CARITAU JAKARTA - Kongres Pemuda Indonesia (KPI) melaporkan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) ke Komisi Yudisial (KY) buntut dari amar putusan gugatan yang memerintahkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk menunda proses tahapan Pemilu 2024 yang saat ini sedang berjalan.
Diketahui amar putusan yang telah ditetapkan PN Jakpus itu buntut dari laporan gugatan yang telah dilayangkan Partai Prima dengan tergugat KPU RI atas dugaan kecurangan proses verifikasi adminitrasi keanggotaan partai politik sebagai calon peserta pemilu 2024.
Baca Juga: Ada Kontak Tembak, TNI Siap Bantu Gelar Pemilu Ulang di Dogiayi dan Puncak Jaya
Partai Prima saat itu telah ditetapkan KPU RI sebagai salah satu parpol yang dinyatakan Tidak Memenuhi Syarat (TMS) sebagai Parpol peserta Pemilu 2024. Atas keputusan itulah, Partai Prima kemudian melayangkan gugatan ke PN Jakpus.
Sementara itu, Ketua KPI Jakarta, Sapto Wibowo menjelaskan, laporan yang dilayangkan kepada KY itu lantaran pihaknya menilai bahwa adanya dugaan pelanggaran etik yang dilakukan Majelis Hakim dalam putusanya soal penundaan Pemilu.
Berdasarkan hal itu, pria yang juga akrab disapa Sapto itu mendesak Lembaga Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), KPK, Bareskrim Polri hingga Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk mengusut tiga hakim PN Jakpus yang terlibat atas keputusan penundaan pemilu tersebut.
Adapun, dugaan pelanggaran kode etik terkait keputusan Majelis Hakim PN Jakpus tersebut telah teregister di Komisi Yudisial dengan nomor pendaftaran 0405/III/2023/P.
"Saya mohon KPK, PPATK, Kejaksaan Agung, Bareskrim untuk mengusut perkara ini. Tujuan saya, saya rasa kita warga negara Indonesia minta untuk mengecek PPATK ataupun Bareskrim, Kejagung mengecek tiga hakim ini," kata dia saat ditemui di Gedung KY, Jakarta Pusat, Senin (6/3/2023).
Dalam keteranganya, Sapto menilai bahwa ada dugaan ketidakwajaran atas putusan Majelis Hakim PN Jakpus yang memerintahkan KPU RI untuk menunda proses tahapan Pemilu 2024. Sapto menyebut, bahwa ada dugaan aliran dana yang mengalir kepada para hakim yang memutus perkara gugatan Partai Prima tersebut.
Sapto menerangkan, kecurigaan terkait dugaan adanya aliran dana yang masuk ke kantong para hakim tersebut muncul lantaran putusan perihal penundaan pemilu 2024. Menurut Sapto, PN Jakpus tidak berwenang memutus perkara yang berkaitan dengan kepemiluan. Hal itu lantaran untuk konteks penanganan pelanggaran pemilu yang memiliki wewenang yakni PTUN.
"Mungkin (ada aliran). Saya cuma curiga, menduga aja," tutur dia.
"Itu kan seharusnya ke PTUN atau Bawaslu, bukan ke Pengadilan Negeri," sambung Sapto.
Ketika dikonfirmasi perihal apakah ada dugaan upaya sistem yang terstruktur dan terorganisir yang menginginkan agar Pemilu 2024 ditunda, Sapto menjelaskan, bahwa saat ini pihaknya belum bisa untuk mengomentari hal tersebut dan hanya ingin fokus untuk mengikuti jalur hukum yang ditempuh.
"Kalau soal Pemilu, saya gak kesana. Kami fokus di hasil putusan yang menurut kami kurang tepat," tandas Sapto.
Diberitakan sebelumnya, Kuasa Hukum Pelapor, Pitra Romadoni Nasution menyebut, laporan yang dilayangkan ke KY itu dilakukan lantaran putusan Majelis Hakim PN Jakpus yang meminta KPU RI untuk menunda Pemilu 2024 merupakan hal yang tidak wajar alias aneh.
Hal itu lantaran, menurut Pitra, bahwa dalam proses rangkaian persidangan yang dijalankan di PN Jakpus itu ada dugaan ketidakselarasan antara nama penggugat yang tercatat di Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakpus dengan amar putusannya.
Pitra mengungkapkan, hal itu terungkap karena didalam SIPP PN Jakpus nama penggugat yang tercatat adalah nama perseorangan sementara didalam amar putusan soal perintah penundaan pemilu kepada KPU, nama penggugat tertulis atas nama partai politik (parpol).
"Anehnya diamar putusan di poin dua yang bersangkutan menyatakan penggugat adalah parpol. Sedangkan di SIPP penggugat adalah partai politik," kata Pitra di Gedung KY, Senen, Jakarta pusat, Senin (6/3/2023).
"Ini aneh, gak nyambung, lain cerita kalau dia menyaatakan penggugat adalah pengurus parpol, ketua atau sekertearis itu masih logika, kalau dia perorangan diakatakan parpol gak nyambung logika hukumnya," sambung Pitra.
Dalam keteranganya, Pitra menilai, keputusan untuk melayangkan laporan ke KY itu dilakukan lantaran pihaknya terlebih dahulu sudah cakap mempelajari keputusan PN Jakpus soal tunda Pemilu tersebut. Atas dasar itulah, lanjut Pitra, ia meyakini terdapat dugaan pelanggaran etik atas keputusan PN Jakpus itu.
"Pada hari ini kita melaporkan resmi majelis hakim yang memutus mengadili dan memeriksa perkara nomor 757 Pengadilan Negeri Jakpus, karena kami menilai di dalam amar putusan tersebut yang telah kami peroleh dari SIPP," terang Pitra.
Pitra mengunhkalkan, bahwa PN Jakpus dalam mengadili dan memutuskan perkara gugatan Partai Prima tersebut, telah melampaui tugas kewenangannya. Hal itu lantaran, harusnya PN Jakpus tidak memiliki wewenang mengenai hal putusanya untuk menunda pemilu.
Menurut Pitra, dalam perkara itu, seharusnya yang memiliki wewenang kompetensi absolut dalam membahas perkara tersebut adalah PTUN dan Bawaslu RI. Hal itu lantaran, PN Jakpus pada kasus ini hanya bisa memutuskan soal masalah perdatanya bukan perihal hukum ketatanegarannya.
"Saya kira masyatakat Indonesia mengerti terkait aturan hukum dan prosedur, bagian-bagian mengenai terkait dengan permasalahan parpol, mana ada kaitan PN Jakpus mengadili persoalan parpol, itu adalah kewenangannya administrasi negara, yaitu kewenangan PTUN," tandas Pitra. (GIB/DID)
Baca Juga: Ada Kampanye Akbar di GBK, Dishub DKI Berlakukan Rekayasa Lalu Lintas pada 10 Februari 2024
kpi putusan pn jakpus duga ada aliran dana penundaan pemilu ky ptatk pemilu 2024
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...