CARITAU JAKARTA – Beberapa waktu ini nama Gita Savitri Devi ramai menjadi perbincangan khalayak. Pernyataannya tentang ‘childfree’ resep awet muda serta memiliki anak adalah beban, menuai banyak kritik.
Sosok konten kreator yang sudah menetap selama 11 tahun di Jerman ini memutuskan tidak memiliki anak atau childfree bersama suaminya Paul Partohap.
Baca Juga: Kepala BKKBN: Lebih Penting Prakonsepsi Ketimbang ‘Pre-wedding’
Saat pertama kali mengumumkan untuk childfree, perempuan yang akrab disapa Gitsav itu pernah mendapat pertanyaan dari salah satu pengikutnya di Instagram, mengenai perasaan Gita Savitri jika seandainya ia dikaruniai anak oleh Tuhan. Namun, Gita menyebut kalau kemungkinan itu tidak akan terjadi dan ia tetap dengan pendiriannya.
"Di kamus idup gue, 'tiba-tiba dikasih' is very unlikely (sangat tidak mungkin). IMO (Menurut pendapatku) lebih gampang gak punya anak daripada punya anak. Karena banyak banget hal preventif yang bisa dilakukan untuk tidak punya anak," kata Gitsav beberapa waktu lalu.
Dari keputusan yang dibuatnya, Gitsav menyadari banyaknya kontra yang ditimbulkan. Namun, ia tak mengambil pusing dengan komentar-komentar negatif. Ia justru akan semakin yakin dan menikmati pilihannya.
“Kalo kontranya yang waras mah biasa aja. Kalo yang gak waras, yang udah nagging guilt-trip bawa-bawa agama, yang udah 'alaah sok idealis masak sik gak mau', ya gue tambah menikmati hidup dong," kata Gita.
Bicara tentang childfree, hal tersebut tidak terlepas dari perspektif budaya kolektif rata-rata masyarakat Asia khususnya. Kultur masyarakat menuntut atau mengharapkan seseorang yang telah memasuki usia dewasa untuk menikah dan setelah menikah akan ditanyakan tentang kehadiran anak. Hal tersebut salah satunya yang memicu perdebatan di netizen Indonesia.
Ada beberapa alasan yang melatarbelakangi keputusan tersebut. Salah satu alasan yang menarik yakni berkaitan dengan isu atau permasalahan lingkungan dan kecakapan finansial. Populasi penduduk bumi yang semakin meningkat, tetapi tidak sejalan dengan ‘kesehatan’ bumi dan ketersediaan pangan.
Selain itu semakin tingginya biaya pendidikan, ketidakpastian pekerjaan yang berdampak pada kemampuan ekonomi seseorang juga banyak memengaruhi keputusan seseorang memutuskan untuk childfree sebagai langkah yang dapat ditempuh.
Dalam teori perkembangan psikososial Erikson, ia menyatakan setiap orang akan memasuki tahap stagnan dan generativitas. Orang yang stagnan cenderung sulit menemukan cara berkontribusi pada kehidupan.
Sementara itu, generativitas akan mendorong seseorang peduli pada orang lain, kemudian selalu menciptakan dan mencapai hal-hal yang membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, termasuk melalui pernikahan.
Akan tetapi, pada perkembangannya, generativitas ini tidak hanya membatasi pada domain pernikahan dan menjadi orang tua. Sehingga orang-orang yang memutuskan hidup lajang atau pasangan yang menganut childfree biasanya akan mengekspresikan generativitasnya melalui berbagai bidang kehidupan.
Bagi Gitsav, memiliki anak adalah tanggung jawab besar dan harus dipersiapkan dengan matang. Hal ini tentu menimbulkan pro dan kontra karena childfree dianggap tidak lazim di Indonesia.
Indonesia dalam Pusaran ‘Resesi Seks’ Negara Asia
Terlepas dari segala kegaduhan pernyataan dan sikap Gita Savitri terkait childfree, persoalan tersebut adalah cerminan nyata masalah demografi di negara-negara besar dan maju yang belakangan juga menghantui negara berkembang.
Dalam rentang waktu dua hingga tiga dekade ke belakang, penyusutan populasi menjadi salah satu masalah yang dihadapi oleh beberapa negara besar baik di Amerika, Eropa bahkan Asia. Salah satu yang paling signifikan adalah Jepang, terkait hal tersebut bahkan pemerintahnya merespons hal tersebut sebagai situasi krisis, atau belakangan populer dengan terminologi ‘resesi seks’.
