CARITAU JAKARTA – Bintang Balqis Maulana (14), santri Pondok Pesantren Tartilul Quran (PPTQ) Al Hanifiyyah, Kabupaten Kediri, Jawa Timur, meninggal dunia di pesantren diduga akibat penganiayaan empat santri seniornya pada Jumat (23/2/2024).
Wakil Ketua Majelis Pengurus Wilayah Provinsi Jawa Barat Majelis Permusyawaratan Pengasuh Pesantren se-Indonesia (MP3I), KH Eko Ahmadi buka suara tentang kasus kematian Bintang.
“Itu sesungguhnya di luar tradisi pesantren. Yang pasti itu karena ada satu sistem yang namanya sekolah. Makannya harus dibedakan antara pesantren dan sekolah itu. Kalau pesantren tidak ada yang seperti itu. Pasti ada sekolah yang membuat ekosistem adanya junior-senior,” kata Gus Eko, pamggilan akrabnya, kepada Caritau.com, Selasa (13/3/2024).
Menurut Pengasuh Pondok Pesantren Tegal Wangi Cirebon itu, persoalan kematian santri ini menjadi keprihatinan mereka selaku pengasuh pondok pesantren. Ia menyesalkan, kenapa pesantren yang selama ini selalu mempertahankan tradisi taat dengan perintah Allah dan Rosulnya, juga selalu memberikan keteladanan tentang bagaimana berhubungan dengan alam, manusia, dan tuhan, namun justru menjadi tempat terbunuhnya seorang santri.
Menurut dia, di pesantren ada istilah santri dalam dan santri luar dan tidak ada pembulian apalagi sampai pemukulan. Ia juga membaca berita yang mengatakan kiriman orang tua Bintang tidak sampai, dan isu-isu lain yang semuanya di luar tradisi di pesantren.
Bagi Gus Eko, pesantren sejatinya berbeda dengan sekolah meski saat ini banyak pesantren yang terkoneksi dengan pendidikan formal di luar jadwal ‘nyantri’nya.
“Artinya selama ini harus dijelaskan dulu mana yang sebenarnya pesantren, mana yang sesungguhnya sekolah tapi mengatasnamakan pesantren. Sebenarnya pendidikan pesantren itu adalah sebuah pendidikan yang bebas, artinya memilih guru boleh, memilih mata pelajaran sendiri juga boleh, tradisi pesantren itu tradisi yang sesungguhnya independen untuk yang sekarang kata pemerintah itu belajar Merdeka, itu pesantren sudah melakukan dari dulu,” papar Gus Eko.
Kalau ada kekerasan di lingkungan pesantren, menurut dia, disebabkan tidak terkoneksinya antara sistem yang ada di kepengurusan pesantren dengan sang pengasuh, dalam hal ini Kiai-nya.
“Saya dulu nyantri di tempat guru-guru saya di Banyuwangi, itu tidak ada senior dan junior, yang ada adalah kepala kamar, kepala pondok, keamanan, yang kemudian semuanya itu terkoneksi dengan pengasuh,” ucap Gus Eko.
Kakak Bintang, Mia Nur Khasanah (22), menceritakan bagaimana kondisi adiknya saat pertama kali jenazah diantar ke rumah mereka di Desa Karangharjo, Banyuwangi, Sabtu (24/2/2024). Menurut Mia, pihak pesantren yang ikut mengantarkan jenazah Bintang mengatakan bahwa adiknya terjatuh di kamar mandi.
Keluarga sebelumnya tidak menaruh curiga, sampai ketika jenazah diangkat dari keranda, terdapat ceceran darah keluar dari tubuh. Keluarga pun meminta agar kain kafan dibuka untuk melihat jenazah korban.
"Astaghfirullah. Luka lebam di sekujur tubuh ditambah ada luka seperti jeratan leher. Hidungnya juga terlihat patah. Kami semua tak kuasa menahan tangis. Ini sudah pasti bukan jatuh, tapi dianiaya," tegas Mia.
Senada, ibu korban, Suyanti, juga mengaku syok melihat kondisi anaknya.
"Saya ingin mencium anak saya, ternyata mukanya udah hancur. Matanya udah bengkak, ini (leher) seperti berlubang, sekujur tubuhnya dan paha banyak sundutan rokok, tangannya lebam-lebam," ungkap Suyanti.
Tak pikir lama, keluarga Bintang hari itu juga melaporkan kematian anaknya ke Polsek Glenmore. Kasusnya kemudian ditangani oleh Polres Kediri Kota yang langsung bergerak cepat melakukan penyelidikan hingga akhirnya menetapkan empat tersangka.
