke DPR.
"Masih banyak formula dari kebijakan pemberian insentif ini, yang pasti pemerintah akan berkonsultasi dengan DPR. Namun saat ini belum karena masih melakukan finalisasi," kata Menperin Agus.
Kendati ramai-ramai dibahas dan didukung oleh elit pemerintah, ternyata tidak semua elemen yang satu pendirian tentang realisasi kebijakan subsidi kendaraan setrum.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Negara (BAKN) DPR RI, Anis Byarwati mendesak pemerintah untuk meninjau ulang pemberian insentif bagi mobil listrik. Hal tersebut cukup beralasan, mengingat kendaraan roda empat di Indonesia masih tergolong sebagai barang mewah.
Anis merujuk pada pernyataan Sekretaris Jenderal Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) Kukuh Kumara, dengan jumlah penduduk Indonesia 270 juta jiwa, rasio kepemilikan mobil masih rendah. Yaitu 99 mobil dari 1.000 penduduk.
"Artinya mobil listrik masih menjadi barang mewah di negeri kita. "Sekarang ini, bukan insentif mobil listrik yang dibutuhkan rakyat. Jadi, kalau insentif diberikan kepada sesuatu yang tidak punya dampak ekonomi langsung kepada kesejahteraan masyarakat, saya kira hal itu patut untuk ditinjau ulang," kata Anis saat menghadiri Rapat Kerja Komisi XI DPR RI dengan OJK, di Nusantara I, DPR RI, Senayan, Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Hal yang tidak jauh berbeda disampaikan oleh Said Abdullah, selaku Ketua Badan Anggaran DPR RI. Dia menerangkan, subsidi untuk mobil listrik dan sepeda motor listrik tidak dialokasikan pada Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) 2023.
Said juga menegaskan, rencana subsidi yang sedemikian besar untuk kendaraan listrik tersebut sangat tak sebanding dengan alokasi program perlindungan sosial yang diterima oleh setiap rumah tanggan miskin.
“Jika subsidi ini akan direalisasikan dalam bentuk uang tunai untuk pembelian mobil dan motor listrik, dan jika direalisasikan tahun depan, maka kami tegaskan tidak ada alokasi APBN 2023 untuk dukungan kebijakan tersebut,” jelas Said, dikutip situs resmi DPR RI.
Pemerintah, sambung Said, hendaknya meninjau ulang rencana ambisius tersebut mengingat ancaman resesi dunia di tahun 2023 mendatang.
“Pada tahun 2023 kita harus bersiap menghadapi situasi ekonomi global yang tidak menentu. Karena itu kita membutuhkan ketangguhan fiskal pada APBN,” tandasnya.
Lantas, apakah Indonesia sejatinya telah bersiap untuk mengenyam secara masif penggunaan kendaraan listrik untuk menggantikan keberadaan kendaraan bensin. Atau masih banyak hal yang urgent lainnya yang mesti dibenahi otoritas terkait, sehingga pencanangan subsidi ini mesti dikaji atau ditunda dulu?
Target Tinggi Pemerintah, Realistiskah?
Berdasarkan riset Statista, penggunaan kendaraan listrik di dunia selalu mengalami kenaikan dari periode 2016-2021. Kenaikan tersebut terjadi di tipe mobil listrik plug in hybrid hingga mobil listrik dengan baterai.
Hingga 2021, tercatat bahwa total pengguna mobil listrik di seluruh dunia telah menyentuh angka 16,4 juta. Sedangkan di tahun 2022, hampir tiga juta unit mobil listrik terjual di seluruh dunia sejak Januari hingga Mei pada 2022.
Sementara untuk persentase penggunaan kendaraan listrik di dunia, Norwegia memimpin dengan persentasi cukup tinggi, yakni 74,8%. Lalu disusul oleh Islandia (45%), Swedia (32,2%)
Lantas, memangnya ada berapa kendaraan listrik di Norwegia? Diketahui, di sana ada 500.000 unit yang mayoritasnya adalah kendaraan listrik plugin atau plug-in electric vehicles.
Hal ini didukung oleh komitmen penuh pemerintah, yang diselaraskan oleh kesadaran masyarakat setempat. Di mana, Norwegia juga memiliki infrastruktur yang memadai soal penunjang kendaraan listrik. Jaringan pengisian daya yang cukup bagus, stasiun pengisian daya listrik juga tersedia dengan area parkir yang luas dan menonjol di kota Oslo.
Namun bagaimana jumlah kendaraan listrik di tanah air? Melansir dari data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sampai November 2022, tercatat ada sekitar 33.810 unit kendaraan listrik di Indonesia yang meliputi kendaraan pribadi dan konvensional.
Rinciannya, terdapat 7.679 unit mobil penumpang, 285 unit roda tiga, 25.782 unit roda dua, 58 unit bus, dan enam unit mobil barang.
Sementara untuk fasilitas penunjang seperti SPKLU atau Electric Vehicle Charging Station (EVCS) baru ada sekitar 439 unit di seluruh Indonesia. Sedangkan jumlah Stasiun Penukaran Baterai Kendaraan Listrik Umum (SPBKLU) untuk sepeda motor listrik baru ada sekitar 961 unit.
Rata-rata jumlah tersebut didominasi oleh wilayah Jabodetabek, Jawa Barat, dan Jawa Timur. Angka tersebut masih terbilang kecil, namun pemerintah tampaknya bakal menyusaikan dengan kebutuhan pasar yang ada.
