CARITAU SINGAPURA – Dolar Amerika Serikat (AS) melemah di sesi Asia pada Rabu (1/3/2023) sore, setelah aktivitas manufaktur China berkembang pada laju tercepat sejak April 2012 dan melampaui perkiraan.
Kondisi itu, membuat para pedagang berbondong-bondong menuju aset-aset berisiko karena optimisme baru dan menjauh dari mata uang aman dolar AS.
Baca Juga: Menlu China Kutuk Israel, Telepon Menlu Iran dan Arab Saudi
Yuan serta dolar Australia dan Selandia Baru adalah di antara penerima manfaat terbesar dari data ekonomi China yang kuat, yang menghancurkan ekspektasi dengan indeks manajer pembelian (PMI) manufaktur resmi melonjak hingga 52,6 bulan lalu dari 50,1 pada Januari 2023.
Demikian pula, aktivitas non-manufaktur China tumbuh lebih cepat di Februari, sementara pembacaan PMI manufaktur Caixin/S&P Global untuk bulan lalu juga melampaui ekspektasi pasar.
Yuan di dalam negeri terakhir naik sekitar 0,4 persen pada 6,9040 per dolar AS, sementara yuan di luar negeri melonjak 0,6 persen menjadi 6,9143 per dolar AS.
"Kumpulan PMI China yang kuat menghidupkan kembali perdagangan China yang dibuka kembali," kata Christopher Wong, ahli strategi mata uang di OCBC.
Kiwi melonjak 0,52 persen menjadi 0,62165 dolar AS, sementara Aussie naik 0,3 persen menjadi 0,6749 dolar AS, membalikkan penurunannya ke level terendah dua bulan pada awal sesi Rabu menyusul data ekonomi domestik yang lemah.
Mata uang Antipodean sering digunakan sebagai proksi likuid untuk yuan.
Perekonomian Australia tumbuh pada laju terlemah dalam satu tahun kuartal terakhir, sementara harga konsumen bulanan negara itu naik kurang dari yang diharapkan pada Januari, data terpisah menunjukkan pada Rabu, yang dapat membuat laju kenaikan suku bunga yang lebih lambat oleh bank sentral Australia (RBA).
"Saya pikir pelaku pasar akan mencermati indikator IHK (Indeks Harga Konsumen) Januari untuk mengukur prospek jangka pendek kebijakan RBA," kata Carol Kong, ahli strategi mata uang di Commonwealth Bank of Australia (CBA).
"Tetapi mengingat apa yang dikatakan RBA pada pertemuan terakhir, mereka tampaknya telah mengambil keputusan dan ingin menaikkan suku bunga lebih lanjut," katanya dilansir Antara.
Secara keseluruhan, dolar AS melemah pada Rabu karena pasar menyambut kebangkitan aktivitas di ekonomi terbesar kedua di dunia setelah keluarnya China dari kebijakan COVID yang ketat akhir tahun lalu.
Hal itu menghidupkan kembali beberapa optimisme untuk pembukaan kembali perdagangan China dan meningkatkan harapan penurunan yang lebih lemah dalam ekonomi global setelah kenaikan suku bunga yang agresif oleh bank-bank sentral utama.
Euro naik 0,14 persen menjadi 1,0591 dolar, memulihkan sebagian kerugiannya dari sesi sebelumnya.
Inflasi di dua ekonomi terbesar zona euro naik secara tak terduga pada Februari, data menunjukkan pada Selasa (28/2), mendorong ekspektasi kenaikan suku bunga oleh Bank Sentral Eropa (ECB).
"Sementara inflasi AS yang masih tinggi menambah lebih banyak pengetatan Fed, inflasi kawasan euro lebih tinggi dan lebih kaku pada tahun 2023 dan ECB memiliki lebih banyak pengetatan yang harus dilakukan daripada Fed," kata Thierry Wizman, ahli strategi suku bunga dan valas global Macquarie.
Sterling naik 0,22 persen menjadi 1,2045 dolar AS, setelah melonjak 1,0 persen pada awal minggu setelah Inggris mencapai kesepakatan perdagangan Irlandia Utara pasca-Brexit dengan Uni Eropa.
Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak berada di Irlandia Utara dan kemudian bertemu dengan anggota parlemennya sendiri pada Selasa (28/2) untuk menjual kesepakatan baru tersebut.
Terhadap sekeranjang mata uang, indeks dolar AS turun 0,11 persen menjadi 104,87.
Indeks telah naik hampir 3,0 persen pada Februari, kenaikan bulanan pertama setelah penurunan beruntun empat bulan, karena banyaknya data ekonomi AS yang kuat dalam beberapa minggu terakhir meningkatkan ekspektasi pasar bahwa Federal Reserve akan menaikkan suku bunga lebih jauh.
Perkiraan pasar berjangka saat ini menunjukkan puncak sekitar 5,4 persen pada suku bunga dana Fed pada September.
"Kami memperkirakan The Fed akan naik ke 5,5 persen, dengan peningkatan risiko sebesar 6,0 persen," kata Michael Every, ahli strategi global di Rabobank. "The Fed mendaki. Yang lain tidak bisa mengikuti atau menandingi. Dolar akan melonjak," katanya pula.
Di tempat lain, dolar AS naik 0,15 persen terhadap yen Jepang menjadi 136,41, setelah melonjak mendekati 5,0 persen terhadap yen pada Februari, kenaikan bulanan terbesar sejak Juni lalu.(HAP)
Baca Juga: Dolar AS Tembus Rp15.600, Pengamat: Ekspektasi The Fed Masih Tinggi
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...