CARITAU JAKARTA - Usulan mekanisme sistem Pemilu proporsional tertutup alias pemilu tertutup kian ramai menjadi perbincangan publik. Wacana itu muncul diketahui usai salah satu kelompok dari organisasi masyarakat melakukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sistem pemilu yang saat ini berlaku yakni proposional terbuka.
Gugatan salah satu organisasi masyarakat ke MK itu pun menuai respon kencang dari sejumlah tokoh. Publik pun menilai, mekanisme sistem pemilu propersional tertutup yang digulirkan sebagai tanda sirine bahaya bagi kemunduran ruang demokrasi.
Baca Juga: Kenakan Baju Hitam, Usai Mencoblos Sri Mulyani Titip Pesan Ini kepada Presiden Terpilih
Analis Politik sekaligus Direktur Eksekutif Aljabar Strategic (EAS), Arifki Chaniago menilai, gugatan yang dilayangkan ke MK oleh sekelompok orang yang menghendaki Indonesia kembali ke sistem pemilu tertutup alias proposional tertutup merupakan sinyal kemunduran bagi ruang lingkup tatanan demokrasi Indonesia.
Rifki, sapaan akrab Arifki, mengatakan, jika nama-nama calon legislatif (Caleg) ditentukan oleh parpol, maka posisi rakyat untuk menentukan calon pemimpin yang amanah dan kredibel akan melemah.
Menurutnya, sistem Pemilu yang saat ini telah berjalan yakni sistem proposional terbuka alias Pemilu terbuka merupakan kemewahan terakhir yang dimiliki masyarakat di negara demokrasi.
"Memilih caleg dengan secara langsung adalah kemewahan terakhir yang harusnya dimiliki oleh masyarakat. Jika nama-nama caleg ditentukan parpol dan siapa yang berhak menjadi anggota DPR/DPRD juga diatur oleh parpol, posisi rakyat dalam ruang demokrasi di Indonesia semakin lemah," kata Rifki dalam keterangan tertulis yang diterima caritau.com, Kamis (5/1/2022).
Dirinya mengungkapkan, apabila nanti MK telah mengabulkan gugatan tersebut secara otomatis legitimasi pemilu maka akan berubah dari yang tadinya sepenuhnya ditangan rakyat menjadi ditangan Parpol.
"Jika masyarakat sudah merasa tidak punya hak lagi menentukan siapa perwakilan mereka di DPR dan DPRD. Artinya, demokrasi kita ibarat istana di atas pasir yang indah dilihat, tetapi nyatanya mudah roboh”, tandas Arifki.
"Terus, nantinya manfaat Pemilu itu sebagai legitimasi masyarakat terhadap pemimpin dan perwakilannya, (nanti akan) lagi-lagi diatur oleh parpol," ungkapnya.
Rifki mengungkapkan, berdasarkan pengalaman dari tahun 2008 hingga 2019 mekanisme sistem Pemilu terbuka yang telah diputuskan oleh MK lebih baik dari pada mengembalikan kepada sistem Pemilu tertutup.
Oleh karena itu, lanjut Rifki, perjalanan proses panjang mekanisme sistem Pemilu terbuka yang saat ini masih berjalan sudah sangat baik dan tidak harus dikembalikan kembali kepada sistem pemilu tertutup.
"Kekurangan dan kelebihan dari mekanisme sistem proporsional terbuka tidak harus dijawab dengan kembali kepada sistem proporsional tertutup," imbuh Rifki.
Rifki menjelaskan, sistem proporsional tertutup ini merugikan banyak hal. Pertama, soal peluang kader perempuan terpilih sebagai menjadi calon anggota DPR/DPRD lebih kecil.
"Karena Wewenang parpol dalam menentukan siapa saja yang berhak masuk ke parlemen bakal menyulitkan kader-kader perempuan bersaing diinternal dalam memperebutkan rekomendasi elite," jelas Rifki.
Rifki menambahkan, permasalahan yang kedua, yaitu mengenai partai-partai yang selama ini mengandalkan calegnya untuk meningkatkan suara partai harus kalah dengan partai yang memiliki “brand” yang kuat.
"Elite partai politik memiliki kendali penuh dengan meminimalisir ruang partisipasi publik. Anggota DPR/DPRD terpilih nantinya bakal mendahulukan kepentingan parpol dari pada kepentingan masyarakat," imbuh Rifki.
Selain itu, Rifki juga turut menyoroti pengusul kembali ke sistem proporsional tertutup tidak boleh menyalahkan sistem propesional terbuka begitu saja. Hal itu lantaran, menurut Rifki, apa apa yang harus dicapai ketika menjadi seorang pemimpin memang harus berpikir tentang nasib rakyat bukan nasib Parpol ataupun korporat.
Oleh karena itu, menurut Rifki alangkah baiknya, Parpol dan pengusul wacana Pemilu tertutup itu memperbaiki sistem kaderisasi anggota partai dan rekrutmen para calon legislatif yang bakal diusung, bukan ngotot untuk mengembalikan sistem proposional tertutup.
"Padahal, Parpol tersebut seharusnya memiliki wewenang penuh dalam menentukan nama-nama caleg. Sudah seharusnya parpol itu harus memulai dengan langkah memperbaiki sistem kaderiasi dan rekrutmen politik, bukannya kembali ke sistem propersional terutup," tegas Rifki.
“Permasalahan parpol itu kaderiasi dan rekrutmen, bukan sistem pemilu itu harus terbuka atau tertutup. Rakyat sudah menikmati bahwa mereka punya kuasa terhadap anggota DPR/DPRD terpilih atau tidaknya," tambah Rifki. (GIB)
Baca Juga: Bawaslu DKI Teruskan Rekomendasi soal Bagi-bagi Susu Gibran ke Pemprov DKI
pemilu proporsional tertutup direktur eksekutif aljabar strategic (eas) arifki chaniago pemilu 2024 parpol
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...