Apa sebenarnya 'resesi seks' yang hingga kini masih menghantui negara-negara besar? Dikutip dari jurnal The Atlantic, istilah 'resesi seks' merujuk pada penurunan rata-rata jumlah aktivitas seksual yang dialami suatu negara sehingga memengaruhi tingkat kelahiran yang rendah.
Dalam artikel yang dirilis pada 2018 tersebut, editor senior The Atlantic, Kate Julian, menuliskan tentang 'resesi seks' di AS. Julian membeberkan kekhawatiran remaja dan dewasa di AS melakukan seks lebih sedikit ketimbang generasi sebelumnya.
Ia merujuk pada data Survei Perilaku Risiko Remaja yang dilakukan Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS.
Berdasarkan survei itu, persentase murid SMP dan SMA yang melakukan hubungan seksual di negara itu berkurang dari 54% ke 40% sejak 1991 sampai 2017.
Insider juga melaporkan jumlah warga AS berusia 18 hingga 29 tahun yang tak melakukan seks sejak 2008 hingga 2018 meningkat dua kali lipat.
"Dengan kata lain, di jeda generasi, seks berubah dari sesuatu yang paling sering dilakukan anak SMP dan SMA, ke sesuatu yang paling jarang dilakukan oleh generasi muda sekarang," tulis Julian.
Di tengah persoalan ‘resesi seks’ yang dialami sejumlah negara seperti Amerika, China, Korea Selatan, Jepang, hingga Thailand, negara kita ternyata tidak mengalaminya. Hal tersebut tercatat dalam data total fertility rate atau rata-rata jumlah kelahiran di Indonesia yang tumbuh 2,1%.
Selain itu jumlah pernikahan di Indonesia juga masih relatif tinggi, mencapai angka 2 juta per tahun dengan angka kehamilan 4,8 jiwa. Hal tersebut diungkapkan Presiden Joko Widodo saat membuka Rapat Kerja Nasional Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) beberapa Jumat (27/1/2023)
"Artinya Indonesia tidak ada ‘resesi seks’. Angkanya masih tumbuh 2,1%, ini masih bagus," jelas Jokowi .
Sebelumnya, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo mengungkapkan, resesi seks bisa saja terjadi di Indonesia. Namun, prosesnya masih panjang dan tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Menurut Hasto, saat ini masyarakat Indonesia masih banyak yang melangsungkan pernikahan.
Pun, kebanyakan pasangan yang sudah menikah di tanah air bersifat prokreasi atau hubungan suami istri yang bertujuan menghasilkan keturunan sebagai generasi penerus.
"Potensi (resesi seks) itu ada. Ada ya, tapi sangat panjang, karena kan usia pernikahan semakin lama semakin meningkat. (Ini bicara) pernikahan lho bukan seks," jelas Hasto.
Mundurnya usia pernikahan, kata Hasto biasanya terjadi karena salah satu pasangan ingin terlebih dahulu menempuh studi, karier, dan sebagainya.
Namun, sebenarnya apa yang dimaksud dengan data fertilitas? Data fertilitas sendiri didefinisikan sebagai peristiwa melahirkan anak lahir hidup dari seorang perempuan. Istilah ini sama dengan kelahiran hidup (live birth), yaitu terlepasnya bayi dari rahim seorang perempuan dengan ada tanda-tanda kehidupan.
Dikutip dari laman bps.go.id pada Sensus Penduduk 2020 (SP2020) Lanjutan, dilakukan pendataan parameter demografi yang akurat dan lebih lengkap dengan memuat pertanyaan yang lebih banyak dan kompleks. Salah indikator utama yang dikumpulkan adalah fertilitas.
Pengukuran fertilitas mengamati penduduk perempuan pada periode masa reproduksi, yaitu perempuan pada periode masa subur atau masa dimulai menstruasi pertama (menarche) sampai menopause. Periode pengamatan masa subur yang digunakan adalah rentang usia 15-49 tahun.
Angka Kelahiran di Indonesia Cenderung Turun
Sebenarnya, jika dihitung berdasarkan rentang waktu enam dekade terakhir, Angka kelahiran total (total fertility rate/TFR) di Indonesia terus mengalami penurunan. Dihimpun dari data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bank Dunia, dalam enam dekade terakhir, TFR Berdasarkan data BPS, TFR di Indonesia tercatat sebesar 2,1% pada 2022.
