CARITAU JAKARTA – Pernyataan sinis yang menyebut hasil survei tergantung siapa yang bayar kembali mencuat di ruang publik. Pernyataan itu dilontarkan para pendukung dan simpatisan calon presiden (capres) Koalisi Perubahan untuk Persatuan (KPP) Anies Baswedan yang selalu 'keok' menurut hasil survei, namun justru selalu unggul di beberapa polling yang digelar melalui media sosial (medsos).
Sebenarnya wajar jika pernyataan sinis digulirkan para pendukung Anies Baswedan. Maklum saja, saat masih menjabat Gubernur DKI Jakarta, elektabikitas Anies masih kerap berada di urutan pertama. Padahal saat itu, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan periode 2014-2016 tersebut belum melakukan kerja-kerja politik.
Baca Juga: Jaga 'Check and Balance', Ganjar Pranowo Pilih Berada di Luar Pemerintahan
Namun saat ini, setelah Anies Naswedan resmi dicalonkan KKP dan rajin berkeliling Indonesia, elektabilitasnya berdasarkan hasil survei yang digelar oleh beberapa lembaga survei justru selalu di urutan ketiga. Hasil lembaga survei selalu menempatkan Ganjar Pranowo di urutan pertama diikuti Prabowo Subianto di urutan kedua. Atau sebaliknya, Prabowo di urutan pertama dan Ganjar di posisi kedua.
Hasil survei kemudian menjadi sorotan, tatkala dalam bebarapa polling yang dilakukan melalui medsos, Anies Baswedan justru berada di posisi teratas, bahkan jauh meninggalkan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.
Berdasarkan pemantauan Caritau.com, beberapa polling terbuka yang dilakukan Twitter ILC (Indonesia Lawyer Club), selalu memposisikan Anies Baswedan di urutan teratas. Empat kali polling terbuka telah menunjukkan Anies Baswedan selalu unggul dengan dukungan di atas 50% mengalahkan Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo.
Polling ILC pertama yang digelar pada September 2022, menunjukkan Anies Baswedan menang dengan dukungan 77%. Kemudian polling kedua pada Desember 2022 dukungan 59% dan polling ketiga pada Januari 2023 dukunga 82%.
Kemudian polling keempat pada 22 April 2023, atau sehari setelah Ganjar Pranowo resmi diumumkan sebagai capres dari PDI Perjuangan, Anies Baswedan tetap berada di puncak dengan perolehan 65%. Diikuti Prabowo Subianto 19% dan Ganjar Pranowo 16%.
Hasil senada juga ditunjukkan dalam polling Twitter yang dilakukan CNBC Indonesia. Pada polling tersebut, CNBC menentukan tiga nama capres yakni Prabowo Subianto, Ganjar Pranowo dan Anies Baswedan. Saat polling ditutup pada Selasa 2 Mei 2023, tercatat diikuti oleh 76.692 voter. Sementara hasilnya, Anies Baswedan 63.4%, Ganjar Pranowo 21% dan Prabowo Subianto 15.6%.
Hasil survei yang bertolak belakang dengan hasil polling medsos telah memunculkan berbagai tanggapan.
Menurut pengamat Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul Jakarta. Dr M Jamiluddin Ritonga, hasil survei saat ini memang di luar logika. Tentu memprihatinkan mengingat survei seharusnya menjadi instrumen ilmiah dalam berdemokrasi.
Namun belakangan, menurut Jamiluddin, survei sudah menjadi instrumen bagi capres atau partai politik untuk membentuk opini publik.
“Hasil survei digunakan untuk menggiring opini masyarakat, untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitas capres atau partai politik. Di sini lembaga survei sudah menjadi partisan, sehingga dalam melakukan survei sudah mengabaikan objektifitas,” kata Jamiluddin yang juga mantan Dekan Fikom IISIP Jakarta itu.
Jadi menurutnya, hasil survei sudah tidak bisa lagi dijadikan tolok ukur untuk mengetahui popularitas dan elektabilitas seorang capres dan partai politik.
“Hasil survei tersebut justru digunakan untuk perang opini, untuk mempengaruhi masyarakat,” pungkas Jamiluddin.
Hal berbeda disampaikan pakar Riset Kuantitatif Syahganda Nainggolan untuk menjelaskan tentang keraguan terhadap hasil survei yang muncul belakangan. Menurutnya, secara metodologis tidak bisa dipercaya 100% dan diragukan.
"Kalau saya pendukung Anies, saya tidak peduli itu hasil survei kombinasi untuk kepentingan. Saya lebih percaya dari hasil Google Trends. Kenapa?" ujar Syahganda kepada caritau.com pada Jumat (9/6/2023).
"Karena mungkin saya satu-satunya doktor yang menguasai riset kuantitatif. Di Fakultas Fisipol Universitas Indonesia (Fisip UI), hanya saya satu-satunya yang mengambil desertasi riset kuantitatif," lanjutnya.
