CARITAU JAKARTA – Film ‘Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI’ yang berkisah tentang pemberontakan Gerakan 30 September 1965 oleh Partai Komunis Indonesia (PKI), dirilis tahun 1984 dan menjadi tontonan wajib mayoritas bangsa Indonesia pada setiap 30 September hingga rezim Orde Baru tumbang melalui gerakan Reformasi 1998.
Belakangan setelah Orba tak lagi berkuasa, film yang dibintangi Amoroso Katamsi sebagai Letjen Soeharto itu mulai dikritisi banyak pihak, terutama terkait fakta-fakta di dalamnya yang menurut sebagian orang terlalu didramatisir atau bahkan tidak sesuai fakta.
Film ‘Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI’ yang diproduksi Perum Produksi Film Negara (PPFN) dan disutradarai oleh sineas terkemuka Arifin C Noer, sedangkan skenario didasarkan pada sebuah buku tahun 1968 yang ditulis oleh sejarawan Nugroho Notosusanto dan periset Ismail Saleh, keduanya mantan menteri di Kabinet Pembangunan Soeharto, yakni Mendikbud dan Jaksa Agung yang kemudian Menteri Kehakiman, berjudul ‘Tragedi Nasional Percobaan Kup G30S/PKI di Indonesia’.
Buku dibuat untuk melawan teori Cornell Paper julukan untuk naskah berjudul ‘A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia’ yang ditulis Benedict Anderson dan Ruth McVey peneliti dari Cornell University New York AS yang mencoba mengungkap peristiwa G30S.
Hasil penelitian awal Anderson dan McVey menyatakan bahwa Soekarno dalang dari pembunuhan enam jenderal dan satu perwira pada peristiwa G30S, meski hasil akhirnya menyimpulkan bahwa G30S adalah murni konflik internal Angkatan Darat.
Pembuatan film G30S/PKI memakan waktu selama kurang lebih dua tahun, di mana empat bulan praproduksi dan 1,5 tahun pembuatan film. Film rampung pada tahun 1984 dan resmi ditayangkan ke publik. Pemerintah Orde Baru saat itu memberlakukan kewajiban bagi setiap pelajar di segala lapisan, PNS, atau pegawai BUMN dan BUMD wajib menonton.
Selain diputar di layar lebar, selanjutnya film diputar di TVRI setiap tanggal 30 September.
Konon, film ini menghabiskan dana Rp800 juta, angka yang sangat fantastis saat itu sehingga menjadi film termahal di Indonesia pada dekade 1980-an. Jika dihitung dengan kalkulator inflasi, maka pada tahun 2022 ini senilai Rp14 miliar.
Film ‘Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI’ pun sukses besar, berhasil menyabet gelar prestisius yakni tujuh nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 1984, kendati hanya memenangkan satu Piala Citra untuk kategori Skenario Terbaik.
Tak hanya itu, film juga meraih Piala Antemas yang merupakan penghargaan khusus di ajang FFI 1984 sebagai Film Terlaris periode 1984-1985.
DN Aidit Bukan Perokok
Mereka yang telah menonton G30S/PKI pastilah segera terbayang bagaimana di awal film para gembong PKI hampir selalu berkutat dalam rapat-rapat yang pengap dengan asap rokok.
DN Aidit misalnya, Pemimpin CC (Comite Central) PKI itu tampak tak pernah henti mengisap dan menghembuskan asap, atau terlihat gaya merokok yang menderu-deru karena gelisah.
Namun belakangan muncul kesaksian dari Murat Aidit, adik kandung DN Aidit, melalui buku berjudul ’Aidit Sang Legenda’ bahwa keluarga mereka tidak ada yang menjadi pecandu rokok, termasuk Aidit.
“Dalam film itu diperagakan seolah-olah DN Aidit merupakan pecandu rokok yang hebat. Saya dan teman-teman selalu tersenyum kalau melihat potongan adegan ini karena DN Aidit merupakan orang yang jarang atau bisa dikatakan tak pernah merokok," tulis Murad.
Tak Ada Cungkil Mata
Film G30S/PKI yang berdurasi 3 jam 37 menit itu juga dinilai mendramatisasi penyiksaan terhadap empat pahlawan revolusi yang tertangkap hidup-hidup di Lubang Buaya. Salah satunya adegan penyiletan ke wajah salah satu jenderal oleh Gerwani, sebelum kemudian dibuang ke sumur tua.