Ini berarti rata-rata satu perempuan di dalam negeri melahirkan dua orang anak selama masa suburnya. Sementara TFR berkurang dibandingkan pada 1960 yang sebesar 5,67%. Membaca data tersebut, dapat disimpulkan jika rata-rata satu perempuan melahirkan 5-6 anak sepanjang masa suburnya.
Menurut data BKKBN, data TFR yang ada saat ini sudah cukup ideal untuk mendorong tercapainya pertumbuhan penduduk Indonesia yang seimbang. Dengan demikian, bonus demografi Indonesia ke depannya bisa dimanfaatkan secara optimal.
Menurunnya TFR tak lepas dari berjalannya program Keluarga Berencana(KB) yang dicanangkan pada 1970. Semenjak digalakkannya program dengan slogan ‘Dua Anak Cukup’ itu, TFR terus mengalami penurunan.
‘Resesi Seks’ Akibat Persoalan Ekonomi
Tak hanya di negara berkembang seperti Indonesia, Thailand atau Myanmar, nyatanya ‘resesi seks’ atau penurunan TFR juga dialami negara-negara maju di Asia seperti Korea Selatan dan Jepang. Salah satu faktor utamanya adalah ekonomi.
Korea Selatan misalnya, dilansir dari data World Economics Forum, populasi Korsel telah mulai menyusut sejak mencapai puncaknya pada tahun 2020 sebesar 51,84 juta jiwa. Laju penurunan tersebut diperkirakan masih akan terus berlangsung dan semakin cepat karena angka kelahiran yang rendah berdasarkan data resmi pemerintah setempat.
Jumlah bayi yang lahir di Korea Selatan mencapai rekor terendah pada November 2022 lalu. Dalam laporan Yonhap, tercatat sebanyak 18.982 bayi lahir di November, turun 4,3% dari tahun sebelumnya. Jumlah ini menandai angka terendah sejak tahun 1981.
Selama periode Januari-November 2022, sebanyak 231.863 bayi lahir. Ini turun 4,7% dari tahun sebelumnya. Tingkat kesuburan totalnya, jumlah rata-rata anak yang dilahirkan seorang wanita seumur hidupnya, hanya mencapai 0,79 pada kuartal ketiga. Pada tahun 2021, nilainya berada di 0,81, menandai tahun keempat berturut-turut berada di bawah satu.
Angka tersebut jauh lebih rendah dari tingkat penggantian 2,1 yang akan membuat populasi Korea Sel stabil di 51,5 juta.
Salah satu faktor utamanya adalah akibat banyak anak muda yang menunda atau menyerah untuk memiliki bayi. Keputusan mereka sendiri dipicu persoalan ekonomi dan harga rumah yang tinggi di Korea Selatan. Atau yang belakangan berkembang dengan istilah ‘childfree’.
Terkait dengan penurunan populasi di Korea Selatan, salah satu hal yang terdampak adalah habisnya cadangan dana pensiun di negara tersebut. Berdasarkan data, Layanan Pensiun Nasional (NPS) Korea Selatan memprediksi jika cadangan dana pensiun mereka akan habis lebih awal di 2055 mendatang.
Saat ini, NPS Korea Selatan memiliki dana 915 triliun won (atau setara Rp11.120 triliun) pada akhir Oktober 2022, terbesar ketiga di dunia. Jumlah tersebut setara dengan 42% dari perkiraan produk domestik bruto tahunan tahun itu, menurut data resmi yang dikutip CNA.
Terkait hal tersebut, Presiden Yoon Suk-yeol, yang menjabat sejak Mei 2022, telah menjanjikan reformasi besar-besaran sistem pensiun nasional dengan tujuan membuatnya lebih berkelanjutan.
Sama halnya dengan Korea Selatan, Jepang juga mengalami penyusutan populasi yang cukup signifikan. Jepang dilaporkan mencatatkan angka kelahiran terendah pada 2022 ini. Bahkan pemerintah Jepang merespon hal tersebut sebagai ‘situasi krisis’.
Dilansir dari kantor berita Kyodo News, sepanjang Januari-September 2022, angka kelahiran Jepang hanya mencapai 599.636 bayi. Angka ini berkurang 4,9% dibanding tahun lalu yang sebelumnya memecahkan rekor natalitas terendah.