Mereka adalah MN (18), MA (18), AK (17), dan AF (16) yang merupakan senior korban di ponpes yang sama. Dari empat tersangka itu, AF ternyata sepupu korban.
Suyanti mengaku tak habis pikir, kenapa AF tega membunuh anaknya yang merupakan sepupunya sendiri.
"Iya, AF memang sepupu Bintang. Saya juga kalau meminta tolong agar Bintang dijaga dan uang jajan anak saya juga kepada dia… Yang saya gak habis piker, apa salah anak saya, kok sampai tega dianiaya seperti itu," kata Suyanti.
Kesedihannya semakin memuncak ketika mengenang pesan terakhir Bintang lewat aplikasi WhatsApp. Suyanti mengaku, beberapa hari sebelum menghembuskan nafas terakhir, Bintang sempat mengirimkan pesan WA minta untuk dijemput.
“Sini jemput Bintang… Cepet sini. Aku takut Maaa… Maaa tolongg… Sini cepettt jemput,” pinta Bintang berkali-kali ke ibunya.
Saat itu, ia mencoba menenangkan dan membujuk anaknya untuk bertahan di pondok sampai usai bulan Ramadan. Sebagai iming-iming agar mau bertahan, ia berjanji akan memberikan sepeda motor jika lulus sekolah.
Namun, tawaran hadiah motor itu tetap ditolak Bintang. Ia tetap memohon untuk dijemput pulang. Permintaan yang tetap tak dipenuhi oleh Suyatni sampai akhirnya sang anak betul-betul ‘pulang’ ke rumah namun sudah menjadi jenazah. Suyatni pun meratap sedih sembari menyesali karena tak memenuhi permintaan sang anak. Ia tak menduga itu adalah pesan terakhirnya.
Pengasuh PPTQ Al Hanifiyyah, Mayan Mojo Fatihunada, mengaku awalnya mendapat kabar tewasnya korban karena terpeleset di kamar mandi pada Jumat (23/2/2024). Dia menegaskan, laporan yang diberikan kepadanya bukan karena penganiayaan.
"Saya dikabari saat baru bangun tidur, bahwa Bintang meninggal dunia. Kemudian saya tanya saudaranya FT, bahwa korban terpeleset di kamar mandi," kata Fatih, Senin (26/2/2024).
Penasehat hukum keempat terduga pelaku, Rini Puspita Sari mengakui bahwa kliennya melakukan pemukulan kepada Bintang, yaitu ke wajah, punggung, dan dada.
Berdasarkan pengakuan terduga pelaku, kata Rini, pemukulan dilakukan karena dipicu emosi dan kejengkelan kepada korban karena tidak melakukan beberapa aturan, seperti mengikuti salat berjemaah dan piket.
“Emosi sesaat. Jawaban (korban) saat ditanya tidak nyambung, tidak sinkron, sikapnya melotot, akhirnya dipukul,” jelas Rini, Rabu (28/2/2024).
Menurut Rini, korban dan para pelaku merupakan teman satu kamar bersama santri-santri yang lain. Dengan demikian, pelaku mengetahui jika korban tidak melaksanakan kegiatan pondok.
Ia menegaskan bahwa sebelum penganiayaan tersebut, hubungan korban dan pelaku baik dan tidak ada masalah.
“Sebelumnya tidak ada masalah apa-apa. Jadi karena emosi saat ditanya apa jawabnya apa, nggak nyambung. Keterangan pelaku seperti itu,” terang Rini sembari menambahkan bahwa penganiayaan tersebut dilakukan dengan tangan kosong, tidak menggunakan alat apa pun.
Baca Juga: Muhammadiyah: Belum Ada Pembahasan Kabinet Bersama Presiden Terpilih
Menurut KH Eko Ahmadi, kepatuhan sangat dijunjung tinggi di pondok pesantren. Patuh dalam arti berkaitan dengan kepatuhan dan ketaatan terhadap Allah.
“Jadi yang namanya kepatuhan di pesantren itu adalah karena sadar. Saya sadar kalau salah, saya sadar itu benar, makannya yang namanya perdebatan di pesantren ketika itu benar ya tinggi banget. Jangankan sama temannya, sama uztadnya saja berani ngomong kalau tentang suatu masalah dalam kegiatan bahtsul masail ya kuat-kuatan,” ucap Gus Eko.
Jadi kalau ditanya apakah pesantren adalah institusi semi militer, maka Gus Eko dengan tegas menjawab tidak benar karena di pesantren kepatuhan junior kepada seniornya bukan karena takut melainkan hormat berdasarkan ilmu dan akhlak.