Menurut Syahganda, saat ini semua serba cendrung pada Google Trends. Sebagai hasil pilihan pengguna hp android terhadap ketiga calon presiden (Anies, Ganjar dan Prabowo), maka jumlah pengguna hp android dalam setahun yang menjatuhkan pilihannya kepada Anies Baswedan mencapai 150 juta orang.
Berdasarkan grafik Google Trends, menurut Syahganda, pemilih Anies jauh lebih tinggi dibandingkan pemilih Ganjar Pranowo yang justru nyungsep, sementara jumlah pemilih Prabowo tidak bergerak atau statis.
"Dari sini menunjukkan, posisi Anies jauh lebih tinggi bila dibanding dengan Ganjar dan Prabowo,” katanya.
Pengamat politik Rocky Gerung juga ikut mempertanyakan kredibilitas lembaga survei. Rocky mengatakan, dulu LSI merupakan satu-satunya lembaga survei di Indonesia. Saat itu, LSI dibiayai Bank Dunia atau World Bank untuk mem-backup demokrasi di Indonesia.
“Dulu lembaga survei cuma satu, namanya Lembaga Survei Indonesia (LSI). Dibiayai World Bank untuk membackup demokrasi. Enggak ada yang bayar di situ, karena itu uang dunia, uangnya World Bank," papar Rocky.
Selanjutnya, menurut Rocky, LSI kemudian melahirkan beberapa ahli survei yang kemudian membuat berbagai lembaga survei di Indonesia.
Namun, Rocky tetap saja mengaku meragukan hasil survei politik elektabilitas yang ada saat ini. "Jadi pukul rata itu 120%, itu tipu menipu," tegasnya.
Rocky mengaskan bahwa hasil survei elektavilitas saat ini dapat membawa dampak buruk bagi demokrasi. Sebab tidak ada parameter lain dalam menetapkan hasil survei elektabilitas para calon presiden, seperti misalnya soal responden yang ditentukan sendiri oleh pihak lembaga survei.
Rocky juga menyinggung kurang terlibatnya publik, salah satunya mahasiswa dalam melakukan survei elektabilitas tersebut. "Jadi sudahlah, ini cawe-cawe. Lembaga survei ini memperburuk demokrasi," katanya.
Lalu bagaimana dengan pooling di media sosial?
Menurut Pangi Sarwi Chaniago, akademisi dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, hasil polling terkait Pilpres 2019 di media sosial seperti Twitter, belum bisa merepresentasikan keterwakilan suara rakyat.
“Survei (polling) di media sosial itu berbeda dengan survei pada umumnya,” kata Pangi.
Pangi mengatakan, responden atau sampel di dalam survei di Twitter itu belum representatif. Sedangkan dalam survei lainnya, preferensi pemilih pada umumnya ketat dan disiplin dalam hal metodologi riset. Mulai dari sampel responden, kusioner, wawancara tatap muka, spot check dan soal keterwakilan wilayah.
“Jadi polling di media sosial sulit disimpulkan sebagai suara mayoritas dan sulit dijadikan representasi kans kemenangan calon,” kata Pangi.
Polling di Twitter, lanjut dia, hanya bertujuan menggirig opini publik atau menjadi locomotif effect. Menurut dia, sedikit banyak memang ada pengaruh, sebab masyarakat biasanya akan memilih capres dan cawapres yang menang di hasil survei.
Pangi menegaskan, polling di medsos banyak kelemahan, seperti metodologi yang belum bisa dijaga. Misalnya, siapa yang ikut memilih di polling Twitter itu bisa saja dimobilisasi.
Sementara survei yang dilakukan lembaga survei, pada umumnya memiliki metodologi atau pengambilan sampelnya sangat ketat, sehingga keterwakilan sampel bisa di pertanggungjawabkan dan data respondennya jelas.
Hal itu tentu saja sangat bertolak belakang dengan polling di medsos. “Sampelnya sulit dijaga, spot check-nya juga tidak jelas. Jadi hasil survei polling medsos belum bisa mengambarkan suara rakyat. Ini hanya hiburan semata,” papar Pangi.
Jadi silahkan, anda lebih percaya hasil survei atau polling medsos. (Wahyu Praditya Purnama)
Baca Juga: Belum Tentukan Koalisi atau Oposisi, PKB: Pemilu Belum Berakhir
116frg
pn3rea
Denny JA Hibahkan Dana Abadi untuk Festival Tahuna...
Tokoh Literasi Bachtiar AK Sebut Inovasi Smart Sch...
Mencetak Dai Pengusaha, Sekda Marullah Buka Pelati...
Gibran Pimpin Apel Siaga Masa Tenang Pilkada 2024
Pilkada Semakin Dekat, Pj Teguh Ajak Warga Jakarta...