Dramatisasi sadis itu tampaknya mengambil laporan-laporan berita yang dimuat koran Berita Yudha pada 9 Oktober 1965, yang menyebut tentang para jenderal yang dicukil matanya, atau alat kelamin dipotong oleh para aktivis Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) yang merupakan organisasi perempuan PKI.
Namun sejarawan Benedict Richard O’Gorman Anderson dalam jurnal ‘How did The General Dies’ (1987) membantah penyiksaan tersebut, serta menegaskan bahwa jenazah meninggal akibat luka tembak.
Hal tersebut dipaparkan Anderson setelah menelaah hasil otopsi dan visum yang dilakukan oleh tim yang terdiri dari dr Lim Joe Thay, dr Brigjen Rubiono Kertopati, dr Kolonel Frans Pattiasina, dr Sutomo Tjokronegoro dan dr Liau Yan Siang yang tidak menemukan bekas penyiksaan seperti penyiletan, pemotongan alat kelamin, atau bahkan pencungkilan mata.
Anderson pun menyebut semua organ tubuh para perwira tinggi AD itu masih utuh.
Pada tahun 1972, Anderson diusir dari Indonesia setelah tulisan dan hasil analisisnya membuat gerah rezim. Dia baru kembali ke pada Indonesia tahun 1998, setelah Soeharto dilengserkan.
Bung Karno Sakit Parah?
Hal lain di dalam film yang tampaknya perlu dibutkikan keabsahannya tak lain kondisi Presiden Soekarno yang disebut dalam kondisi sakit keras, di mana peluangnya hanyalah lumpuh jika sembuh atau meninggal dunia.
Jadi bagaimana sebenarnya kondisi kesehatan Bung Karno menjelang kudeta kelam itu?
Bung Karno pada malam itu ternyata menghadiri pembukaan Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di Istora Senayan Jakarta.
Seperti dipaparkan Bambang Widjanarko dalam buku ‘Sewindu Dekat Bung Karno’ (1998).
Bambang menulis: Soekarno, pada hari di mana pembantaian itu terjadi, masih melakukan sejumlah kegiatan. Seperti halnya pada 30 September 1965 sekitar pukul 23.00 WIB, Bung Karno pulang menuju Istana Negara setelah menghadiri Musyawarah Nasional Teknik (Munastek) di Istora Senayan, Jakarta.
Sementara Saleh As'ad Djamhari dkk dalam buku ‘Komunisme di Indonesia Jilid IV Pemberontakan G. 30 S/PKI dan Penumpasannya’, memaparkan bahwa pada pukul 06.00 tanggal 1 Oktober 1965, Presiden Soekarno meninggalkan rumah Wisma Yaso diantar AKBP Mangil (Komandan Detasemen Kawal Pribadi-DKP), serta sejumlah anggota kawal pribadi menuju Istana Merdeka.
Namun sesampainya di Jalan Thamrin dengan bantuan radio, Mangil menerima berita dari Kolonel CPM Maulwi Saelan. Isi berita itu meminta Soekarno tidak meneruskan perjalanannya ke Istana, karena Istana telah dikepung oleh pasukan yang tidak dikenal.
Bung Karno sendiri mengetahui informasi pembantaian para jenderal pada 1 Oktober 1965 jelang siang hari. Melihat kondisi Jakarta yang tidak aman, Soekarno dibawa para pengawalnya menuju Istana Bogor.
Tulisan menarik tentang kondisi kesehatan Bung Karno ditulis Randy Wirayuda dalam sebuah artikel ‘Film Pengkhianatan G30S/PKI dan Fakta Sejarah’, di mana dia menegaskan bahwa Bung Karno baru benar-benar sakit setelah dijadikan tahanan rumah di Wisma Yaso, Jakarta pasca G30S/PKI. Perawatan yang tidak intensif telah membuatnya tutup usia pada Juni 1970.
Hal lain yang dikritisi dalam film, tak lain adegan yang memperlihatkan ruangan Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) terdapat peta Indonesia yang menunjukkan Timor Timur bagian dari Indonesia.
Faktanya, Timor Timur baru menjadi bagian NKRI pada 17 Juli 1976 atau jauh sesudah meletus G30S. Pada 30 September 1965, Timor Timur masih bernama Timor Portugis yang merupakan koloni Portugal. (RAHMA DHONI)
Baca Juga: Banyak Tuai Kontroversi, Pelatih Chonburi FC Sebut Piala AFF 2022 Turnamen Terburuk
Fauzi Bowo Ingin Jakarta Dipimpin oleh Orang yang...
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024