Jumlah kendaraan listrik di Indonesia, sejatinya masih terbilang minim melihat target prestisius Indonesia. Di mana Kementerian ESDM menargetkan peningkatan penggunaan Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) di Indonesia pada 2030 mencapai 15 juta unit. Target tersebut terbagi dari mobil listrik sebesar 2.197.780 unit dan 13.469.000 unit motor listrik.
Lalu, akankah target itu bakal terkejar. Apalagi Indonesia juga memiliki bebas karbon di tahun 2060. Jika dikaitkan dengan kendaraan listrik, target itu bisa saja terealisasi, mengingat beberapa negara produsen kendaraan tenaga konvesional diprediksi berhenti beroperasi mulai 2035 mendatang.
Yang Tidak Disebutkan dari Kendaraan Listrik
Mobil listrik digadang-gadang sebagai mobil masa depan. Penggunaan mobil listrik diharapkan dapat ikut mengurangi emisi karbon dari sektor transportasi. Ia dianggap mendukung kontribusi bagi peningkatan gas rumah kaca di atmosfir.
Meskipun demikian, apakah mobil listrik benar-benar lebih ramah lingkungan sebagaimana kita harapkan?
Jika kita lihat, mobil listrik mengandalkan pasokan energinya dari energi yang disimpan dalam baterai ukuran besar, yang notabene membutuhkan ongkos lingkungan cukup tingai dalam proses produksinya. Baterai yang digunakan mobil listrik terbuat dari elemen logam tanah jarang (rare earth elements), seperti antara lain litium, nikel, kobalt atau grafit.
Salah satu komponen baterai mobil listrik, Nikel menjadi salah satu logam yang ada di Indonesia. Di mana Indonesia tercatat sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar dunia, yaitu 23,7% dari total cadangan dunia. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, Indonesia memiliki tambang nikel seluas 520.877,07 hektare (ha). Tambang tersebut tersebar di tujuh provinsi, antara lain Maluku, Maluku Utara, Papua, Papua Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, dan Sulawesi Tenggara.
Tentu seiring tingginya permintaan kendaraan listrik, juga meningkat pula kebutuhan akan nikel. Hal ini yang diwanti-wanti Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia akan dampak besar yang mengintai. Di mana, sejumlah konflik agraria antara warga dengan penguasa tambang nikel, kerap terjadi. Dampak lingkungan dari penambangan yang cukup merusak, hingga laporan lainnya menjelaskan, sejumlah pengusaha tambang tengah melobi pemerintah di pelbagai daerah untuk mengeluarkan izin tambang di kawasan hutan lindung.
Kemudian, terkait limbah baterai di masa depan. Baterai di kendaraan listrik disebut memiliki masa pakai yang tergolong cukup singkat, sekitar sepuluh hingga 12 tahun saja. Setelah itu, baterai perlu diganti dengan yang baru agar kendaraan bisa dipakai selanjutnya. Keterbatasan life time baterai ini akan menimbun limbah yang besar di masa depan.
Tak hanya mengenai jumlahnya, baterai kendaraan listrik merupakan baterai lithium yang tergolong kedalam limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3). Jenis limbah ini membutuhkan penanganan tersendiri sehingga tidak bisa dilakukan sembarangan. Sehingga pekerjaan rumah lain pemerintah adalah merancang dengan matang program daur ulang serta pengelolaan agar senyawa kimia yang ada pada baterai tidak malah merusak lingkungan.
Terakhir, untuk persoalan sumber listrik, hal ini akan meningkatkan ketergantungan manusia terhadap energi listrik. Akan tetapi, Indonesia sendiri masih mengandalkan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) untuk sumber energi listrik yang tidak rendah emisi. Kendati pemerintah menargetkan pada tahun 2025 penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) akan mencapai 25 persen, pada kenyataannya Indonesia masih sangat bergantung pada kontribusi batubara dan gas.
Menurut data yang disampaikan oleh Direktur Mega Project PLN Muhammad Ikhsan Asaad, subtotal penggunaan bahan bakar fosil mencapai 87,4 persen pada tahun 2020.
Peningkatan permintaan dari kendaraan listrik pada pembangkit listrik yang tidak ramah lingkungan ini secara tidak langsung akan menghilangkan aspek “hijau” dari kendaraan tersebut. Sehingga untuk membuat kendaraan listrik benar-benar “hijau”, pemerintah dan pihak terkait perlu melakukan penelitian lebih lanjut serta peralihan sumber energi ke EBT untuk efek yang nyata.
Namun kembali menatap ke depan, bahwa setiap perubahan pasti menimbulkan dampak lainnya. Penerapan kendaraan listrik secara masif tidak sepenuhnya buruk. Dengan kendaraan listrik, tentu tingkat emisi akan berkurang. Polusi hanya akan berasal dari pembangkit listrik dan tidak dari kendaraannya langsung.
Hal ini mesti menjadi perhatian pemerintah, bahwa hilir mudik ekosistem transportasi di Tanah Air hendaknya dibenahi dengan bijak dan serius. Tentu, Indonesia sebagai negara terbesar di dunia wajib untuk mewujudkan teknologi anyar di masa depan yang benar-benar ramah lingkungan. (Rahma Dhoni)
Baca Juga: Hak Angket Pemilu Curang di DPR, PKS Yakin PDIP Tak Akan Berpaling
mobil listrik ambisi jokowi subsidi kendaraan listrik dpr ri
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...