“Kita itu tidak pernah dikerasin, kalau kita dikerasin karena kita ibadahnya telat, itu memang iya. Itu membangun mental kita kok. Misal kalau kita lagi tidur, pintu dilempar bata sama kiai, kemudian kita disiram. Kayak gitu kekerasannya bukan kemudian kita dipukulin, tidak begitu. Karena kita dibangunin, kita itu males jadi membangun mental kita untuk patuh terhadap syariat,” pungkasnya.
Adapun mengenai jenis hukuman di pesantren, Eko memastikan para pengasuh tidak pernah mengajarkan untuk melakukan hukuman dengan cara memukul atau menampar santri. Yang dilakukan para kiai adalah menyabet dengan menggunakan rotan kecil.
“Kalau kita misalkan dalam melafalkan alif, ba, ta, tidak sesuai dengan contoh yang diberikan kiai, udah disabet tangannya, atau kita disuruh berdiri disabet bokongnya,” tutur Gus Eko.
Kasus tewasnya Bintang di PPTQ Al Hanafiyyah, Kediri, Jawa Timur terus mendapat sorotan. Apalagi, Kementerian Agama (Kemenag) Jawa Timur memastikan pesantren ini tidak memiliki izin operasional.
Direktur Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Sarmidi Husna, menuntut Kemenag segera melakukan perbaikan dalam tata kelola pesantren dengan mewajibkan setiap pesantren memiliki izin operasional dari Kemenag.
“Kalau diistilahkan pesantren tidak punya izin itu seperti nikah sirih, nikah tidak terdaftar. Pemerintah tidak bisa masuk memberikan pengawasan, dan kalau ada apa-apa pesantren tidak bisa diminta pertanggungjawaban,” kata Sarmidi dikutip dari NU Online, Sabtu (2/3/2024).
Tugas Kemenag sangat berat karena jumlah pesantren di Indonesia tidak sedikit. Data Kemenag tahun 2022/2023 menyebutkan, ada 39.043 pesantren di dalam negeri yang mendidik 4,08 juta santri.
Jika didata berdasarkan provinsi, jumlah pesantren paling banyak ada di Jawa Barat, yakni 12.121 pesantren. Posisi kedua ditempati Jawa Timur dengan 6.744 pesantren, disusul Banten dengan 6.430 pesantren, Jawa Tengah 5.084 pesantren dan Aceh 1.713 pesantren.
Terkait usulan P3M yang mewajibkan pesantren memiliki izin, KH Eko Ahmadi meminta hal itu dipertimbangkan kembali.
“Karena gini, dari dulu yang namanya pesantren itu gak ada izinnya. Sebab apa? Pesantren itu perintah guru ke murid. Di mana ketika murid itu dianggap sudah mampu dan layak untuk mengajarkan atau berdakwah, yang dipegang oleh santri itu adalah perintah guru. Ketika guru sudah bilang, ajarkan satu huruf di kampungmu, ya sudah jalan. Dan mereka dari dulu, modal sendiri, artinya apa yang dia miliki dia pasrahkan untuk murid, tidak pernah minta bayaran,” kata Gus Eko.
Justru menurut dia, dengan adanya perizinan itu, banyak pihak yang punya modal dengan mudahnya mendirikan pesantren meski tidak memiliki sanad keilmuan yang jelas.
Sementara, lanjut Gus Eko, di masyarakat, masih banyak majelis taklim yang punya jamaah banyak, juga pesantren yang santrinya banyak itu tidak berizin.
Terlepas dari kritik atas maraknya kasus kekerasan, pesantren tetaplah lembaga pendidikan pertama dan tertua di Indonesia. Pesantren mengilhami model dan sistem-sistem sekolah modern yang ada saat ini. Pesantren tidak akan pernah lapuk dimakan zaman dengan segala perubahannya. Semoga kasus kekerasan tidak pernah terjadi lagi di pesantren dan dunia pendidikan di Indonesia. (DIMAS ELFARISI)
Baca Juga: Jelang Deklarasi, Muhaimin Iskandar Ziarah ke Makam Pendiri NU KH Bisri Syansuri
kekerasan santri pondok pesantren nahdlatul ulama muhammadiyah kementerian agama
Proyek Cetak Sawah 1 Juta Ha Haji Isam Jadi Kunjun...
Dukung Swasembada Pangan, Program Andi Sudirman Se...
Pedagang dan Nelayan Paotere Antusias Dukung Andal...
Cagub 02 Andi Sudirman Sulaiman Hanya Butuh Setahu...
Pengamat Sebut Elektabilitas Andalan Hati Sulit Te...