Mengacu angka kelahiran sejauh ini, jumlah total kelahiran bayi di Jepang pada 2022 diperkirakan akan ada di bawah rekor terendah tahun lalu yang mencapai 811.000 bayi.
Sama seperti Korea Selatan, pemerintahan Jepang telah melangsungkan berbagai upaya untuk mengajak masyarakat memiliki anak. Namun, walaupun menjanjikan subsidi kehamilan, kelahiran, dan perawatan anak, kebijakan pemerintah urung menghasilkan dampak signifikan.
"Laju (kelahiran) ini bahkan lebih lambat dari tahun lalu. Saya paham bahwa ini adalah suatu situasi krisis," kata Matsuno dikutip Associated Press, Senin (28/11/2022).
Walaupun berstatus negara dengan ekonomi terbesar ketiga di dunia, masyarakat Jepang menghadapi masalah biaya hidup tinggi dan lambatnya kenaikan upah. Selain itu, pemerintahan konservatif Jepang juga dilaporkan gagal mendorong masyarakat yang lebih inklusif bagi anak-anak, perempuan, dan kelompok minoritas.
Banyak kaum muda Jepang dilaporkan menolak menikah atau berkeluarga. Sejumlah faktor yang memengaruhi adalah prospek kerja yang suram dan budaya kerja yang tidak kompatibel bagi pasutri yang semuanya bekerja.
Selama 14 tahun terakhir, populasi Jepang menurun dari semula 125 juta jiwa, diproyeksikan menyusut hingga 86,7 juta jiwa per 2060.
Angka kelahiran di Jepang terjun sejak 1973, ketika angka kelahiran tertinggi tercatat, yakni 2,1 juta bayi. Per 2040, angka kelahiran diproyeksikan turun hingga tinggal 740.000 bayi.
Perubahan Konsep Anak di Jepang
Dalam beberapa dekade terakhir, Jepang dihadapkan pada masalah yang berhubungan dengan kondisi demografi. Hal tersebut disebabkan karena terus terjadinya penurunan jumlah kelahiran dan pesatnya pertumbuhan populasi lansia.
Akibatnya, struktur demografi Jepang menunjukkan kondisi masyarakat menua atau koreika shakai. Rendahnya pertumbuhan kelahiran di Jepang menjadi sorotan dari beberapa pengamat demografi, media massa baik yang berada di Jepang maupun luar negeri. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan populasi penduduk alami hanya akan terjadi jika tingkat kelahiran lebih besar dibandingkan dengan tingkat kematian.
Bahkan fenomena tersebut dikatakan sudah terjadi di Jepang sejak tahun 1975, dan kemudian dikenal dengan nama shoushika. Shoushika sendiri berasal dari huruf kanji [ 少 ] = sedikit, [ 子 ] = anak, dan [ 化 ] = perubahan.
Sehingga shoushika dapat dirumuskan sebagai kondisi pada saat jumlah kelahiran mengalami perubahan menuju jumlah yang lebih sedikit, hal tersebut diungkapkan Masahiro Yamada dalam bukunya yang berjudul ‘Shoushika Shakai Nihon’ mengatakan bahwa shoushika adalah keadaan menurunnya jumlah anak yang dilahirkan (Yamada, 2007: 3).
Dikutip dari jurnal berjudul ‘Fenomena Shoushika Di Jepang: Perubahan Konsep Anak’, Arsi Widiandari yang dipublikasi di ejournal.undip.ac.id, Baby boom Jepang pertama terjadi pasca PD II yaitu tahun 1947-1949. Pada tahun ini pemerintah menerapkan peraturan berkaitan dengan perencaaan keluarga, dan sejak tahun 1949 jumlah kelahiran mengalami penurunan dengan alasan meningkatnya aborsi demi meningkatkan kualitas hidup.
Baby Boom kedua muncul tahun 1971-1974, pada masa ini masyarakat Jepang berada di puncak kemakmuran dan tidak memiliki kenangan akan perang. Kemudian sejak tahun 1974 jumlah kelahiran mengalami penurunan berkaitan dengan perubahan gaya hidup. Dalam penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, pernikahan sering disebut sebagai faktor utama yang menentukan jumlah kelahiran, di antaranya adalah meningkatnya fenomena bankonka 1 dan jumlah populasi dari orang yang tidak menikah (Ueno,1998; Retherford et al,1996; Ogawa,2003).
Kata shoushika pertama kali muncul di tahun 1992, dalam sebuah judul White Paper yang dikeluarkan oleh pemerintah Jepang yang berjudul Shoushi shakai no tourai, sono eikyou to taisaku (Masahiro, 2007: 3).
Fenomena ini menjadi perhatian publik pada tahun 1989, ketika TFR Jepang mencapai angka terendah pada saat itu yaitu 1,57%, di bawah TFR pada tahun 1966 yaitu 1,58%, peristiwa tersebut kemudian dinamakan dengan ‘1,57 shock’.
Proses panjang tersebut juga diikuti dengan adanya perubahan masyarakat Jepang yang pada awalnya adalah masyarakat pertanian menjadi masyarakat industri, sehingga anak yang semula adalah sumber tenaga kerja keluarga yang mempunyai nilai produksi, berubah menjadi konsumen yang harus difasilitasi dengan disediakannya kesehatan dan pendidikan yang layak.
Selain itu, adanya generasi yang disebut dengan istilah shinjinrui atau generasi baru, adalah mereka yang lahir pada era tahun 1960-an dan setelahnya. Mereka tumbuh dalam masyarakat Jepang ketika Jepang tengah berada pada periode pertumbuhan ekonomi dan menikmati keuntungan saat berada di usia 30 tahun. Wanita yang terlahir dalam era ini mempunyai pikiran bahwa melahirkan dan menghabiskan uang untuk pendidikan anak merupakan suatu kerugian ekonomi.
Dari banyak data yang di sebutkan di atas, salah satu faktor utama yang memutuskan banyak orang untuk memutuskan akhirnya tidak memiliki anak adalah faktor ekonomi. Hal tersebut tentunya menjadi tantangan besar bagi pemerintah Jepang untuk menjaga stabilitas ketersedian SDM dan kondisi pertumbuhan populasi natural.
Dikutip dari teori ekonomi fertilitas Leibenstein, jumlah penduduk menjadi kekuatan suatu negara. Sementara, tersedianya sumber daya manusia sangat berkaitan erat dengan pertumbuhan populasi, khususnya jumlah kelahiran.
Jumlah kelahiran merupakan faktor yang dapat menentukan jumlah usia produktif yang berfungsi sebagai pengganti generasi sebelumnya.
Di Indonesia sendiri, angka fertility rate mencapai 2,1%. Kepala BKKBN, Hasto Wardoyo mengatakan angka ini sebenarnya menjadi target pada 2024.
"Perlu kami sampaikan istilah total fertility rate mengandung arti bahwa perempuan itu harus melahirkan anak berapa, dan total fertility rate ditarget 2,1% dalam rangka untuk pertumbuhan penduduk seimbang, ini adalah target tahun 2024. Akan tetapi berbagai hasil pendataan dan juga survei menunjukkan bahwa hari ini angka itu sudah mendekati 2,1%," ujar Hasto.
Hasto mengatakan angka itu bisa menjadi kabar bahagia sekaligus mengkhawatirkan. Rata-rata perempuan hanya praktis melahirkan 1 anak perempuan.
"Kami lakukan pendataan keluarga, ya ini boleh tepuk tapi juga boleh tidak tepuk, sebetulnya karena 2,1% bisa membahagiakan dan mengkhawatirkan. Karena angka 2,1% berarti perempuan-perempuan hanya praktis akan melahirkan 1 anak perempuan rata-rata. Sehingga pas sekali bahwa 1 perempuan meninggal digantikan 1 perempuan lahir sehingga nanti akan berkesinambungan sustainability-nya terjaga," pungkasnya. (Irfan Nasution)
Baca Juga: BKKBN: Pendidikan Semakin Tinggi Salah Satu Sebab Usia Menikah Mundur
digempur fenomena childfree dan resesi seks fertility rate di indonesia masih tembus 2 1% gitsav resesi seks di jepang bkkbn banyak anak banyak rejeki
PMJAK Desak Bawaslu DKI Tindaklanjuti Soal Dana Ka...
Yuks Ramaikan Kampanye Akbar Andalan Hati di GOR S...
Masyarakat Bantaeng Sambut Kunjungan Andi Sudirman...
GKJ Pererat Hubungan dengan Warga Melalui Jumat Be...
Demi Kepentingan Kaum Betawi, RK dan Eki Pitung Se...